Mahkamah Konstitusi hanya akan mengesampingkan syarat selisih suara untuk permohonan sengketa hasil pilkada jika sejumlah kondisi terpenuhi. Dengan arti kata lain, penyampingan bersifat kasuistik.
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 33 perkara sengketa hasil Pilkada 2020 yang diputuskan Mahkamah Konstitusi atau MK, Senin (15/2/2021), tidak ada yang berlanjut ke sidang pembuktian. Sebagian besar tidak dapat diterima karena melebihi batas waktu dan tidak memenuhi ketentuan ambang batas selisih suara hasil pilkada. MK hanya akan mengesampingkan ketentuan ambang batas itu jika sejumlah kondisi terpenuhi.
Dari 33 perkara yang diputus MK itu, 23 permohonan tak dapat diterima karena melebihi batas waktu dan tidak memenuhi syarat selisih suara atau ambang batas untuk permohonan sengketa hasil pilkada seperti diatur pada Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Adapun enam permohonan telah ditarik kembali, dua permohonan gugur, dan dua permohonan lainnya diputuskan bahwa MK tidak berwenang untuk mengadilinya.
Saat sidang sengketa hasil Pilkada Kabupaten Asahan, hakim MK, Suhartoyo, menjelaskan bahwa Mahkamah dapat menunda keberlakuan ketentuan Pasal 158 sepanjang memenuhi kondisi sebagaimana pertimbangan Mahkamah. Karena itu, Mahkamah hanya akan mempertimbangkan keberlakuan ketentuan Pasal 158 UU No 10/2016 secara kasuistik.
”Terhadap eksepsi termohon (KPU) dan pihak terkait (calon yang digugat) tersebut penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan apakah terdapat alasan untuk menyimpangi ketentuan Pasal 158 UU No 10/2016 sehingga perkara a quo dapat dilanjutkan ke pemeriksaan dalam persidangan lanjutan dengan agenda pembuktian,” katanya.
Pemohon mendalilkan bahwa termohon dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Asahan membiarkan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak terkait saat pilkada. Pihak terkait didalilkan melakukan politik uang dan melibatkan aparatur sipil negara (ASN) sehingga dianggap memengaruhi perolehan suara yang merugikan pemohon.
Terhadap dalil politik uang, Bawaslu menerima laporan itu. Namun, laporan tidak bisa diregister karena tak memenuhi syarat formal (kedaluwarsa) dan tidak ditemukan peristiwa yang didalilkan pemohon. Adapun untuk dalil keterlibatan ASN, laporan disampaikan ke Komisi Aparatur Sipil Negara.
Tidak masif
Dari peristiwa hukum itu, menurut Mahkamah, pelanggaran-pelanggaran tersebut walaupun ada, tetapi pelanggaran itu tidak bersifat terstruktur, sistematis, dan masif sehingga tidak memengaruhi peringkat perolehan suara para pihak secara signifikan.
”Dengan pertimbangan itu, permohonan dinilai tidak memiliki alasan untuk menyimpangi ketentuan ambang batas,” kata Suhartoyo.
Untuk diketahui, selisih perolehan suara pemohon dengan pihak terkait sebesar 12 persen (37.881 suara). Adapun ambang batas yang berlaku 1 persen atau 3.081 suara.
Peneliti Kajian Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Ihsan Maulana, menilai, perkara yang dibacakan ketetapannya biasanya merupakan perkara yang tidak berlanjut ke sidang pembuktian. Namun, ada kemungkinan dalam putusan sela itu terdapat putusan untuk melakukan penghitungan ulang atau pemungutan suara ulang, apalagi jika ada daerah yang memenuhi syarat ambang batas.