Mantan Pimpinan KPK: Tak Ada Fanatisme Agama Tertentu di KPK
Mantan unsur pimpinan KPK, Busyro Muqoddas, membantah isu Taliban yang disebut tumbuh di KPK. Isu itu dinilainya tak lebih dari hoaks politik yang diduganya produk dari para buzzer politik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas, menekankan tidak ada pegawai di lembaga antirasuah yang memiliki fanatisme terhadap agama tertentu. Ia juga membantah isu Taliban yang disebut tumbuh di lembaga antirasuah tersebut.
Ketua Bidang Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang juga mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, dalam diskusi virtual ”Menilik Pemberantasan Korupsi Pasca-Tes Wawasan Kebangsaan”, Jumat (7/5/2021), mengatakan, isu Taliban di KPK tak lebih dari hoaks politik. Ia menduga isu itu merupakan produk dari para pendengung (buzzer) politik.
”Saya persaksikan bahwa di KPK selama ini tidak pernah ada fanatisme kelompok agama tertentu, baik Kristen, Islam, maupun Buddha,” ujar Busyro.
Dalam diskusi tersebut hadir sejumlah narasumber lain, di antaranya Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dan pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar.
Busyro juga mengomentari soal 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan sebagai syarat menjadi aparatur sipil negara (ASN). Menurut dia, dari 75 pegawai tersebut, delapan orang di antaranya ada yang beragama Kristen dan Buddha.
”Fakta ini menunjukkan isu Taliban sama sekali tidak ada. Isu itu justru membuktikan ada radikalisme yang dilakukan buzzer yang mengotori perjalanan bangsa,” ucap Busyro.
Oleh karena itu, Busyro mendorong agar jangan sampai 75 pegawai KPK itu diberhentikan. Sebab, ia tidak melihat tes wawasan kebangsaan yang digelar memiliki legitimasi moral, akademis, ataupun metodologis.
Menimbulkan perpecahan
Usman Hamid menuturkan, wawasan kebangsaan sejatinya sangat diperlukan di dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa, bahkan di dalam konteks Indonesia yang beberapa tahun terakhir muncul polarisasi akibat penyelenggaraan pemilu.
Namun, ia menyayangkan, tes wawasan kebangsaan yang diterapkan pada pegawai KPK malah jauh dari roh persaudaraan sebagai satu anak bangsa. Di dalam tes wawasan kebangsaan muncul pertanyaan-pertanyaan yang meminta pendapat pegawai KPK, mulai dari tentang Partai Komunis Indonesia, pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia, hingga persoalan pribadi seperti mengapa belum menikah, apa yang dilakukan semasa pacaran, hingga apakah seorang Muslim ikut merayakan Natal.
”Pertanyaan-pertanyaan kecil yang menimbulkan perpecahan, persaudaraan, bukan membangkitkan, membuncahkan rasa kebangsaan di atas dasar perjuangan melawan ketidakadilan,” ujar Usman.
Wawasan kebangsaan yang termanifestasi di dalam tes wawasan kebangsaan ini, menurut Usman, tidak memiliki perspektif demokrasi. Karena itu, rencana memberhentikan 75 pegawai KPK hanya dari hasil tes wawasan kebangsaan jelas merupakan pelemahan KPK dan sekaligus merupakan skandal terbaru dari usaha melemahkan pemberantasan korupsi, mengkhianati reformasi, dan akan semakin memundurkan kualitas demokrasi yang saat ini sudah rendah.
”Ini adalah langkah mundur di dalam proses demokrasi dan reformasi. Tes ini jelas merupakan upaya menyingkirkan pegawai-pegawai KPK yang dianggap memiliki pandangan politik berbeda dari pemerintah. Dan karena itu, harus dicegah,” kata Usman.
Bukan penyelenggara asesmen
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan, dalam penyelenggaraan asesmen tes wawasan kebangsaan, KPK bukan bertindak sebagai penyelenggara asesmen. Asesmen tes wawasan kebangsaan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Dalam melaksanakan tes wawasan kebangsaan tersebut, lanjut Ali, BKN melibatkan Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis TNI, Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat, Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
”Semua alat tes berupa soal dan materi wawancara disusun oleh BKN bersama lembaga-lembaga tersebut. Sebelum melaksanakan wawancara telah dilakukan penyamaan persepsi dengan pewawancara dari beberapa lembaga tersebut,” tutur Ali.
Dalam pelaksanaan wawancara Ali mengungkapkan, ada pertanyaan yang dikembangkan dari tes tertulis yang sudah berlangsung sebelumnya.
”Kami juga menerima masukan dari publik yang mempertanyakan relevansi beberapa materi dalam wawancara yang tidak berhubungan dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) KPK dan ini menurut kami bisa menjadi masukan bagi penyelenggara asesmen,” kata Ali.
Meskipun demikian, Ali menekankan asesmen tes tertulis dan wawancara ini difokuskan untuk mengukur penguatan integritas dan netralitas ASN. Adapun mengenai aspek kompetensi, pegawai KPK telah memenuhi persyaratan kompetensi dan integritas pada saat perekrutan awal sehingga aspek ini tidak dilakukan tes kembali.
Masih dibahas
Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan, pihaknya bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) masih membahas soal nasib 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan.
Saat ditanyakan mengenai opsi yang akan diambil BKN dan Kemenpan RB terhadap 75 pegawai itu, Menpan dan RB Tjahjo Kumolo hanya menegaskan, ”Dalam tes, ada yang lulus dan ada yang tidak lulus.”
Tjahjo membantah anggapan bahwa antara dirinya dan Ketua KPK Firli Bahuri saling lempar tanggung jawab. Menurut dia, KPK sudah melakukan hal yang benar dengan memutuskan mengenai status 75 orang yang tidak memenuhi syarat.
”Selanjutnya, untuk tindak lanjut proses administrasi, baik yang memenuhi syarat maupun tidak memenuhi syarat, KPK akan berkoordinasi dengan Kemenpan dan RB serta BKN,” ujarnya.