Sejumlah lembaga menyatakan akan menyiapkan pendampingan hukum apabila 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak memenuhi syarat berdasar hasil tes wawasan kebangsaan diberhentikan. Masyarakat menanti keputusan pimpinan KPK.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dukungan terhadap 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi aparatur sipil negara berdasarkan tes wawasan kebangsaan terus bergulir. Tes tersebut dinilai tidak memiliki dasar hukum kuat apabila hendak dijadikan sebagai alasan untuk memberhentikan pegawai KPK.
Saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/5/2021), Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan, dari 1.351 pegawai KPK yang mengikuti tes wawasan kebangsaan, 75 orang tidak memenuhi syarat. Pimpinan KPK akan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sebelum membuat keputusan.
Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, status ASN adalah status peralihan akibat adanya revisi UU KPK yang menetapkan bahwa seluruh pegawai KPK bersifat ASN. Ray menilai, dasar hukum tes wawasan kebangsaan (TWK) tersebut lemah. Sebab, UU No 19/2019 tentang KPK tidak mensyaratkan tes tersebut. UU KPK menyebutkan istilah peralihan status kepegawaian, bukan pemilihan status KPK menjadi ASN.
”Dengan pertimbangan tersebut, saya menolak hasil tes wawasan kebangsaan dimaksud dan meminta agar pimpinan KPK dan pemerintah secara otomatis menetapkan status pegawai KPK sebagai ASN,” kata Ray melalui keterangan tertulis, Kamis (6/5/2021).
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah siap melakukan pendampingan hukum terhadap 75 pegawai KPK tersebut apabila mereka diberhentikan. Kepala Bidang Ligitasi LBH PP Muhammadiyah Gufroni mengatakan, salah satu langkah hukum yang akan dilakukan adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, perlu ditunggu kejelasan siapa saja 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi aparatur sipil negara berdasarkan hasil TWK. Selain itu, perlu ditunggu juga tindak lanjut dari TWK tersebut. ”TWK itu akan menjadi alat potong atau tidak,” kata Zainal.
Menurut Zainal, persoalan tersebut tidak masuk akal karena TWK digunakan untuk alih fungsi pegawai KPK menjadi ASN. Ia menilai, tes ini hanya untuk memusnahkan pegawai KPK yang kritis.
Pengajar hukum Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, menilai, peralihan status itu akan berdampak signifikan pada upaya pemberantasan korupsi ke depan. Bivitri mengatakan, pertimbangan hukum yang digunakan majelis hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2009 tentang uji materi UU No 19/2019 tentang KPK tidak memiliki alasan hukum (legal reasoning) yang kuat.
Dalam pertimbangannya, MK menyamakan status ASN pegawai KPK dengan hakim. Meskipun hakim berstatus sebagai ASN, hal itu tidak memengaruhi independensi mereka dalam memutus perkara dan menjalankan kekuasaan kehakiman.
Menurut Bivitri, nalar dan argumen hukum itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, status ASN di lingkup peradilan seperti MK dan Mahkamah Agung, mayoritas untuk pegawai administratif.
Mereka tidak berhadapan langsung dengan lembaga lain seperti penyidik dan penuntut umum KPK. Penyidik KPK, misalnya, harus berhadapan langsung dengan partai politik, pejabat kementerian dan lembaga, perusahaan swasta dan korporasi untuk penegakan hukum berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Penyidik dan penuntut umum di KPK juga menjadi motor utama penggerak upaya pemberantasan korupsi. Karena itu, ketika status mereka menjadi ASN, penurunan independensi tersebut adalah sebuah keniscayaan. Sebab, ketika berbuat kesalahan, mereka bisa dilaporkan ke Komisi Aparatur Sipil Negara.
”Karakter pekerjaan pegawai KPK dan pegawai MA dan MK jelas berbeda. ASN di MA dan MK lebih banyak mengurus administrasi, sedangkan pegawai KPK menjalankan langsung penegakan hukum. Di MA dan MK, yang menjadi motor utama adalah hakim, dan para hakim itu statusnya bukan ASN,” terang Bivitri.
Bivitri menambahkan, independensi pegawai KPK yang diatur dalam UU KPK lama semula akan digunakan untuk proyek percontohan reformasi ASN. Tak dimungkiri, banyak ASN yang kinerjanya belum optimal karena alasan kesejahteraan yang minim. Namun, pegawai KPK bisa bekerja dengan profesional, berintegritas, dan independen karena mendapatkan jaminan kesejahteraan. Selain itu, tata kelola kelembagaan KPK yang diatur dalam UU No 30/2002 mendukung penguatan independensi pegawainya.
Kini, dengan putusan MK mengenai uji materi revisi UU KPK, tak banyak yang bisa diharapkan. MK tidak membatalkan pasal yang mengatur soal alih status pegawai KPK menjadi ASN. MK hanya menafsirkan ulang norma tersebut dengan memerintahkan tidak boleh ada kebijakan yang merugikan pegawai KPK dalam proses alih status menjadi ASN. Sebab, para pegawai itu sudah lama mengabdi dan mendedikasikan diri dalam upaya pemberantasan korupsi.
”Penafsiran baru MK ini juga tidak akan berpengaruh signifikan pada independensi KPK dan upaya pemberantasan korupsi ke depan. Sebab, itu tidak mengubah desain kelembagaan KPK sekarang yang memang secara langsung telah menurunkan independensi KPK,” tegas Bivitri.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menambahkan, dari nama-nama yang tersebar di publik, 75 pegawai KPK yang tidak lolos seleksi ASN disinyalir merupakan tokoh-tokoh sentral dalam pemberantasan korupsi.
Mereka adalah penyidik senior yang sedang menangani kasus-kasus korupsi besar, seperti kasus korupsi politik, mulai dari memburu buron KPK, Harun Masiku, pengembangan korupsi dana bansos di Kementerian Sosial, ekspor benih lobster, hingga menggali bukti baru korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang berperan signifikan terhadap kerja-kerja KPK setelah UU KPK direvisi.
Peralihan status kepegawaian KPK itu, lanjut Feri, juga hanya menambah masalah baru. Sebab, peralihan itu secara jelas terlihat bertujuan untuk merusak independensi dan integritas pegawai KPK.
Di sisi lain, ketika pegawai KPK disamakan dengan ASN, mereka yang sebelumnya berkinerja baik, profesional, dan berintegritas justru berpotensi meninggalkan KPK karena masalah kesejahteraan. Jaminan hidup dan kesejahteraan selama ini juga menjadi salah satu faktor yang menjaga konsentrasi dan keseriusan pegawai dalam melakukan penegakan hukum kasus korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang disembunyikan secara sistematis.
”Upaya pemberantasan korupsi jelas akan mundur ke depan setelah putusan MK kemarin, sebab masalah kepegawaian ini menambah rentetan masalah baru bagi KPK. Kalau mau memperkuat KPK, kasih senjata untuk melawan musuh (koruptor), bukan malah menjadikan pegawainya sebagai ASN,” tutur Feri.