Kebijakan yang adil dibutuhkan dalam alih status pegawai KPK. Kinerja pegawai KPK dalam memberantas korupsi merupakan wujud nasionalisme mereka.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/ NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara merupakan konsekuensi dari terbitnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun2019 tentang Perubahan atas UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau KPK. Karena itu, kebijakan yang adil dibutuhkan dalam proses alih status kepegawaian dengan memenuhi hak semua pegawai di komisi itu.
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor70/PUU-XVII/2019 menyatakan, tak boleh ada satu kebijakan pun yang merugikan pegawai KPK dalam proses alih status kepegawaian tersebut. Dengan melihat putusan MK, hasil tes wawasan kebangsaan seharusnya tidak menjadi satu-satunya faktor dalam menentukan alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
”Alih status pegawai KPK menjadi ASN ini konsekuensi logis dari UU No 19/2019 tentang KPK. Jadi, seharusnya TWK (tes wawasan kebangsaan) ini tidak berkonsekuensi memberhentikan seseorang. KPK seharusnya bisa lebih fair,” kata anggota Komisi III DPR, Johan Budi, dalam diskusi daring ”Dramaturgi KPK”, Sabtu (8/5/2021).
Sebanyak 1.349 pegawai KPK mengikuti tes wawasan kebangsaan, syarat menjadi ASN. Sebanyak 1.274 peserta dinyatakan memenuhi syarat, sementara 75 pegawai lainnya dinyatakan tidak memenuhi syarat dan terancam diberhentikan.
Johan Budi yang juga mantan Juru Bicara KPK ini berpandangan, tes wawasan kebangsaan tidak bisa menjadi faktor tunggal untuk menilai nasionalisme pegawai lama KPK. Performa dan kerja mereka dalam memberantas korupsi justru menjadi bukti nasionalisme para pegawai. Kinerja mereka untuk menyelamatkan keuangan negara adalah bentuk nyata nasionalisme.
Hal senada disampaikan mantan pemimpin KPK Abraham Samad. Menurut dia, kontribusi, dedikasi, dan pengabdian pegawai KPK seharusnya jadi parameter yang menentukan alih status kepegawaian.
Johan menambahkan, sesuai dengan UU KPK, pegawai KPK diberhentikan jika mengundurkan diri, meninggal dunia, atau melakukan pelanggaran kode etik kategori berat. Tidak ada klausul yang menyebut pegawai KPK diberhentikan karena tes wawasan kebangsaan. Relevansi pertanyaan dalam tes itu pun dipertanyakan karena nuansanya mencari tahu pegawai KPK yang terpapar ideologi radikal.
Giri Suprapdiono, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, 1 dari 75 pegawai KPK yang tak memenuhi syarat, menyampaikan, sebelum dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan, dirinya adalah penerima penghargaan Makarti Bhakti Nigari Award 2020 dari Lembaga Administrasi Negara (LAN). Pada Desember 2020, dia dinyatakan sebagai peserta terbaik pada diklat yang digelar bersama direktur kementerian/lembaga.
Giri juga pernah mengikuti tes terkait radikalisme saat mengikuti seleksi calon pimpinan KPK sebanyak dua kali. Saat itu, dia lolos tes radikalisme yang disusun tim dari TNI Angkatan Darat. Beberapa kali Giri juga menjadi narasumber dalam kegiatan wawasan kebangsaan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian Negara RI (Polri), serta Sekolah Staf dan Komando TNI.
”Kemudian saya dinyatakan tidak lulus TWK. Ini kontradiksi yang luar biasa, sebenarnya ada apa di balik tes ini? Apakah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan relevan dengan materi wawasan kebangsaan?” tanya Giri.
Secara terpisah, Ketua Lakpesdam PBNU Rumadi Ahmad menilai, materi pertanyaan tidak relevan dengan isu wawasan kebangsaan, komitmen bernegara, ataupun kompetensi pegawai dalam pemberantasan korupsi. Pertanyaan cenderung seksis, rasis, diskriminatif, dan berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
Berbeda dengan CPNS
Menanggapi banyaknya kritik terkait tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK, Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Badan Kepegawaian Negara (BKN) Paryono mengatakan, tes wawasan kebangsaan untuk pegawai KPK berbeda dengan ujian untuk calon pegawai negeri sipil (CPNS). Ini karena tes dilakukan untuk pegawai KPK yang menduduki jabatan senior, seperti deputi, kepalabiro, kepala bagian, dan penyidik utama.
Untuk menjaga obyektivitas, BKN melibatkan sejumlah lembaga, seperti Badan Intelijen Strategis (Bais), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Dinas Psikologi TNI AD, serta Badan Intelijen Negara (BIN). Karena itu, lanjut Paryono, tidak ada satu instansi pun yang bisa menentukan nilai secara mutlak.
Sementara Kepala BKN Bima Haria Wibisana menegaskan, 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat masih berstatus pegawai KPK. ”Biar pimpinan KPK yang menjelaskan,” katanya.