Tes Wawasan Kebangsaan Dinilai Diskriminatif, KPK Diminta Menaati Putusan MK
Tes wawasan kebangsaan seharusnya tidak menjadi satu-satunya tes yang digunakan untuk proses alih status pegawai KPK menjadi ASN. Apalagi, pegawai yang tidak lolos tes adalah pegawai berintegritas dan membongkar korupsi.
JAKARTA, KOMPAS — Hasil tes wawasan kebangsaan seharusnya tidak menjadi faktor penentu alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 mengamanatkan tidak boleh ada satu pun kebijakan yang merugikan pegawai KPK dalam proses alih status tersebut. Sementara materi pertanyaan tes wawasan kebangsaan (TWK) dinilai diskriminatif, rasis, dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Mantan unsur pimpinan KPK Abraham Samad (2011-2015) dalam diskusi daring ”Dramaturgi KPK”, Sabtu (8/5/2021), mengatakan, TWK seharusnya tidak menjadi satu-satunya tes yang digunakan untuk proses alih status pegawai KPK menjadi ASN. Seharusnya, ada beberapa hasil tes yang digabungkan. Apalagi, berdasarkan nama-nama pegawai yang tidak lolos TWK, sebagian besar adalah pegawai berintegritas yang membongkar kasus korupsi besar.
Menurut dia, seharusnya kontribusi, dedikasi, dan pengabdian para pegawai KPK menjadi parameter yang menentukan alih status tersebut. Apalagi, sebelum masuk menjadi pegawai KPK, mereka telah melalui serangkaian tes yang disebut dengan program Indonesia Memanggil. Program itu juga mencakup wawasan kebangsaan dan bela negara.
”Jangan sampai TWK dijadikan alat untuk menentukan 75 pegawai KPK itu menjadi ASN atau tidak,” tegas Samad.
Baca juga : Mantan Pimpinan KPK: Tak Ada Fanatisme Agama Tertentu di KPK
Selain Samad, narasumber yang hadir dalam diskusi itu adalah anggota Komisi III DPR, Johan Budi; pengajar hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Supardji Achmad; Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono; Koordinator ICW Adnan Topan Husodo; dan dosen Pascasarjana Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing.
Samad mengaku mengenal sejumlah nama pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat berdasarkan TWK yang beredar di media. Nama-nama itu di antaranya adalah pegawai terbaik di KPK. Mereka terkenal sebagai pegawai yang lurus, berintegritas, dan berkomitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi.
Samad mengaku mengenal sejumlah nama pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat berdasarkan TWK yang beredar di media. Nama-nama itu di antaranya adalah pegawai terbaik di KPK. Mereka terkenal sebagai pegawai yang lurus, berintegritas, dan berkomitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi.
Pada saat masih menjabat Ketua KPK, Samad pernah menerima hasil tes Giri Suprapdiono. Giri adalah Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, yang namanya tidak lolos TWK. Saat Samad menjabat, Giri akan dipromosikan menjadi Direktur Gratifikasi KPK. Sebelum promosi jabatan struktural, KPK selalu melakukan tes panjang. Tes kenaikan jabatan struktural adalah salah satu tes dengan aspek penilaian tertinggi. Dari hasil tes itu, Samad memastikan bahwa Giri adalah orang yang berkapasitas dan berintegritas.
”Makanya saya heran, ketika 75 orang ini dinyatakan tidak lulus, ada apa sebenarnya? Apakah memang skenario sistematis untuk menyingkirkan pegawai terbaik KPK?” ujar Samad.
Baca juga : Irasionalitas Hasil Tes Wawasan Kebangsaan KPK
Mantan Juru Bicara KPK yang kini anggota Komisi III DPR, Johan Budi SP, menambahkan, ia sangat terkejut saat menerima informasi bahwa 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK adalah kepala satuan tugas serta pejabat eselon I dan II. Sebab, sebelum masuk ke KPK, mereka telah mengikuti seleksi ketat program Indonesia Memanggil.
Johan menyebut, tes program Indonesia Memanggil rumit, ketat, dan meliputi pengecekan rekam jejak kekayaan maupun sikap kerja di bidang sebelumnya. Artinya, para pegawai yang tidak lolos TWK itu telah melalui serangkaian tes yang teruji. Mereka juga sudah bekerja selama 16 tahun di KPK dan beberapa bahkan mendapatkan penghargaan dari negara.
”Alih status pegawai KPK menjadi ASN ini, kan, konsekuensi logis dari UU No 19/2019 tentang KPK. Jadi, seharusnya TWK tidak berkonsekuensi memberhentikan seseorang. KPK seharusnya bisa lebih fair,” kata Johan.
