Respons Cepat Putusan MK, DPR dan Pemerintah Diminta Perbaiki UU Cipta Kerja
Presiden Joko Widodo diminta untuk bertindak cepat melakukan revisi menyeluruh terhadap Undang-Undang Cipta Kerja tanpa harus menunggu dua tahun.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pemerintah dan DPR harus merespons cepat dengan memperbaiki tata cara dan pembentukan UU Cipta Kerja paling lambat selama dua tahun jika tidak ingin UU tersebut menjadi inkonstitusional permanen.
Sebagai pembentuk UU, pemerintah dan DPR perlu mencermati amar putusan dan pertimbangan MK. Sebab, pada pokoknya, MK tidak hanya berbicara mengenai format atau metode pembentukan UU Cipta Kerja secara formil, yakni dengan metode omnibus law. Lebih dari itu, MK dalam pertimbangannya juga memerintahkan perbaikan pembentukan UU Cipta Kerja dilakukan dengan memperhatikan keterpenuhan asas-asas dan pembentukan UU yang baik, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Charles Simabura, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (27/11/2021), mengatakan, putusan MK berbicara lebih luas daripada sekadar metode omnibus law. Oleh karena itu, format atau metode omnibus law yang belum ada landasan hukumnya, hanyalah satu aspek saja dari pertimbangan putusan MK. Namun, fokus utamanya ialah perbaikan pembentukan UU Cipta Kerja.
”Putusan MK jika dibaca cermat, itu bukan hanya soal metode atau format omnibus law, tetapi bagaimana pembentukan UU itu harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. MK, antara lain, meminta asas keterbukaan yang ditandai dengan partisipasi masyarakat dilakukan,” katanya.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Charles Simabura, Senin (24/2/2020).
MK juga menyoroti aspek-aspek formil lainnya dalam pembentukan UU Cipta Kerja, mulai dari perencanaan, penyusunan, bahkan naskah akademik UU tersebut. ”Jadi, bukan sekadar memperbaiki UU No 12/2011 agar ada ketentuan mengenai omnibus law. Tidak sesederhana itu. Sebab, pembentukan UU Cipta Kerja itu yang menjadi fokus dari putusan MK, dan diminta agar pembentukan UU itu diperbaiki,” katanya.
Dengan melihat fokus dari putusan MK mengenai perbaikan pembentukan UU Cipta Kerja, menurut Charles, seharusnya tidak ada lagi perdebatan terkait dengan maksud putusan itu. Pemerintah dan DPR selaku pembentuk UU harus melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja. Salah satu tindakan yang dapat diambil ialah dengan mengusulkan perbaikan UU Cipta Kerja itu di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas terdekat.
Jadi bukan sekadar memperbaiki UU 12/2011 agar ada ketentuan mengenai omnibus law. Tidak sesederhana itu. Sebab, pembentukan UU Cipta Kerja itu yang menjadi fokus dari putusan MK, dan diminta agar pembentukan UU itu diperbaiki.
Salah satu alasan pengusulan RUU daftar kumulatif terbuka dalam prolegnas ialah adanya putusan MK. Oleh karena itu, menurut Charles, pembentuk UU bisa segera menindaklanjuti dengan mengusulkan perbaikan UU Cipta Kerja.
”Nantinya, dengan memerhatikan asas-asas dan proses pembentukan UU yang baik, RUU itu harus dibahas dengan melibatkan partisipasi masyarakat, satu per satu dari setiap kluster yang diatur. Tidak bisa sekadar mencomot pasal per pasal dari banyak UU lalu disesuaikan, karena setiap UU itu memiliki landasan filosofis dan konstitusional yang berbeda-beda” katanya.
Kerja keras
Dengan kata lain, menurut Charles, pembentukan revisi UU Cipta Kerja itu memerlukan kerja ekstra keras pembentuk UU, karena ada 11 kluster dan 76 UU yang normanya diatur kembali di dalam UU tersebut. Dalam dua tahun, proses itu harus dituntaskan.
Kompas
Didie SW
“Keterbukaan dan partisipasi masyarakat sebagaimana putusan MK harus dijalankan. Jadi, seperti membentuk UU baru, mulai dari nol, dengan memerhatikan asas-asas dan proses pembentukan UU yang baik sebagaimana diatur di dalam UU 12/2011,” ucapnya.
Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Umbu Rauta mengatakan, perbaikan UU Cipta Kerja itu mesti memerhatikan sekian catatan atau problem yang terkait dengan asas pembentukan perundang-undangan yang baik, serta beberapa kesalahan teknis dalam perancangan UU.
