Hari Ini, Timsel Serahkan Nama Calon Anggota KPU-Bawaslu ke Presiden
Timsel Calon Anggota KPU dan Bawaslu telah memutuskan hasil seleksi penyelenggara pemilu. Sebanyak 14 nama calon anggota KPU dan 10 nama calon anggota Bawaslu akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo, Kamis pagi ini.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Seleksi Calon Anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu 2022-2027 telah menyelesaikan semua tahapan seleksi calon anggota penyelenggara pemilu. Timsel telah memilih 14 nama calon anggota KPU dan 10 nama calon anggota Bawaslu untuk diajukan kepada Presiden Joko Widodo, Kamis (6/1/2022) pagi.
Ketua Timsel Calon Anggota KPU Bawaslu Juri Ardiantoro saat dihubungi, Rabu (5/1/2022) malam, mengungkapkan, timsel telah melakukan tes kesehatan, psikologi lanjutan dan wawancara. Setelah melakukan pembahasan hasil tes, timsel memilih 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu.
"Hari ini (Rabu) 11 anggota timsel lengkap memutuskan hasil seleksi. Rencananya, Kamis besok (hari ini) jam 10.00 (nama calon anggota KPU dan Bawaslu) diserahkan ke Presiden di Istana (Kepresidenan) Bogor," kata Juri.
Timsel telah menyelesaikan serangkaian tes terhadap 28 calon anggota KPU dan 20 calon anggota Bawaslu. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, timsel bertugas memilih 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu. Nama-nama itu kemudian diserahkan kepada Presiden untuk selanjutnya diusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hari ini (Rabu) 11 anggota timsel lengkap memutuskan hasil seleksi. Rencananya, Kamis besok (hari ini) jam 10.00 (nama calon anggota KPU dan Bawaslu) diserahkan ke Presiden di Istana (Kepresidenan) Bogor
Proses seleksi dilanjutnya dengan uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi II DPR. Setelah itu, DPR akan memilih tujuh dari 14 calon menjadi komisioner KPU dan lima dari 10 calon menjadi anggota Bawaslu.
Libatkan kelompok marjinal
Sementara itu, kalangan masyarakat sipil berharap timsel membuka ruang keterlibatan yang lebih luas dan adil kepada perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat adat, serta kelompok marjinal lain dalam lembaga penyelenggara pemilu.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, dalam demokrasi perwakilan, pemilu yang inklusif merupakan pintu masuk bagi proses politik yang mencerminkan kehendak sejati seluruh rakyat. Sementara dalam pemilu yang inklusif, tidak ada warga negara yang ditinggalkan dalam setiap proses pemilu yang berlangsung.
Pemilu inklusif tidak terbatas hanya saat pemungutan suara, tetapi termasuk pula pada perekrutan penyelenggara pemilu dan pendaftaran partai politik berikut calon anggota legislatif (caleg). Tanpa kondisi ini, proses politik tetap eksklusif dan hanya diarahkan untuk memfasilitasi kepentingan individu dan/atau kelompok tertentu.
Titi mengungkapkan, selama beberapa dekade terakhir, fokus pada pemilu inklusif telah bergeser dari penekanan awal pada kesenjangan teknis semata ke persoalan kredibilitas dan integritas penyelenggara, proses, serta hasil pemilu. “Pemilu tidak boleh dianggap sebagai proses teknis belaka, melainkan proses politik yang secara langsung berdampak pada pembuatan kebijakan dan politik inklusif yang sangat terkait dengan kehidupan sehari-hari masyarakat,” kata Titi.
Pemilu inklusif merupakan artikulasi dari asas-asas pemilu, khususnya asas umum dan adil. Asas tersebut diterjemahkan menjadi pelibatan optimal dari para pemangku kepentingan pemilu, termasuk di dalamnya pemenuhan hak-hak kelompok marjinal dan rentan secara optimal.
