Konsistensi MK dalam Memeriksa Perkara Ambang Batas Dinanti
Konsistensi MK dalam memeriksa perkara sengketa pilkada, khususnya terkait dengan syarat ambang batas dan tenggat pengajuan perkara, dinanti. MK diharapkan memberi terobosan atas persoalan yang muncul di pilkada.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sembilan dari total 32 perkara sengketa hasil pilkada yang sampai ke tahap pembuktian di Mahkamah Konstitusi diketahui melampaui syarat ambang batas dan waktu pengajuan. Konsistensi MK dalam pemeriksaan pokok perkara itu dinanti publik. Sebab, dalam putusan sebelumnya, ada banyak perkara yang tidak diterima MK karena lewat syarat ambang batas dan waktu.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Ihsan Maulana dalam diskusi daring ”Laporan terhadap Pemantauan Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020”, Kamis (18/2/2021), mengatakan, ada sembilan perkara yang berlanjut pada tahap sidang pembuktian, tetapi sebenarnya melewati syarat ambang batas dan syarat waktu pengajuan. Meskipun tidak memenuhi syarat, perkara diterima oleh MK karena ada regulasi baru mengenai penggunaan Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Syarat ambang batas yang diatur dalam pasal tersebut tidak dijadikan syarat formil pemeriksaan perkara. Namun, pemeriksaannya ada di tengah atau akhir dan menjadi kewenangan majelis hakim.
”Menarik untuk dilihat bagaimana nanti konsistensi MK dalam memeriksa perkara yang melewati ambang batas dan waktu pengajuan tersebut. Sebab, pada putusan sebelumnya, banyak perkara yang tidak diterima dengan alasan melewati ambang batas dan waktu pengajuan,” kata Ihsan.
Ada sembilan perkara yang berlanjut pada tahap sidang pembuktian, tetapi sebenarnya melewati syarat ambang batas dan syarat waktu pengajuan
Sebelumnya, dari total 132 perkara, hanya 32 perkara yang berlanjut ke tahap sidang pembuktian lanjutan atau pemeriksaan pokok perkara. Dalam sidang putusan yang berlangsung pada Senin-Rabu (15-17/2/2021), sebanyak 100 perkara atau 75,75 persen dari total perkara tidak diterima oleh MK. Pertimbangan yang digunakan MK dalam putusan tersebut paling banyak adalah lewat ambang batas 72 perkara, lewat waktu 15 perkara, diajukan oleh bakal pasangan calon dua perkara, dan diajukan oleh pemantau yang tidak terakreditasi satu perkara.
Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan Kode Inisiatif Violla Reininda menambahkan, sejumlah perkara yang melewati syarat ambang batas dan waktu, tetapi masuk ke tahap pembuktian menarik untuk diamati. Beberapa di antaranya adalah sengketa hasil pilkada di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Perkara dengan nomor 46/PHP.BUP-XIX/2021 itu melewati syarat ambang batas. Menariknya, pemohon mendalilkan dugaan adanya politik uang, keterlibatan aparatur sipil negara (ASN), hingga kampanye hitam dengan isu SARA dan jender. Pihak terkait diduga menggunakan kampanye dengan kata-kata ”tidak ada sejarahnya Kabupaten Bandung dipimpin oleh perempuan dan perintah agama pemimpin harus laki-laki”.
Selain daerah tersebut, di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, juga ada dugaan kampanye hitam, serta pemberian mahar politik dalam proses pencalonan yang diakui secara tidak langsung oleh pihak terkait. Pemohon juga mendalilkan adanya politik uang dan keterlibatan aparatur sipil negara dalam pemenangan pilkada.
Adapun di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, perkara juga melebihi syarat ambang batas dan pendaftaran berkas melebihi tenggat yang ditentukan, yaitu tiga hari setelah pengumuman hasil rekapitulasi penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Perkara berlanjut ke tahap pembuktian karena ada asumsi persoalan krusial di tahap pencalonan.