Hal lainnya, menurut Umbu, model perbaikan yang diperintahkan oleh MK sejatinya bukan ”UU perubahan” tetapi ”UU baru” kendati materi muatan atau substansi bisa saja sama. Namun, dalam pembentukan UU itu harus mengakomodir tata cara pembentukan yang dipersyaratkan oleh UU.
Pembentuk UU, utamanya pemerintah selaku inisiator, sebaiknya segera mengajukan perbaikan UU Cipta Kerja sebagai agenda Prolegnas 2022, yakni melalui Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka sebagai dampak putusan MK. ”Memperhatikan konfigurasi politik di DPR, seharusnya agenda ini tidak terlampau rumit dan sulit,” katanya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ketua Tim Hukum TKN Joko Widodo-Ma'ruf Amin Yusril Ihza Mahendra tiba di ruang sidang sebelum dimulainya persidangan sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6/2019).
Secara terpisah, mantan Menteri Sekretariat Negara serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pemerintahan Presiden Joko Widodo tak punya pilihan kecuali bekerja keras memperbaiki UU Cipta Kerja setelah putusan MK. MK menyatakan, jika dalam dua tahun tidak diperbaiki, maka semua UU yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja itu otomatis berlaku kembali. ”Ini jelas dapat menimbulkan kekacauan hukum,” katanya.
Yusril menilai putusan MK itu mempunyai dampak yang luas terhadap Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang kini tinggal lebih kurang tiga tahun lagi sampai tahun 2024. Kebijakan-kebijakan super cepat yang ingin dilakukan pemerintah Presiden Joko Widodo sebagian besar justru didasarkan kepada UU Cipta Kerja itu. Tanpa perbaikan segera, kebijakan-kebijakan baru yang akan diambil Presiden otomatis terhenti. Ini berpotensi melumpuhkan pemerintah yang justru ingin bertindak cepat memulihkan ekonomi yang terganggu akibat pandemi.
Yusril menilai, sejak awal UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan cara meniru omnibus law di Amerika dan Kanada itu bermasalah. “Kita mempunyai UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya, secara prosedur harus tunduk pada UU itu. MK yang berwenang menguji materil dan formil terhadap UU, menggunakan UUD 45 sebagai batu ujinya jika melakukan uji materil. Sementara, jika melakukan uji formil, MK menggunakan UU No 12 Tahun 2011 itu,” katanya.
Ketika UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan meniru gaya omnibus law itu diuji formil dengan UU 12/2011, UU tersebut bisa dirontokkan oleh MK. MK dapat memutus prosedur pembentukan UU Cipta Kerja itu menabrak prosedur pembentukan UU sebagaimana diatur oleh UU 12/2012.
Oleh karena itu, Yusril menyarankan agar Presiden Joko Widodo bertindak cepat melakukan revisi menyeluruh terhadap UU Cipta Kerja, tanpa harus menunggu dua tahun.
Kepastian hukum
Secara terpisah, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hendrawan Supratikno mengatakan, pembentuk UU harus bekerja ekstra keras untuk memperbaiki pembentukan UU Cipta Kerja. Sebab, saat ini sejumlah peraturan pelaksana juga telah diimplementasikan. Tanpa adanya kepastian hukum, kondisi ini justru tidak baik bagi investasi atau pemulihan ekonomi.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hendrawan Supratikno
”Pemerintah dan DPR harus segera duduk bersama untuk menindaklanjuti putusan MK. Kami harus mempelajari amar putusan tersebut secara menyeluruh. Pokok-pokok apa yang dinyatakan harus direvisi akan disisir secara cermat,” katanya.
Selain perbaikan UU Cipta Kerja, menurut Hendrawan, yang harus direvisi juga ialah UU 12/2011 untuk menampung metode omnibus law dalam pembentukan UU.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Golkar Christina Aryani mengatakan, pihaknya terbuka untuk melakukan perbaikan UU Cipta Kerja. ”Artinya DPR sangat terbuka untuk melakukan perbaikan hal-hal yang dianggap inkonstitusional sebagaimana diputuskan MK. Mekanismenya seperti apa tentu DPR akan bersama pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan. Saya rasa ini harus ditindaklanjuti segera sehingga sebelum tenggat waktu dua tahun harusnya sudah bisa selesai,” katanya.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani mengatakan, fraksinya akan mengawal proses perubahan UU Cipta Kerja agar sesuai dengan aturan hukum. ”Kita juga akan awasi agar dalam waktu dua tahun kedepan tidak ada peraturan pelaksana lagi yang dibuat oleh pemerintah sebagaimana keputusan MK,” ungkapnya.