Konsistensi Mahkamah Konstitusi Dinanti
Besok Senin hingga Rabu depan, MK dijadwalkan menggelar sidang pengucapan putusan atau ketetapan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah serentak 2020. Dari 136 permohonan, 132 perkara akan diregister.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi dijadwalkan menggelar sidang pengucapan putusan atau ketetapan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah serentak 2020 pada Senin-Rabu (15-17/2/2021) besok. Dalam sidang yang akan digelar secara dalam jaringan itu, MK diharapkan tetap konsisten dalam penerapan ambang batas demi memberikan keadilan substantif.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mahkamah Konstitusi (MK), serta kajian Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, jumlah permohonan pada sengketa perselisihan hasil Pilkada 2020 mencapai 136 permohonan. Namun, dari jumlah tersebut, 132 perkara diregister dan 126 perkara di antaranya dilakukan pemeriksaan pendahuluan.
Dari semua permohonan tersebut, setidaknya ada 29 daerah yang disengketakan memiliki selisih suara kurang dari 2 persen atau memenuhi ambang batas. Selisih suara terendah, antara lain, di Karimun, Kepulauan Riau (0,1 persen); Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (0,1 persen); dan Kotabaru, Kalimantan Selatan (0,2 persen).
Baca juga: MA Sepakati Percepatan Penyelesaian Sengketa Pilkada
Selain di 29 daerah tersebut, selisih suara pasangan calon tidak memenuhi ambang batas. Namun, ada sejumlah daerah dengan sengketa yang cukup penting dan bisa menjadi pembelajaran pada pilkada mendatang. Putusan dari MK bisa mengubah hasil sekaligus memberikan kepastian hukum terhadap kasus-kasus serupa yang mungkin akan terjadi pada pelaksanaan pilkada selanjutnya.
Namun, ada sejumlah daerah dengan sengketa yang cukup penting dan bisa menjadi pembelajaran pada pilkada mendatang. Putusan dari MK bisa mengubah hasil sekaligus memberikan kepastian hukum terhadap kasus-kasus serupa yang mungkin akan terjadi pada pelaksanaan pilkada selanjutnya.
Permasalahan itu, antara lain, terdapat daerah yang perolehan suara sah sama dengan jumlah pemilih di daftar pemilih tetap atau dengan kata lain partisipasi pemilih 100 persen. Bahkan, di Yalimo, Papua, yang tingkat partisipasinya 100 persen sejatinya tidak boleh menggunakan sistem noken sesuai dengan surat keputusan KPU Provinsi Papua. Problematika lain terkait pencalonan karena status mantan terpidana, seperti di Bengkulu dan Boven Digoel.
”MK diharapkan konsisten terkait penerapan ambang batas yang diperiksa saat sidang pembuktian demi mengedepankan keadilan substantif,” kata peneliti Kode Inisiatif, Ihsan Maulana, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (14/2/2021).
Pada sidang perselisihan hasil Pilkada 2020, MK tidak menjadikan ambang batas sebagai syarat pada tahap pendaftaran, seperti pada sidang sengketa pilkada-pilkada sebelumnya. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilkada, ambang batas dipertimbangkan saat pemeriksaan pokok perkara.
Dengan demikian, Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mensyaratkan peserta pilkada untuk mengajukan sengketa hasil ke MK ialah selisih suara pasangan calon (paslon) harus berkisar 0,5 hingga 2 persen berdasarkan suara sah hasil rekapitulasi bukan menjadi pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara berlanjut ke sidang pembuktian atau tidak.
Ihsan mengatakan, sebagian permohonan diproyeksi tidak berlanjut ke sidang pembuktian. Penyebabnya, antara lain, permohonan diajukan melebihi batas waktu maksimal tiga hari kerja setelah tahapan penetapan hasil rekapitulasi pilkada. Ada juga permohonan yang ditarik setelah diregister, pemohon atau kuasanya tidak hadir saat pemeriksaan pendahuluan, serta ditarik sebelum diregister.
Menurut dia, sengketa yang tidak berlanjut ke tahap sidang pembuktian seharusnya hanya permohonan yang tidak memenuhi unsur di atas. Adapun sengketa yang memenuhi syarat tetapi tidak memenuhi ambang batas bisa tetap berlanjut ke sidang pembuktian.
