Mahkamah Konstitusi Tolak Uji Formil UU KPK

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penolakan itu dikhawatirkan mengakibatkan kemunduran dalam pemberantasan korupsi.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Hakim konstitusi membacakan keputusan terkait uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/5/2021). Dalam persidangan tersebut, MK memutus tujuh perkara berbeda terkait uji materi terhadap UU KPK. Pasal-pasal yang dimohon untuk diuji itu antara lain pasal yang mengatur KPK menjadi bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif, izin penyadapan yang harus melalui Dewan Pengawas KPK, dan kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan.

JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena dianggap tidak beralasan hukum. Dengan adanya putusan itu, diprediksikan upaya pemberantasan korupsi akan mengalami kemunduran.

Putusan uji formil perkara nomor 79/PUU-XVII/2019 dan 70/PUU-XVII/2019 ditetapkan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (4/5/2021). Sidang pembacaan putusan itu sempat diundur sekitar 3 jam 45 menit. Merujuk agenda sidang di situs resmi MK, mkri.id, sidang putusan uji formil UU KPK awalnya diagendakan pada pukul 10.00. Namun, MK mengubah jadwal sidang menjadi pukul 13.00, bahkan kemudian kembali direvisi menjadi pukul 13.30. Majelis hakim konstitusi baru memasuki ruangan persidangan pada pukul 13.45 dan sidang baru dimulai pukul 13.46.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan mengatakan, pokok permohonan dari para pemohon tidak beralasan hukum. Selain itu, permohonan provisi atau permintaan pemohon untuk menunda keberlakuan UU No 19/2019 yang merupakan perubahan kedua atas UU No 30/2002 tentang KPK juga dinilai tidak beralasan menurut hukum.

”Mengadili, dalam provisi menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Anwar.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat, dalil pemohon yang menyatakan bahwa UU No 19/2019 tentang revisi UU KPK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tidak terbukti.

Baca juga : Pembahasan RUU KPK Dinilai Cacat Prosedur

Dari bukti yang diberikan DPR diketahui bahwa RUU KPK telah terdaftar dalam Prolegnas 2015-2019. Pada awalnya RUU perubahan UU No 30/2002 itu masuk dalam Prolegnas tahun 2015, tetapi batal dibahas karena ditolak Presiden Joko Widodo. RUU KPK kembali masuk daftar Prolegnas 2016 dan terakhir masuk dalam daftar RUU kumulatif terbuka pada Prolegnas tahun 2019. RUU KPK kemudian disetujui menjadi RUU usul DPR dalam rapat paripurna 5 September 2019.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Hakim konstitusi Saldi Isra mengikuti persidangan pembacaan keputusan terkait uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/5/2021). Pada persidangan tersebut, MK memutus tujuh perkara berbeda terkait uji materi terhadap UU KPK. Pasal-pasal yang dimohon untuk diuji itu antara lain pasal yang mengatur KPK menjadi bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif, izin penyadapan yang harus melalui Dewan Pengawas KPK, dan kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan.

”Berdasarkan seluruh fakta di atas, Mahkamah berpendapat, ternyata RUU tersebut telah terdaftar dalam Prolegnas dan berulang kali terdaftar dalam Prolegnas prioritas. Sementara terkait lama atau tidaknya waktu yang diperlukan dalam pembentukan suatu perundang-undangan, hal itu sangatlah berkaitan erat dengan substansi RUU tersebut,” kata hakim konstitusi Saldi Isra.

Dalil pemohon yang menyatakan bahwa ada pelanggaran asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, seperti partisipasi publik dalam penyusunan UU KPK, juga dinilai tidak terbukti. Mahkamah berpendapat, DPR telah melakukan serangkaian kegiatan seminar dan diskusi publik untuk menyosialisasikan aturan tersebut. Dalam pembahasan RUU, DPR dan pemerintah selaku pembentuk UU juga mengklaim telah melibatkan KPK. Namun, pihak KPK yang menolak untuk terlibat dalam pembahasan regulasi tersebut.

”Mahkamah menemukan fakta bahwa beberapa kali KPK menolak menghadiri pembahasan perihal revisi UU KPK. Hal demikian berarti bukanlah pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) yang tidak mau melibatkan KPK, tetapi secara faktual KPK yang menolak untuk dilibatkan dalam proses pembahasan rencana revisi UU KPK,” kata Saldi.

Dalil pemohon yang menyatakan bahwa ada naskah akademik fiktif dalam RUU KPK juga tidak terbukti. MK berpandangan ada perbedaan antara naskah akademik yang dijadikan bukti pemohon dan naskah akademik yang dijadikan bukti DPR. Naskah akademik yang diajukan pemohon memiliki halaman depan bertanggal September 2019, sementara naskah akademik yang dijadikan lampiran bukti oleh DPR tidak terdapat halaman depan dan tidak tercantum tanggal.

