40 Perkara Diproyeksi Tak Berlanjut ke Persidangan dan Pembuktian
Berdasarkan pantauan Kajian Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif pada tahap pemeriksaan pendahuluan perselisihan hasil pilkada di MK, diproyeksi ada 96 perkara yang akan berlanjut. Sebanyak 40 perkara lainnya kandas.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 40 permohonan perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi diproyeksikan tidak berlanjut ke tahap persidangan dan pembuktian. Sebagian besar permohonan tersebut tidak dapat diterima karena diajukan melebihi batas waktu maksimal tiga hari kerja setelah tahapan penetapan hasil rekapitulasi pilkada.
Berdasarkan pemantauan Kajian Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif pada tahap pemeriksaan pendahuluan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) di Mahkamah Konstitusi, diproyeksi ada 96 perkara yang akan berlanjut ke tahap persidangan dan pembuktian.
Sementara 40 perkara lainnya diproyeksi tidak dapat berlanjut karena beberapa alasan. Sebanyak 30 perkara diproyeksi tidak dapat diterima karena diajukan melebihi batas waktu maksimal tiga hari kerja setelah tahapan penetapan hasil rekapitulasi pilkada. Kemudian, empat perkara berpotensi dikeluarkan ketetapan penarikan kembali karena permohonan yang telah diregister dicabut oleh pemohon. Adapun dua perkara berpotensi diputus gugur karena pemohon atau kuasanya tidak hadir saat pemeriksaan pendahuluan dan empat perkara tidak diperiksa karena ditarik sebelum diregister.
”Terdapat 96 perkara yang berpotensi lanjut ke tahap persidangan dan pembuktian karena perkara tersebut masih dalam tenggat dan pemohon masuk dalam kualifikasi sebagai pemohon. Perkara ini terdiri atas dua klasifikasi, yakni 25 perkara masuk ambang batas suara dan 71 perkara yang melampaui ambang batas,” kata peneliti Kode Inisiatif, Ihsan Maulana, saat webinar bertajuk ”Laporan Hasil Sementara terhadap Perselisihan Hasil Pilkada 2020”, Senin (8/2/2020), di Jakarta.
Terdapat 96 perkara yang berpotensi lanjut ke tahap persidangan dan pembuktian karena perkara tersebut masih dalam tenggat dan pemohon masuk dalam kualifikasi sebagai pemohon. Perkara ini terdiri atas dua klasifikasi, yakni 25 perkara masuk ambang batas suara dan 71 perkara yang melampaui ambang batas.
Hadir juga sebagai pembicara peneliti Kode Inisiatif, Violla Reininda, dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari.
Adapun jumlah permohonan pada sengketa perselisihan hasil Pilkada 2020 mencapai 136 permohonan. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 132 perkara yang diregister dan 126 perkara di antaranya dilakukan pemeriksaan pendahuluan.
Tahap pemeriksaan pendahuluan dengan agenda mendengarkan permohonan telah dilakukan pada 26-29 Januari 2021, dilanjutkan dengan mendengarkan termohon dan para pihak terkait, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pada 1-9 Feburari 2021. Sementara rapat permusyawaratan hakim (RPH) dilakukan 1-11 Februari 2021. Tahapan RPH akan memutuskan apakah perkara dilanjutkan pada pemeriksaan pokok atau berhenti sampai sidang pendahuluan.
Feri mengatakan, keputusan MK untuk tidak menjadikan ambang batas sebagai syarat pada tahap pendaftaran menjadi bagian untuk menjamin kualitas demokrasi. Sebab, jika hanya fokus pada selisih hasil, hal itu berpotensi merugikan peserta dan pemilih jika pada pelaksanaan pilkada terdapat pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Putusan terhadap gugatan-gugatan yang bersifat TSM akan menunjukkan arah masa depan MK dalam menyelesaikan perkara perselisihan hasil pilkada. Sebab, selama ini, sejumlah pasangan calon dan kuasa hukum masih ragu untuk mendaftarkan gugatan apabila tidak memenuhi ambang batas.
Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan, syarat bagi peserta pilkada untuk mengajukan sengketa hasil ke MK ialah selisih suara pasangan calon harus berkisar antara 0,5 dan 2 persen berdasarkan suara sah hasil rekapitulasi. Namun, menurut Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilkada, ambang batas dipertimbangkan saat pemeriksaan pokok perkara.
Politik uang
Violla menuturkan, ada sejumlah kasus menarik yang mengemuka saat pemeriksaan pendahuluan dan perlu didalami untuk dibuktikan di persidangan. Beberapa di antaranya merupakan persoalan terkait pelanggaran berupa mahar politik, politik uang, serta penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana dan struktur pemerintahan. ”Kasus-kasus itu dapat mengancam pemilu yang konstitusional,” ucapnya.
Persoalan lain terkait penegakan hukum dan pengawasan oleh Bawaslu yang harus dilihat mendalam, tidak sekadar laporan formil semata. MK harus bisa melihat efektivitas penegakan hukum dapat dijalankan dengan baik atau hanya sebagai instrumen untuk melegitimasi pelanggaran pemilu.
Pada gugatan kasus di Sumatera Barat, lanjut Violla, ada dugaan kriminalisasi terhadap salah satu kandidat yang terlihat cukup janggal dan dimanfaatkan untuk pemenangan salah satu pasangan calon. Empat hari jelang pemungutan suara, salah satu kandidat ditetapkan sebagai tersangka dan statusnya kemudian dicabut dua hari seusai pemungutan suara.
Ada kejanggalan pada kasus ini karena status tersangka dicabut seusai pelapor menarik kembali laporannya. Padahal, dalam hukum pidana, penyidikan seharusnya tetap dilanjutkan meskipun laporan dicabut. Selain polisi mengakui tidak memiliki alat bukti yang cukup, Bawaslu juga mengakui hal serupa. Namun, kandidat tersebut sempat dijadikan tersangka.
Menurut dia, ada kejanggalan pada kasus ini karena status tersangka dicabut seusai pelapor menarik kembali laporannya. Padahal, dalam hukum pidana, penyidikan seharusnya tetap dilanjutkan meskipun laporan dicabut. Selain polisi mengakui tidak memiliki alat bukti yang cukup, Bawaslu juga mengakui hal serupa. Namun, kandidat tersebut sempat dijadikan tersangka. ”Ada inkonsistensi yang dilakukan Bawaslu dan kepolisian,” ujarnya.
Selain itu, putusan MK terhadap sengketa dalam Pilkada Surabaya bisa menegaskan kedudukan pejabat politik dalam pilkada. Sebab, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini disebut membantu pemenangan salah satu pasangan calon dalam kedudukannya sebagai salah satu pengurus partai politik.
”Menjadi bentuk penegasan terhadap jabatan politik seseorang, apakah selalu melekat atau bisa dibagi menjadi dua peran, yakni kepala daerah dan fungsionaris parpol,” kata Violla.