Sebab pemeriksaan pendahuluan pada perselisihan hasil pilkada kali ini berbeda dengan Pilkada 2015, 2017, dan 2018. Ambang batas yang sebelumnya diperiksa pada tahap pemeriksaan pendahuluan, kini diperiksa di dalam pokok permohonan.
”Hal ini patut diapresiasi karena MK memberikan kedudukan yang seimbang terhadap pemohon, termohon, dan pihak terkait dalam perselisihan hasil pilkada. Pemohon diberikan ruang untuk dapat membuktikan dalil-dalilnya di hadapan hakim MK yang bisa saja menyebabkan perbedaan ambang batas yang signifikan,” kata Ihsan.
Moderat
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai, langkah MK yang memberikan kesempatan kepada pemohon dan para pihak untuk didengar terlebih dahulu sebelum memutuskan keterpenuhan persyaratan ambang batas selisih suara merupakan keputusan yang moderat dan progresif. MK menempatkan diri sebagai pengawal demokrasi konstitusional dengan cara memastikan hasil yang ditetapkan adalah hasil pemilu yang diperoleh melalui proses pemilihan yang berlangsung jujur, adil, dan demokratis.
Meski demikian, MK pasti akan sangat berhati-hati dan cermat dalam memutuskan suatu perkara yang melebihi ambang batas untuk dilanjutkan ke tahapan pembuktian. Sebab, MK pasti akan menimbang proses penanganan pelanggaran dan penegakan hukum yang sudah dilakukan oleh para pihak selama penyelenggaraan pemilihan.
”Dengan demikian, hanya daerah-daerah dengan indikasi permasalahan hukum yang sangat kuat saja yang bisa lanjut ke proses pembuktian,” katanya.
Sementara daerah-daerah memenuhi ambang batas sangat berpeluang berlanjut ke tahap pembuktian. Berdasarkan pengalaman penanganan perselisihan hasil pilkada sebelumnya, MK cenderung melanjutkan perkara dengan selisih hasil yang tipis.
”Apalagi kalau dikaji, sebagian besar dalil pemohon yang selisih suaranya tipis adalah soal akurasi dan validitas data pemilih serta fasilitasi hak pemilih untuk memilih. Ditambah lagi dalil soal terjadinya kecurangan yang berkaitan dengan praktik jual beli suara,” tutur Titi.
Apalagi kalau dikaji, sebagian besar dalil pemohon yang selisih suaranya tipis adalah soal akurasi dan validitas data pemilih serta fasilitasi hak pemilih untuk memilih. Ditambah lagi dalil soal terjadinya kecurangan yang berkaitan dengan praktik jual beli suara.
Dalam sejumlah kasus, seperti pencalonan mantan terpidana, putusannya akan sangat berkorelasi dengan tafsir atas putusan MK yang dalam praktiknya ditafsirkan berbeda antara KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ketegasan sikap MK melalui putusan perselisihan hasil pilkada akan mengakhiri polemik antarlembaga penyelenggara pemilu dan juga memberikan kepastian bagi masyarakat untuk kepentingan pemilu dan pilkada berikutnya.
Baca juga: Penyelesaian Sengketa Pilkada di MK
”Apalagi ke depan UU Pemilu dan Pilkada juga belum ada kepastian untuk dilakukan perubahan. Putusan MK akan meluruskan kesimpangsiuran hukum akibat tafsir berbeda antarpenyelenggara pemilu dan hal itu sangat krusial bagi kepastian hukum pilkada dan keabsahan pencalonan mereka yang berlatar belakang mantan terpidana,” ucapnya.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, MK telah menyelesaikan tahap awal persidangan dan melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH). Tiga panel hakim MK melaporkan hasil persidangan dalam RPH yang bersifat pleno dan tertutup. Agenda berikutnya adalah tahap pengucapan putusan dari perkara yang akan dilakukan secara dalam jaringan (daring).
Terhadap sengketa yang diputuskan lanjut ke sidang pembuktian, para pihak dapat menambahkan alat bukti, baik secara tertulis maupun menghadirkan saksi dan ahli. ”Para saksi dan ahli yang akan dihadirkan pada sidang pembuktian memberikan kesaksian dan keterangan secara daring,” kata Fajar.