Masa 21 tahun era pemberantasan korupsi di Indonesia belum cukup untuk memberikan efek jera kepada para koruptor. Ada pandangan umum bahwa koruptor lebih takut dimiskinkan hartanya daripada dipidana di penjara.
Oleh
ALBERT ARIES
·5 menit baca
Menyambut Hari Antikorupsi Internasional yang diperingati setiap 9 Desember, rasanya belum lengkap jika tidak dikaitkan dengan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Berdasarkan data Transparency International pada tahun 2019, Indonesia berada di skor 40 (skala 0-100) dan di peringkat ke-85 dari 180 negara. Indonesia terus mencatat kenaikan skor dan peringkat Indeks Persepsi Korupsi meski tidak signifikan dan masih tertinggal dari negara tetangga, misalnya Malaysia (skor 53, peringkat ke-51).
Dinamika penegakan hukum korupsi kerap diwarnai perdebatan, di antaranya apakah tindak pidana korupsi (tipikor) merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Hal ini mengingat Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sudah lama mengatur delik tersebut (Pasal 209-210, 415-420, 423, 425, dan 435).
Bahkan, dalam UU Tipikor dan perubahannya juga tidak ditemukan istilah tersebut. Istilah extraordinary crime justru baru pertama kali disebutkan dalam UU Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), sebuah lembaga negara yang constitutional important dan lahir dari semangat reformasi.
Perdebatan di atas seharusnya dapat ditengahi sejak awal jika kita mau menyelami perspektif internasional dalam Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) di 2003.
Bahkan, dalam UU Tipikor dan perubahannya juga tidak ditemukan istilah tersebut.
Konvensi ini telah diratifikasi Indonesia melalui UU No 7/2006, yang secara umum menggambarkan dampak keseriusan dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi sebagai fenomena internasional terhadap stabilitas dan nilai-nilai demokrasi, yang biasanya berkaitan erat dengan kejahatan bermotif ekonomi terorganisasi, misalnya pencucian uang, sehingga penanganannya harus dilakukan dengan pendekatan komprehensif dan multidisiplin (serious crime).
Salah satu upaya pemberantasan korupsi teranyar pada pemerintahan Jokowi adalah Pengesahan Perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Republik Indonesia dan Konfederasi Swiss melalui UU No 5/2020. Meski demikian, beleid berbasis perjanjian internasional itu dianggap masih belum memadai karena masih perlu didukung dengan UU Perampasan Aset Tindak Pidana (asset recovery), yang sudah disusun naskah akademisnya sejak 2012.
Ubah paradigma lama
Tindak pidana yang dilakukan dengan motif ekonomi, misalnya tipikor, umumnya hanya dapat dilakukan orang-orang yang secara kedudukan, jabatan, status sosial, jaringan, dan kemampuan intelektual mampu mewujudkan suatu kejahatan yang terorganisasi, yang biasanya disertai tujuan untuk memperoleh uang atau keuntungan yang tidak sah, lalu menyembunyikan penguasaannya melalui kerabat atau orang kepercayaannya.
Hal ini pernah diungkapkan pada 1939 oleh sosiolog Edwin Sutherland sebagai ”kejahatan kerah putih” (white collar crime).
Dalam satu dasawarsa berlakunya UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), advokat Fredrik J Pinakunary pernah melakukan penelitian pada 2019 dan menemukan data awal jumlah perkara tipikor dari 2014 hingga 2018 kurang lebih 534 perkara. Dari penelitian itu terungkap bahwa penerapan delik pencucian uang yang bersumber dari UU TPPU dalam dakwaan penuntut umum hanya dilakukan terhadap 23 terdakwa.
Kondisi di atas sekilas menggambarkan bahwa paradigma penyidikan dan penuntutan perkara tipikor cenderung terpaku pada konsep follow the suspect dan bukan follow the money. Padahal, Pasal 75 UU TPPU telah mengatur bahwa dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup tentang terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal (predicate crime), misalnya tipikor, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang, lalu memberitahukannya kepada PPATK sebagai ”lembaga intelijen” di bidang transaksi keuangan.
Dalam RUU asset recovery ditawarkan suatu konsep yang sebenarnya sudah lama dikenal penerapannya di negara-negara common law, yaitu perampasan aset sebagai upaya paksa (dwang middelen) yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan suatu putusan pengadilan, tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelaku tindak pidana tersebut (non- conviction based).
Misalnya, dalam hal pelaku meninggal, melarikan diri, sakit permanen, perkaranya tidak dapat disidangkan, atau dijatuhkannya putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
Adapun proses pemeriksaan permohonan perampasan aset tindak pidana oleh penuntut umum dilakukan terhadap aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dikonversikan menjadi harta pribadi atau orang lain.
Model pemeriksaan yang identik dengan sistem peradilan perdata ini didahului tindakan penelusuran atas adanya dugaan kuat mengenai asal-usul atau keberadaan suatu aset tindak pidana, yang kemudian diikuti pemblokiran, dan penyitaan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, dengan tidak mengurangi hak pihak ketiga yang beritikad baik untuk mengajukan keberatan terhadap permohonan perampasan aset melalui pengadilan negeri.
Menariknya, RUU asset recovery ini juga mengusung konsep pembalikan beban pembuktian (the reversal of the burden of proof), atau biasa dikenal dengan istilah ”pembuktian terbalik”. Dengan demikian, dalam hal seseorang memiliki aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, ternyata tak dapat membuktikan asal-usul atau keabsahannya, aset itu dapat dirampas negara, dengan mengacu pada bukti permulaan dan mekanisme asset recovery.
Lebih takut dimiskinkan
Masa 21 tahun era pemberantasan korupsi di Indonesia yang diawali semangat reformasi, menurut hemat penulis, belum cukup untuk memberikan efek jera kepada para koruptor karena terdapat pandangan umum yang menganggap koruptor ternyata lebih takut dimiskinkan hartanya ketimbang dipidana penjara.
Untuk itu, keberadaan RUU asset recovery ini memerlukan kemauan politik dari segenap bangsa agar mendapat prioritas untuk segera dibahas dan disahkan DPR dan pemerintah, tentu dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang berlaku universal, dan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara (Staatsfundamentalnoorm).
Last but not least, penerapan UU asset recovery ini bukanlah semata-mata untuk menjustifikasi tindakan sewenang-wenang dari negara terhadap warga negaranya, dan senantiasa dapat diuji obyektivitasnya di pengadilan oleh pihak ketiga yang beritikad baik, sebagaimana adagium ex turpi causa non oritur actio, yang artinya ”penggugat tidak dapat menempuh upaya hukum jika hal itu berkaitan dengan perbuatan gelapnya sendiri”.
Albert Aries, Pengajar FH Trisakti dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki)