Penyadapan Tidak Perlu Lagi Izin Dewan Pengawas
Hakim Konstitusi menyebutkan KPK tidak perlu lagi meminta izin Dewan Pengawas jika melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi, pada Selasa (4/5/2021), menolak permohonan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi karena dianggap tidak beralasan hukum. Meskipun demikian, Hakim Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi sejumlah norma di dalam UU tersebut, terutama terkait izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Permohonan yang dikabulkan sebagian itu merupakan perkara yang diajukan oleh Fathul Wahid (Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta) beserta sejumlah dosen Fakultas Hukum UII dalam perkara nomor 70/PUU-XVII/2019.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi yang beranggotakan, antara lain, Aswanto, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih, menyebutkan, KPK tidak perlu lagi meminta izin kepada Dewan Pengawas jika akan melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Mahkamah Konsitusi menilai, Dewan Pengawas bukan merupakan lembaga yudisial sehingga tak berwenang memberikan izin untuk tindakan pro Justitia seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Kewajiban KPK untuk mendapatkan izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan tidak saja merupakan bentuk campur tangan (intervensi) terhadap aparat penegak hukum oleh lembaga yang melaksanakan fungsi di luar penegakan hukum, akan tetapi lebih dari itu merupakan bentuk nyata tumpang-tindih kewenangan dalam penegakan hukum. (Aswanto)
KPK cukup memberitahukan adanya tindakan tersebut ke Dewas paling lama 14 hari kerja setelah dilakukan. Hal ini untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan sehingga penggunaan kewenangan pro justicia tersebut perlu diawasi secara ketat.
”Kewajiban KPK untuk mendapatkan izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan tidak saja merupakan bentuk campur tangan (intervensi) terhadap aparat penegak hukum oleh lembaga yang melaksanakan fungsi di luar penegakan hukum, akan tetapi lebih dari itu merupakan bentuk nyata tumpang-tindih kewenangan dalam penegakan hukum, khususnya kewenangan pro justicia yang seharusnya hanya dimiliki oleh lembaga atau aparat penegak hukum,” ujar Aswanto saat membacakan pertimbangan MK.
Baca juga: Penyadapan dan Informasi Orang Dekat Bisa Jadi Petunjuk Mencari Harun Masiku
Di Indonesia, kewenangan pro justitia hanya dimiliki oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan KPK.
Meskipun demikian, MK sepakat bahwa penyadapan yang sangat terkait dengan hak privasi seseorang perlu diawasi secara ketat. Penyadapan oleh KPK tidak boleh digunakan tanpa kontrol atau pengawasan.
Untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan, MK menilai KPK perlu memberitahukan tindakan tersebut paling lambat 14 hari kerja sejak dilakukan. Khusus untuk penggeledahan, berlaku ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu diperlukan izin ketua pengadilan negeri setempat. Namun, dalam keadaan mendesak, penggeledahan dapat dilakukan terlebih dahulu baru kemudian melapor untuk mendapat persetujuan.
Meskipun demikian, MK sepakat bahwa penyadapan yang sangat terkait dengan hak privasi seseorang perlu diawasi secara ketat. Penyadapan oleh KPK tidak boleh digunakan tanpa kontrol atau pengawasan.
SP3
Terkait kewenangan KPK dalam menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) untuk perkara yang tidak selesai dalam waktu 2 tahun (Pasal 40 Ayat (1) UU No 19/2019), MK berubah pandangan. Dalam putusan sebelumnya, KPK berpendirian bahwa KPK tak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SP3 adalah hal yang konstitusional.
”Namun, dengan mempertimbangkan fakta-fakta empirik yang terjadi di KPK ternyata telah banyak perkara yang pelakunya telah ditetapkan sebagai tersangka namun perkaranya tidak kunjung dilimpahkan ke pengadilan sehingga hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dapat memahami ketentuan adanya diskresi dalam norma Pasal 40 UU 19/2019 yang memberi diskresi kepada KPK untuk menerbitkan SP3,” ujar hakim konstitusi Enny Nurbaningsih.
MK juga memberikan tafsir atas waktu dua tahun yang diatur di dalam Pasal tersebut. Menurut MK, penghitungan jangka waktu dua tahun dilakukan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).
Baca juga: Dua Pukulan bagi Pemberantasan Korupsi
Tak bersuara bulat
Dalam putusan tersebut, sembilan hakim konstitusi tidak bersuara bulat. Ada satu pendapat berbeda, yaitu berasal dari Wahiduddin Adams. Wahiduddin berpendapat, perubahan ketentuan mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam UU KPK secara nyata telah mengubah postur, struktur, arsitektur, dan fungsi KPK secara fundamental.
Perubahan ini sangat tampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat, serta dilakukan pada momentum yang spesifik, yaitu hasil pemilihan umum presiden (pilpres) dan hasil pemilihan umum legislatif (pileg). UU disahkan hanya beberapa hari menjelang berakhirnya masa bakti anggota DPR RI periode 2014-2019.
Selain itu, karena RUU ini merupakan inisiatif DPR, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) disiapkan oleh Presiden. Raker pertama dilaksanakan pada 12 September 2019 dan Rapat Panitia Kerja (Panja) pertama dilaksanakan pada 13 September 2019. Wahiduddin menyimpulkan bahwa artinya DIM RUU KPK disiapkan oleh Presiden dalam jangka waktu kurang dari 24 jam.
Akselerasi penyusunan DIM oleh Presiden ini ditengarai menyebabkan minimnya partisipasi masyarakat, minimnya masukan yang umumnya diberikan secara tulus dan berjenjang (bottom up), serta sangat minimnya kajian dan analisis dampak terhadap pihak yang akan melaksanakan ketentuan, yaitu KPK. Dia berpandangan, proses yang super cepat itu menyebabkan rendahnya, bahkan mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas pembentukan UU 19/2019.
Baca juga: Sepanjang 2020, Dewas KPK Terbitkan 571 Izin Penyadapan hingga Penggeledahan
Pemohon uji formil UU KPK, Agus Rahardjo, saat dihubungi, mengatakan, pihaknya kecewa dengan putusan MK. Namun, sebagai warga negara yang patuh, dirinya menerima putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut. Dia juga mengapresiasi perbedaan pendapat yang disampaikan oleh Wahiduddin. Menurut dia, perbedaan pendapat yang disampaikan menunjukkan bahwa setidaknya masih ada independensi dan profesionalitas hakim konstitusi.
”Semoga ke depan hakim konstitusi bersikap seperti beliau, melihat persoalan secara jernih dan profesional,” kata Agus.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto mengatakan, putusan MK menegaskan bahwa aturan yang berlaku untuk mengatur kelembagaan KPK adalah tetap UU 19/2019. Padahal, terbukti, perubahan aturan itu telah menyebabkan penurunan kinerja, integritas, dan profesionalisme KPK. Indeks Persepsi Korupsi (IPK), misalnya, menurun tajam pascarevisi UU KPK. Selain itu, upaya pemberantasan korupsi juga mundur karena adanya kebijakan SP3 kasus korupsi.
”Selama ini, yang menjadi mahkota KPK itu adalah independensinya. Upaya pemberantasan korupsi itu sangat bergantung pada kemauan politik dan sumber daya. Artinya, dengan putusan MK ini, tidak akan ada perubahan signifikan dalam arah pemberantasan korupsi di Indonesia seperti pada saat aturan masih memakai UU 30/2002,” ujar Sigit.