Penggunaan teknologi ternyata belum berhasil mengurangi praktik suap untuk merekayasa besaran pajak yang harus ditunaikan. Rapuhnya integritas pegawai pajak ditengarai sebagai sebab masih adanya korupsi perpajakan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktur Pemeriksaan dan Penagihan pada Direktorat Jenderal Pajak tahun 2016-2019 Angin Prayitno Aji ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pemeriksaan perpajakan tahun 2016 dan 2017. Angin diduga menerima suap hingga puluhan miliar rupiah dari tiga wajib pajak.
KPK juga menetapkan tersangka lain, yakni Kepala Subdirektorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Dadan Ramdani, konsultan pajak Ryan Ahmad Ronas, konsultan pajak Aulia Imran Maghribi, konsultan pajak Agus Susetyo, serta kuasa wajib pajak Veronika Lindawati.
Pada konferensi pers di Jakarta, Selasa (4/5/2021), Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan, Angin menerima sejumlah uang sebagai kompensasi penghitungan nilai pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak. ”APA (Angin) diduga menyetujui, memerintahkan, dan mengakomodasi jumlah kewajiban pembayaran pajak yang disesuaikan dengan keinginan dari wajib pajak atau pihak yang mewakili wajib pajak. Pemeriksaan perpajakan juga tidak berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku,” kata Firli.
Ia menjelaskan, Angin bersama Dadan diduga memeriksa pajak tiga perusahaan wajib pajak, yaitu PT Gunung Madu Plantations (GMP) untuk tahun pajak 2016, PT Bank Pan Indonesia (BPI) untuk tahun pajak 2016, serta PT Jhonlin Baratama (JB) untuk tahun pajak 2016 dan 2017.
Keduanya diduga menerima Rp 15 miliar dari PT GMP pada Januari sampai Februari 2018. Uang tersebut diserahkan oleh dua perwakilan PT GMP bernama Ryan dan Aulia. Tak hanya itu, pertengahan 2018, keduanya kembali menerima suap 500.000 dollar Singapura yang diserahkan oleh Veronika sebagai perwakilan PT BPI dari total komitmen Rp 25 miliar.
Pada kurun waktu Juli-September 2019, Angin dan Dadan diduga menerima 3 juta dollar Singapura yang diserahkan oleh Agus sebagai perwakilan PT JB. Jika ditotal, uang suap yang diterima kedua tersangka itu mencapai Rp 52,8 miliar.
Pada konferensi pers itu, Firli juga mengingatkan agar wajib pajak, pemeriksa pajak, dan pejabat di lingkungan Ditjen Pajak melakukan hak dan kewajibannya dengan integritas, bukan dengan menjanjikan atau memberikan dan menerima suap. Sebab, pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara utama yang dipergunakan untuk pembangunan negara.
Rekayasa besaran tarif pajak yang harus dibayarkan wajib pajak tentu merugikan negara. ”Akan sangat merugikan bangsa dan negara jika penerimaan pajak direkayasa untuk kepentingan dan keuntungan pihak tertentu. KPK akan melakukan pengawasan dan jika dibutuhkan akan mendampingi proses penghitungan ulang pajak tersebut,” kata Firli.
Ia juga meminta seluruh wajib pajak dan pihak terkait untuk tidak menghalang-halangi penyidikan. Seluruh upaya menghalangi penyidikan memiliki dampak hukum. KPK akan menindak tegas pelakunya. Seusai ditetapkan tersangka oleh KPK, Angin tidak mau menanggapi pertanyaan wartawan.
Pemeriksaan ulang
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Sumiyati mengatakan, Kemenkeu tidak menoleransi tindakan seperti kasus ini. Wajib pajak yang terlibat kasus suap ini sedang dilakukan pemeriksaan ulang untuk melihat adanya potensi penerimaan yang menjadi hak negara yang belum disetorkan ke kas negara.
Tim pemeriksa tersebut tidak hanya terdiri atas pejabat fungsional pemeriksa pajak dari Ditjen Pajak, tetapi juga melibatkan fungsional penilai pajak, unsur kepatuhan internal, dan Inspektorat Jenderal Kemenkeu. KPK juga akan memberikan informasi yang diperlukan dalam proses pemeriksaan ini.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbakhul Hasan mengatakan, kasus suap pajak masih terjadi karena integritas personal pegawai Ditjen Pajak masih rapuh. Padahal, para pegawai pajak sudah menikmati remunerasi dan tunjangan kinerja yang besar.
Menurut Misbakhul, celah terjadinya korupsi pajak masih ada meski sudah dikembangkan secara elektronik. ”Ada permintaan ’konsultasi’ pajak dari wajib pajak. Di sinilah potensi korupsi itu muncul. Wajib pajak bisa meminta ’rekayasa’ besaran pajaknya agar diperkecil dan pegawai pajak tersebut diberi imbalan,” tuturnya.
Agar korupsi tersebut tidak terjadi lagi, para pelakunya harus ditindak tegas untuk menegakkan kembali citra Kemenkeu yang bersih dan antikorupsi. Selain itu, KPK juga harus menetapkan korporasi atau wajib pajak yang terlibat sebagai tersangka.