Pemenuhan hak tersebut bukan hanya dengan memastikan mereka bisa meggunakan hak pilihnya dengan baik dan tanpa hambatan yang bisa merugikan, tetapi juga membuka ruang keterlibatan yang lebih besar sebagai penyelenggara maupun peserta atau kandidat.
Karena itu, konsep pemilu inklusif ketika dihubungkan dengan rekrutmen penyelenggara pemilu harus dimaknai sebagai ruang partisipasi yang terbuka secara adil dan setara bagi elemen-elemen bangsa untuk ambil bagian di dalamnya. Khususnya, bagi kelompok perempuan, disabilitas, masyarakat adat, yang selama ini masih mendapat kesulitan akses untuk terlibat menjadi penyelenggara.
Titi menegaskan, keberadaan keberadaan kelompok marjinal dan rentan di KPU dan Bawaslu sangat strategis. Ini karena mereka dapat membawa perspektif dan paradigma inklusif yang diyakini mampu mewarnai pembuatan kebijakan, regulasi teknis, maupun program-program kepemiluan yang diselenggarakan KPU dan Bawaslu. Dengan demikian, akan ada pengaruh secara kelembagaan maupun sosial bagi publik dalam penyelenggaraan pemilu.
Dalam situasi polarisasi politik disintegratif saat ini, pemilu inklusif juga harus dihadirkan melalui sosok penyelenggara pemilu yang inklusif, moderat, terbuka, serta punya pemahaman dan internalisasi nilai-nilai demokratis yang baik. Anggota KPU dan Bawaslu tidak boleh terjebak pada dikotomi kelompok yang bisa membawa keberpihakan pada salah satu kekuatan politik.
“Tantangan menghadirkan penyelenggara pemilu inklusif ini lah yang perlu dijawab Timsel KPU dan Bawaslu melalui calon anggota KPU dan Bawaslu yang akan mereka pilih,” kata Titi.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Muhammad Ichsan Kabullah, menambahkan,sebenarnya sudah ada beberapa regulasi untuk mewujudkan pemilu inklusif. Salah satunya regulasi yang mengatur representasi jender seperti keterwakilan perempuan sebesar 30 persen dalam daftar caleg dan mekanisme pemberian nomor urut kandidat.
Akan tetapi, ketentuan itu dinilai belum cukup dalam membangun pemilu inklusif. Menurut Ichsan, representasi jender juga diperlukan dalam perekrutan penyelenggara pemilu di semua tingkatan, dari KPU dan Bawaslu hingga petugas di tempat pemungutan suara.
Pengajar pada Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mada Sukmajati, menegaskan, pemilu yang inklusif harus melibatkan partisipasi semua warga negara. Setiap individu memiliki hak dan kewajiban yang sama. Karena itu, hak menjadi penyelenggara pemilu juga dimiliki oleh semua orang.
Prinsip keseteraan itu semestinya menjadi pertimbangan timsel dalam memilih calon KPU dan Bawaslu periode 2022-2027. Akan tetapi , menurut Mada, pertimbangan pertama dan utama dalam menentukan nama calon anggota KPU dan Bawaslu yang akan diajukan ke Presiden Jokowi adalah integritas serta kompetensi.
“Kalau sudah dipenuhi kriteria integritas dan kompetensi, inklusivitas dan pertimbangan lain bisa jadi pertimbangan berikutnya,” kata Mada.
Petimbangan lain yang dapat digunakan salah satunya politik representasi yang memiliki fungsi komunikasi dengan peserta pemilu dan meningkatkan partisipasi pemilih.
Dihubungi secara terpisah, anggota Timsel KPU-Bawaslu Hamdi Muluk mengatakan, timsel tentu mempertimbangkan faktor penyelenggara yang inklusif sepanjang kriteria pokok seperti kompetensi, integritas, dan rekam jejak memadai.
“Pertimbangan-pertimbangan itu coba akan diakomodasi. Namun, belum tentu semua bisa masuk mengingat kursinya terbatas,” kata Hamdi. Ia menegaskan, timsel akan mengoptimalkan pilihan yang ada. Namun, kompetensi menjadi pertimbangan yang utama.