Menurut Johan, pegawai KPK diberhentikan dengan dasar hukum UU. Pemberhentian itu biasanya terkait dengan pelanggaran kode etik kategori berat, meninggal dunia, atau mengundurkan diri. Pegawai KPK pun tidak diberhentikan karena tidak memenuhi syarat berdasarkan penilaian TWK, bagian dari proses alih status kepegawaian.
Baca juga : Pemberhentian Pegawai KPK Bukan Solusi
Sementara itu, relevansi pertanyaan dalam TWK juga dipertanyakan. Seolah-olah, pertanyaan itu diarahkan untuk mencari tahu apakah ada pegawai KPK terpapar ideologi radikal. Menurut Johan, perlu dicek kembali kepada Badan Kepegawaian Negara serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, apakah tes yang sama juga dilakukan kepada calon ASN lain.
”Kalau dulu sempat ada isu Taliban di KPK, itu salah jika diartikan sebagai ideologi radikal. Taliban di KPK, yang saya tahu, adalah julukan untuk orang-orang yang tegak lurus menjalankan tugasnya. Mereka sulit dipengaruhi independensinya. Bahkan, saat memeriksa perkara, mereka akan membawa minuman sendiri. Itu Taliban yang saya tahu di KPK,” terang Johan.
Putusan MK sudah jelas mengatakan bahwa alih status kepegawaian tidak boleh berdampak pada karyawan KPK sekarang. Seharusnya juga tidak memberhentikan atau mengurangi hak-hak, gaji, tunjangan yang didapat pegawai KPK.
Putusan MK jadi pegangan
Sama seperti Samad, Johan juga berpandangan, TWK tidak bisa menjadi faktor tunggal untuk menilai nasionalisme pegawai lama KPK. Performa dan kerja mereka dalam memberantas korupsi justru menjadi bukti nasionalisme para pegawai tersebut. Kinerja mereka untuk menyelamatkan keuangan negara adalah bentuk nasionalisme yang mewujud nyata.
”Putusan MK sudah jelas mengatakan bahwa alih status kepegawaian tidak boleh berdampak pada karyawan KPK sekarang. Seharusnya juga tidak memberhentikan atau mengurangi hak-hak, gaji, tunjangan yang didapat pegawai KPK,” kata Johan.
Baca juga : MK: Pengalihan Status Tak Boleh Merugikan Pegawai KPK
Suparji Achmad menambahkan, putusan MK dalam uji materi UU No 19/2019 kemarin harus menjadi pegangan bagi KPK. Meski hanya terdapat dalam pertimbangan putusan, klausul itu bersifat mengikat. Putusan MK bersifat erga omnes atau berlaku untuk semua sehingga sesudah dibacakan harus ditaati. Oleh karena itu, peralihan status pegawai KPK tidak boleh merugikan pegawai lama. KPK harus menaati putusan MK dan tidak melempar tanggung jawab atas pengalihan status itu kepada lembaga lainnya.
”Putusan MK itu sudah sangat jelas dan terang benderang. Peralihan status kepegawaian itu bukanlah mekanisme screening untuk memberhentikan pegawai lama,” kata Suparji.
Berprestasi
Giri Suprapdiono mengatakan, sebelum dinyatakan tidak lolos TWK pada April 2021, dia adalah penerima penghargaan Makarti Bhakti Nigari Award 2020 dari Lembaga Administrasi Negara. Pada Desember 2020, dia dinyatakan sebagai peserta diklat terbaik yang dilakukan bersama direktur kementerian/lembaga. Giri juga pernah mengikuti tes terkait radikalisme saat mengikuti seleksi calon pimpinan KPK sebanyak dua kali. Saat itu, dia lolos tes radikalisme yang disusun tim dari TNI Angkatan Darat.
Giri juga beberapa kali menjadi narasumber dalam kegiatan wawasan kebangsaan di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), sekolah staf dan pemimpin (Sespim Polri), hingga sekolah staf dan komando TNI (Sesko). Giri diundang untuk mengajarkan integritas kepada para calon anggota TNI-Polri.
”Kemudian saya dinyatakan tidak lulus TWK. Ini kontradiksi yang luar biasa, sebenarnya ada apa di balik tes ini? Apakah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan relevan dengan materi wawasan kebangsaan?” kata Giri.
Baca juga : Penyadapan Tidak Perlu Lagi Izin Dewan Pengawas
Giri menilai, pertanyaan yang diajukan dalam TWK itu banyak yang tidak relevan. Misalnya, alasan mengapa orang tidak menikah, bacaan doa qunut, hingga kesediaan untuk melepas jilbab untuk peserta perempuan.
