Kepala PPATK Dian Ediana Rae berpandangan agar RUU Perampasan Aset dapat segera ditetapkan jadi UU untuk membantu pengembalian kerugian negara dari hasil korupsi, pencucian uang, dan tidak pidana korupsi lainnya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset tidak hanya berguna untuk pemulihan aset dari hasil tindak pidana korupsi ataupun pencucian uang, tetapi juga berguna untuk memberikan efek jera kepada koruptor.
Sebelumnya, dalam kunjungan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 15 Februari 2021, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae berpandangan agar RUU Perampasan Aset dapat segera ditetapkan menjadi UU untuk membantu pengembalian kerugian negara dari hasil tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana ekonomi lainnya.
Berdasarkan pemantauan PPATK, upaya pemulihan aset dari hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal, terutama perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya, termasuk hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambut baik usulan agar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana segera menjadi RUU prioritas 2021 di DPR RI.
Dengan menjadi UU, akan memberikan efek dan manfaat positif bagi dilakukannya aset recovery dari hasil tipikor (tindak pidana korupsi) ataupun TPPU (tindak pidana pencucian uang).
”Dengan menjadi UU, akan memberikan efek dan manfaat positif bagi dilakukannya aset recovery dari hasil tipikor (tindak pidana korupsi) ataupun TPPU (tindak pidana pencucian uang),” kata Ali, Selasa (16/2/2021) malam.
Ia menuturkan, bagi KPK, penegakan hukum tipikor tidak hanya terbatas pada penerapan sanksi pidana berupa pidana penjara. Namun, akan lebih memberikan efek jera bagi para pelaku tipikor dan TPPU apabila juga dilakukan perampasan aset hasil tipikor yang dinikmati oleh para koruptor.
Menurut Ali, perampasan aset dari para pelaku tipikor dan TPPU dapat memberikan pemasukan bagi kas negara yang bisa dipergunakan untuk pembangunan dan kemakmuran rakyat.
Pelengkap
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi suplemen atau pelengkap bagi pemberantasan korupsi.
Ia menjelaskan, dengan RUU Perampasan Aset, penegak hukum tidak perlu khawatir jika ada pelaku korupsi yang melarikan diri. Sebab, yang akan menjadi obyek dari penanganan perkara adalah aset milik pelaku tersebut. Selain itu, sistem pembuktian di persidangan pun akan berbeda karena mengakomodasi sistem pembalikan beban pembuktian.
UU Tipikor perlu direvisi dengan menaikkan ancaman hukuman, baik fisik maupun denda, juga memasukkan poin-poin kesepakatan yang ada pada United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
Pemangku kepentingan juga mesti memulai pembahasan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Hal ini penting untuk meminimalkan terjadinya tindak pidana suap dengan cara transaksi tunai. Sebab, pola transaksi tunai tersebut menghambat penegak hukum untuk mendeteksi kejahatan itu.
Selain itu, UU Tipikor perlu direvisi dengan menaikkan ancaman hukuman, baik fisik maupun denda, juga memasukkan poin-poin kesepakatan yang ada pada United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
Data ICW pada semester pertama tahun 2020 menyebutkan, total kerugian negara yang diakibatkan praktik korupsi mencapai Rp 39 triliun, sedangkan vonis pengenaan uang pengganti hanya Rp 2,3 triliun. Kurnia menegaskan, data ini seharusnya semakin menggambarkan betapa pentingnya mempercepat pengesahan dan pengundangan RUU Perampasan Aset.
”Jadi, ke depan, fokus utama bukan hanya sekadar memenjarakan, tetapi juga memulihkan kerugian keuangan negara,” kata Kurnia.