Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja Picu Multitafsir
Beragam tafsir muncul atas keberlakuan UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya pasca-putusan MK. Putusan yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat itu juga dinilai sarat ambiguitas.
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (27/10/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat menyisakan persoalan mengenai penafsiran keberlakuan regulasi tersebut beserta aturan turunannya.
Multitafsir juga muncul terkait perbaikan yang diminta MK. Ada yang beranggapan, cukup Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang direvisi, tak perlu menyentuh substansi dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Penafsiran berbeda terkait keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan aturan turunannya itu dikemukakan sejumlah ahli hukum tata negara.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie saat dihubungi, Jumat (26/11/2021), menilai, UU Cipta Kerja masih tetap berlaku, tetapi dengan syarat, harus diperbaiki dalam waktu dua tahun. Ia menyinggung adagium presumption of legality, yakni semua peraturan perundang-undangan tetap sah dan mengikat serta harus dilaksanakan sampai pihak yang berwenang menyatakannya tidak berlaku.
”Jadi, dia (UU Cipta Kerja) baru tak berlaku dalam waktu dua tahun. Sebelum dua tahun, masih berlaku. Namun, dalam dua tahun itu harus diubah. Kalau tidak diubah, timbul ketidakpastian,” ujarnya.
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie di Auditorium Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Menurut Jimly, yang bermasalah di dalam UU Cipta Kerja, jika melihat dari putusan MK, adalah proses pembentukannya, bukan substansinya.
Meski demikian, ia mengingatkan beberapa materi yang diberi catatan oleh MK. Salah satunya soal sejumlah substansi di UU Cipta Kerja yang diundangkan berbeda dengan materi UU yang telah disetujui pemerintah dan DPR. Padahal, persetujuan pemerintah dan DPR merupakan pengesahan materi rancangan undang-undang secara final.
Ambiguitas
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana menilai putusan MK sarat ambiguitas.
Misalnya, amar nomor 4 putusan MK terkait UU Cipta Kerja yang menyebutkan UU itu masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan UU dalam dua tahun. Namun, amar nomor 7 membatasi keberlakuan UU Cipta Kerja bukan pada hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas. Menurut Denny, amar putusan itu menjadi bermasalah saat disandingkan dengan Pasal 4 UU Cipta Kerja yang menyatakan, ruang lingkup undang-undang mengatur kebijakan strategis yang meliputi beberapa poin.
”Ada ambiguitas, di satu sisi UU Cipta Kerja masih berlaku, yang tidak berlaku terkait yang strategis saja. Padahal, Pasal 4 UU Cipta Kerja mengatur ruang lingkup undang-undang ini kebijakan strategis. Putusan MK tabrakan sendiri,” kata Denny.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari bahkan menilai UU Cipta Kerja seharusnya tak boleh dijadikan dasar untuk mengambil tindakan atau kebijakan apa pun sampai diperbaiki.
”Jika dipaksakan, pelaksanaan seluruh tindakan atau kebijakan akan batal demi hukum, bahkan dapat berkonsekuensi pidana korupsi jika merugikan keuangan negara, cacat administratif, dan dapat digugat perdata,” ujarnya.
Tafsir berbeda juga muncul di kalangan pengusaha dan buruh. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, yang dipermasalahkan dalam putusan MK ialah proses pembentukan UU Cipta Kerja. Maka, menurut dia, yang perlu diperbaiki ialah UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bukan UU Cipta Kerja. Ia khawatir, jika UU Cipta Kerja direvisi, muncul ketidakpastian iklim berusaha dan investasi.
Namun, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal meminta pemerintah memperbaiki substansi dari UU Cipta Kerja. Pemerintah juga seharusnya menangguhkan segala peraturan dan kebijakan yang bersifat strategis serta berdampak luas yang mengacu pada UU Cipta Kerja, seperti bunyi dari putusan MK.
Langkah DPR
Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, mengatakan, pasca-putusan MK, DPR telah bersiap menginisiasi revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Revisi untuk memasukkan norma pembentukan UU dengan teknik omnibus law seperti diterapkan pada UU Cipta Kerja.
”Kalau frasa omnibus law masuk, pelanggaran konstitusional sudah tidak ada,” katanya.
Dengan demikian, menurut dia, substansi UU Cipta Kerja tidak harus diubah. Meski demikian, ia menyerahkan tafsir dan keputusan tersebut kepada pemerintah selaku pengusul awal UU Cipta Kerja.
Para menteri Kabinet Indonesia Maju bersiap untuk foto bersama pimpinan DPR pada akhir Rapat Paripurna DPR masa persidangan I tahun sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Rapat paripurna hari itu secara resmi mengesahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Adapun anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ledia Hanifa Amaliah, berpandangan, perbaikan UU Cipta Kerja tetap penting karena hal itu diamanatkan pula oleh MK. Perbaikan ini setelah UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan direvisi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam jumpa pers, Kamis (25/11), mengatakan, pemerintah akan menindaklanjuti putusan MK melalui penyiapan perbaikan undang-undang. (ANA/AGE/REK/MTK)