Setelah hasil tes TWK itu, sebanyak 75 pegawai KPK juga belum tahu bagaimana nasib mereka ke depan. Apakah mereka akan diberhentikan atau menjadi karyawan kontrak. Menurut Giri, sebelum TWK itu digelar, wadah pegawai KPK sudah melakukan protes kepada pimpinan KPK. Namun, pimpinan KPK mengatakan bahwa TWK hanya sebagai asesmen, bukan seleksi pegawai.
”Kami tidak tahu akan dipecat atau apa? Namun, dari daftar nama yang tidak lolos TW itu, mereka adalah penyidik berintegritas dan berkualitas yang menjadi motor penindakan korupsi,” terang Giri.
Kami tidak tahu akan dipecat atau apa? Namun, dari daftar nama yang tidak lolos TW itu, mereka adalah penyidik berintegritas dan berkualitas yang menjadi motor penindakan korupsi.
Diskriminatif
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam-PBNU) Rumadi Ahmad mengatakan, materi pertanyaan wawancara TWK terhadap 1.351 pegawai KPK yang beredar di publik itu dinilai seksis, rasis, diskriminatif, dan berpotensi melanggar HAM. Misalnya, pertanyaan tentang mengapa umur segini belum menikah? Masihkah punya hasrat? Mau enggak jadi istri kedua saya? Kalau pacaran ngapain aja? Kenapa anaknya sekolah di sekolah Islam (SDIT)? Kalau shalat pakai qunut tidak? Islamnya Islam apa? Bagaimana jika anaknya menikah beda agama?
Menurut Rumadi, pertanyaan wawancara di atas tidak relevan dengan isu wawasan kebangsaan, komitmen bernegara, maupun kompetensi pegawai dalam pemberantasan korupsi. Pertanyaan itu justru ngawur, tidak profesional, dan mengarah ke ranah privat.
”Ini bertentangan dengan Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 yang menjamin seseorang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi,” terang Rumadi melalui keterangan resmi, Sabtu.
Baca juga : Mahkamah Konstitusi Tolak Uji Formil UU KPK
Dari cerita pegawai KPK, Rumadi menduga wawancara yang berbeda-beda, baik dari sisi cara, materi, maupun durasi waktu, itu memperlihatkan adanya unsur kesengajaan untuk menarget pegawai tertentu. TWK seolah menjadi cara sistematis untuk menyingkirkan pegawai berintegritas dan berkualitas. Jika hal itu terjadi, itu adalah ancaman serius terhadap pelemahan dan pelumpuhan KPK yang dilakukan oleh internal KPK dan pemerintah.
Sebagai elemen masyarakat sipil bangsa, PBNU berpandangan bahwa pelemahan dan pelumpuhan KPK hanya akan berdampak pada kerusakan dan penurunan kualitas hidup bangsa. Pelemahan KPK juga niscaya terjadi apabila pegawai yang independen, kompeten, dan berkomitmen tinggi dalam memberantas korupsi disingkirkan. Pegawai KPK hanya boleh ditindak apabila terbukti secara sah melawan ideologi Pancasila atau melanggar komitmen berbangsa dan bernegara sesuai konstitusi dan UUD 1945.
Masyarakat sipil diminta terus mengawal dan menguatkan KPK agar independensinya terjaga. KPK harus dijauhkan dari pengaruh eksternal yang bertujuan untuk melemahkan dan melumpuhkan KPK. KPK sebagai anak kandung reformasi harus dijaga independensinya, kompetensinya, dan loyalitasnya untuk memberantas musuh terbesar bangsa, yaitu korupsi.
Oleh karena itu, PBNU bersikap TWK yang diselenggarakan KPK tidak boleh dijadikan alat untuk mengeluarkan pegawai KPK yang sudah lama bergelut dalam pemberantasan korupsi. TWK bukanlah tes masuk menjadi ASN. Terlebih, pegawai KPK yang dites adalah mereka yang sudah lama bekerja di KPK, berkompeten dalam pemberantasan korupsi.
PBNU juga meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk membatalkan TWK yang dilakukan terhadap 1.351 pegawai KPK karena pelaksanaannya cacat etik-moral dan melanggar HAM. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga diminta mengembalikan TWK sebagai uji nasionalisme dan komitmen bernegara sesuai UUD 1945 dan Pancasila, bukan sebagai screening era Orde Baru.
”PBNU juga meminta kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk mengusut dugaan pelanggaran hak-hak pribadi, pelecehan seksual, rasisme, dan pelanggaran lain yang dilakukan pewawancara kepada pegawai KPK yang diwawancarai,” ujar Rumadi.