Pemerintah dan DPR Harus Duduk Bersama Sikapi Cacat Formil UU Cipta Kerja
Putusan MK menjadi pembelajaran bagi pemerintah dan DPR. Salah satunya ialah karena pengalaman membuat ”omnibus law” masih sangat baru di Indonesia. Wajar jika MK memberikan koreksi dan perbaikan.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Massa buruh dari berbagai elemen menggelar unjuk rasa saat menunggu hasil putusan sidang Mahkamah Konstitusi terkait Undnag-Undang Cipta Kerja di Jakarta, Kamis (25/11/2021). MK memutuskan menolak gugatan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan kelompok buruh. Namun, MK menyatakan, proses pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan. MK memberi waktu kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki tata cara pembentukan UU Cipta Kerja paling lama dalam waktu dua tahun.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR harus duduk bersama untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Kedua lembaga pembentuk UU itu perlu secepatnya menginisiasi perbaikan UU Cipta Kerja sebagaimana bunyi putusan MK.
MK memberikan waktu selama dua tahun kepada pembentuk UU untuk memperbaiki pembentukan UU Cipta Kerja. Jika tidak ada perbaikan selama dua tahun itu, UU Cipta Kerja itu akan menjadi inkonstitusional permanen.
Menyikapi hal ini, Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay mengatakan, pemerintah dan DPR harus segera menginisiasi perbaikan UU tersebut. Segala amar putusan MK harus ditaati, termasuk tidak membuat aturan turunan dan tidak membuat kebijakan yang didasarkan atas UU tersebut.
”Pemerintah dan DPR harus mengambil keputusan. Pilihan terbaik adalah segera melakukan perbaikan. Waktu yang tersedia sangat sempit mengingat ruang lingkup dan jumlah pasal sangat banyak,” ucapnya, Jumat (26/11/2021), di Jakarta.
Wakil Ketua Fraksi PAN di DPR Saleh Partaonan Daulay
Saleh mengatakan, putusan MK ini menjadi pembelajaran bagi pemerintah dan DPR. Salah satunya ialah karena pengalaman membuat omnibus law masih sangat baru di Indonesia. Ia menilai wajar jika MK memberikan koreksi dan perbaikan.
”Ke depan, jika ada agenda pembahasan RUU omnibus law atau RUU lain, semua catatan yang mengiringi putusan MK ini harus diperhatikan. Misalnya, keterlibatan dan partisipasi publik, harus merujuk pada UU No 12/2011, berhati-hati dalam penyusunan kata dan pengetikan, serta catatan-catatan lain,” ujarnya.
Saleh mengatakan, putusan MK juga diharapkan tidak menyebabkan saling tuding dan saling menyalahkan antar-pembentuk UU. ”Yang perlu adalah bagaimana agar pemerintah dan DPR membangun sinergi yang baik untuk memperbaiki. Tentu dengan keterlibatan dan partisipasi publik secara luas dan terbuka,” katanya.
Secara terpisah, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Golkar, Christina Aryani, mengatakan, pihaknya menghargai putusan MK dan akan menindaklanjutinya sesuai mekanisme yang berlaku. Artinya, DPR sangat terbuka untuk melakukan perbaikan hal-hal yang dianggap inkonstitusional sebagaimana diputuskan MK.
Caleg DPR daerah pemilihan DKI Jakarta 2 dari Partai Golkar, Christina Aryani.
”Mekanismenya seperti apa, tentu DPR akan bersama pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan. Saya rasa ini harus ditindaklanjuti segera sehingga sebelum tenggat dua tahun harusnya sudah bisa selesai,” katanya.
Indonesia pernah menerapkan metode ini untuk menyederhanakan sekitar 7.000 peraturan peninggalan Hindia Belanda menjadi sekitar 400 peraturan. Namun, metode yang digunakan tersebut belum diperkenalkan ke publik sebagai omnibus law.
Dari sisi substansi, Christina menilai Indonesia memerlukan metode omnibus law sebagai salah satu cara untuk melakukan pembenahan peraturan perundang-undangan yang ada, utamanya menyangkut masalah tumpang tindih peraturan, ketidaksesuaian materi muatan, hiper-regulasi, sampai pada problem ego sektoral.