Kami juga berharap putusan MK itu nantinya akan menjadi terobosan dan pencerahan soal isu netralitas penyelenggara pemilu dan penegakan hukum kepemiluan yang lebih optimal. (Violla Reininda)
Menurut dalil pemohon, pihak terkait tidak memenuhi syarat dokumen persyaratan, yaitu dokumen perpajakan tidak sesuai dengan identitas calon bupati. Selain itu, juga ada ketidaksesuaian dokumen ijazah dengan identitas calon wakil bupati yang tidak dilegalisasi oleh pihak berwenang.
”Dalam perkara di atas, kami mengapresiasi langkah MK yang berusaha untuk menggali keadilan substantif dalam perhelatan pilkada. Kami juga berharap putusan MK itu nantinya akan menjadi terobosan dan pencerahan soal isu netralitas penyelenggara pemilu dan penegakan hukum kepemiluan yang lebih optimal,” kata Violla.
Pengamat hukum tata negara Universitas Andalas Khairul Fahmi mengatakan, MK memang sudah progresif dalam menafsirkan syarat ambang batas yang diatur dalam Pasal 158 UU Pilkada. Namun, dalam putusan sebelumnya, karena banyak perkara yang tidak diterima dengan alasan ambang batas dan waktu, seolah ambang batas tetap menjadi syarat formil pemeriksaan perkara sengketa hasil pilkada.
Dalam Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020 pun, istilah yang digunakan oleh MK adalah menunda pemeriksaan syarat ambang batas, bukan mengesampingkan syarat ambang batas. Artinya, ambang batas perkara tetap akan diperiksa meskipun posisinya di tengah atau akhir sidang pemeriksaan.
”Syarat ambang batas tetap akan menjadi pertimbangan yang digunakan oleh MK untuk memutus perkara. Meskipun diperiksa di ujung, bisa saja MK akhirnya memutuskan perkara tidak diterima karena tidak memenuhi syarat ambang batas. Bisa juga MK menempatkan ambang batas sebagai bagian dari pokok perkara. Kita lihat saja nanti,” kata Fahmi.
Akan ada dilema MK dalam menerapkan PMK No 6/2020 dengan hukum acara pemeriksaan perkara sengketa hasil pilkada. Penerapan syarat ambang batas di tengah pemeriksaan masih menyisakan tanya, apakah hal itu menjadi syarat formil atau bagian dari pokok perkara.
Menurut dia, akan ada dilema MK dalam menerapkan PMK No 6/2020 dengan hukum acara pemeriksaan perkara sengketa hasil pilkada. Penerapan syarat ambang batas di tengah pemeriksaan masih menyisakan tanya, apakah hal itu menjadi syarat formil atau bagian dari pokok perkara. Sebab, jika melihat alur di putusan sebelumnya, jelas MK melihat syarat ambang batas sebagai syarat formil, bukan pokok permohonan. Keinginan MK untuk mewujudkan keadilan substantif dalam pemeriksaan perkara yang melewati syarat ambang batas dan waktu akan terbentur dengan hukum acara MK. Situasinya pun akan menjadi lebih rumit.
Sementara itu, Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, PMK 6/2020 seharusnya menegaskan kedudukan MK yang berbeda dengan pemeriksaan sengketa hasil pilkada sebelumnya. Syarat ambang batas tidak hanya dilihat sebagai syarat formil, tetapi sudah masuk pada pokok perkara. Oleh karena itu, seharusnya, seluruh perkara yang diperiksa oleh MK dapat diterima dan dilanjutkan ke pokok perkara.
Namun, dalam putusan sebelumnya, MK justru dianggap membuat putusan yang prematur. MK langsung tidak menerima sejumlah perkara karena dianggap tidak memenuhi syarat ambang batas. Putusan itu dibuat hanya dengan mendengarkan jawaban dari pihak termohon, Bawaslu, dan pihak terkait. MK dianggap kurang membuka ruang untuk menggali fakta, memeriksa bukti yang dibawa oleh pemohon. Keputusan inilah yang disayangkan oleh pihak pemohon dan kuasa hukumnya.