Lebih lanjut, alasan yang menyatakan bahwa sidang paripurna pengesahan UU KPK tidak kuorum secara fisik tidak terbukti. Setelah mencermati bukti dari kedua belah pihak, MK tidak memiliki keyakinan yang cukup perihal jumlah kehadiran anggota DPR dalam tahap persetujuan bersama revisi UU KPK dimaksud. Pemohon hanya mengajukan bukti berupa salinan suasana rapat paripurna dan salinan artikel media daring yang dianggap tidak dapat menjelaskan perihal keterpenuhan kuorum berdasarkan kehadiran secara fisik 372 anggota DPR dalam tahap persetujuan bersama revisi UU KPK.

Bukti yang diajukan DPR, kehadiran anggota saat rapat dimulai atau dibuka sebanyak 289 anggota dan pada saat selesai/ditutup sebanyak 401 anggota dengan ketentuan kuorum, yaitu 281 anggota dari enam fraksi DPR, serta video rapat paripurna DPR 17 September 2019.

”Untuk kepentingan pembuktian pengujian formil selanjutnya, pemohon dan pembentuk UU tidak cukup hanya mengajukan bukti untuk membuktikan kehadiran anggota DPR secara fisik dengan menyampaikan daftar hadir yang ditandatangani anggota DPR secara fisik, apalagi hanya menyerahkan rekapitulasi kehadiran. Harus diserahkan bukti visual atau bukti audio visual rekaman persidangan yang dapat menunjukkan jumlah kehadiran secara fisik anggota DPR,” kata Saldi.

Berbeda pendapat

Dalam putusan tersebut, sembilan hakim konstitusi tidak bersuara bulat. Ada satu pendapat berbeda, yaitu berasal dari Wahiduddin Adams. Wahiduddin di antaranya berpendapat, perubahan ketentuan mengenai KPK dalam UU KPK secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental. Perubahan ini dinilai sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat, serta dilakukan pada momentum yang spesifik, yaitu hasil pemilu presiden dan hasil pemilu legislatif. UU disahkan hanya beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti anggota DPR periode 2014-2019.

Selain itu, karena RUU ini merupakan inisiatif DPR, daftar inventarisasi masalah (DIM) disiapkan oleh Presiden. Rapat kerja pertama dilaksanakan tanggal 12 September 2019 dan rapat panitia kerja (panja) pertama dilaksanakan tanggal 13 September 2019. Wahiduddin menyimpulkan bahwa DIM RUU KPK disiapkan oleh Presiden dalam jangka waktu kurang dari 24 jam.

Akselerasi penyusunan DIM oleh Presiden ini ditengarai menyebabkan minimnya partisipasi masyarakat, minimnya masukan yang umumnya diberikan secara tulus dan berjenjang, serta sangat minimnya kajian dan analisis dampak bagi KPK selaku pelaksana UU. Dia berpandangan, proses yang supercepat itu menyebabkan rendahnya, bahkan mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas pembentukan UU No 19/2019.

KOMPAS/SHARON PATRICIA

Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo

Pemohon uji formil UU KPK, Agus Rahardjo, saat dihubungi mengatakan, pihaknya kecewa dengan putusan MK. Namun, sebagai warga negara yang patuh, dia menerima putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut.

Agus juga mengapresiasi perbedaan pendapat yang disampaikan Wahiduddin. Menurut dia, adanya perbedaan pendapat yang disampaikan menunjukkan bahwa setidaknya masih ada independensi dan profesionalitas hakim konstitusi.

”Semoga ke depan hakim konstitusi bersikap seperti beliau, melihat persoalan secara jernih dan profesional,” kata Agus.

Tak ada perubahan

Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto mengatakan, putusan MK menegaskan bahwa aturan yang berlaku untuk mengatur kelembagaan KPK tetap UU No 19/2019. Padahal, terbukti, perubahan aturan itu telah menyebabkan penurunan kinerja, integritas, dan profesionalisme KPK. Indeks Persepsi Korupsi, misalnya, menurun tajam setelah revisi UU KPK. Selain itu, upaya pemberantasan korupsi juga mundur karena adanya kebijakan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus korupsi.

Baca juga : Pelemahan KPK Berjalan Mulus, Proses Persetujuan Hanya Makan Waktu 5 Menit

”Selama ini, yang menjadi mahkota KPK adalah independensinya. Upaya pemberantasan korupsi sangat bergantung pada kemauan politik dan sumber daya. Artinya, dengan putusan MK ini, tidak akan ada perubahan signifikan dalam arah pemberantasan korupsi di Indonesia seperti pada saat aturan masih memakai UU No 30/2002,” tegas Sigit.