”Omnibus law menjadi jalan keluar untuk mengatasi berbagai persoalan peraturan perundang-undangan yang dialami Indonesia secara cepat, efektif, dan efisien serta dapat menjadi solusi untuk melakukan penataan dan harmonisasi regulasi yang sudah ada,” katanya.
Dalam perjalanan sejarahnya, menurut Christina, pembentukan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus law bukanlah barang baru di Indonesia. Metode ini sudah diterapkan sejak lama. Sebagai contoh, Indonesia pernah menerapkan metode ini untuk menyederhanakan sekitar 7.000 peraturan peninggalan Hindia Belanda menjadi sekitar 400 peraturan. Namun, metode yang digunakan tersebut belum diperkenalkan kepada publik sebagai omnibus law.
Dalam praktiknya, pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law memang benar-benar baru dikenal publik dalam pembentukan UU Cipta Kerja. Hingga kini, lanjut Christina, sudah lahir setidaknya empat peraturan perundang-undangan yang disusun menggunakan metode ini, yaitu UU Cipta Kerja, Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, PP No 9/2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Kemudahan Berusaha, dan Permenkeu No 18/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak.
Revisi UU No 12/2011
Menurut Christina, langkah selanjutnya yang akan ditempuh ialah merevisi UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Revisi ini dinilai sebagai jalan terbaik untuk mengadopsi teknis aplikasi metode omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini sekaligus menjadi kesempatan untuk memikirkan solusi permasalahan tumpang tindih peraturan dan ketidaksesuaian materi muatan.
Secara terpisah, anggota Baleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ledia Hanifa Amaliah, mengatakan, putusan MK ini memberi catatan terkait cacat formil dalam pembentukan UU Cipta Kerja. Catatan ini harus menjadi pembelajaran dalam setiap proses pembahasan RUU di DPR, baik inisiatif DPR maupun inisiatif pemerintah, seperti UU Cipta Kerja. ”Tidak perlu terburu-buru sehingga tidak cermat dalam segala proses ataupun substansinya,” ujarnya.
TANGKAPAN LAYAR KANAL YOUTUBE DPR RI
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah, saat merespons pembukaan pembelajaran tatap muka terbatas dalam keterangan yang diunggah di kanal Youtube DPR, Rabu (1/9/2021).
Pemerintah, menurut Ledia, juga harus mematuhi putusan MK dengan menahan diri dan tidak membuat peraturan pelaksana baru dari UU Cipta Kerja. Selain itu, segala konsesi dan keputusan strategis baru yang didasarkan dari UU Cipta Kerja harus dihentikan sementara sejak putusan dibacakan.
Senada dengan Christina, Ledia menilai pembentuk UU, yakni DPR bersama Presiden, perlu menindaklanjuti putusan MK itu dengan merevisi ketentuan UU No 12/2011. Di dalam UU itu mesti diatur tata cara pembentukan UU dengan metode omnibus law. ”Pemerintah kemudian baru dapat mengajukan RUU baru dalam rangka memperbaiki UU Cipta Kerja sebagaimana amanat putusan MK. Proses, tahapan, dan prosedur RUU perbaikan terhadap UU Cipta Kerja tersebut harus dipastikan taat asas dan prosedur sesuai dengan pedoman yang disepakati,” ucap Ledia.
Pemerintah, menurut Ledia, juga harus mematuhi putusan MK dengan menahan diri dan tidak membuat peraturan pelaksana baru dari UU Cipta Kerja.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Umbu Rauta, mengatakan, putusan MK ini menjadi pelajaran berharga bagi pembentuk UU untuk secara cermat memperhatikan asas pembentukan dan asas materi muatan dalam pembentukan UU, apalagi dengan UU bermetode omnibus law.
”Hal lain ialah model perbaikan yang diperintahkan oleh putusan MK sejatinya bukan ’UU perubahan’, tetapi ’UU baru’, meskipun materi muatannya sama. Namun, UU baru itu harus mengakomodasi tata cara pembentukan yang dipersyaratkan,” katanya.
Oleh karena itu, perbaikan terhadap UU No 12/2011, menurut Umbu, sangat mungkin dilakukan untuk mengatur lebih detail metode omnibus law.