Terbuka, Pengujian UU Cipta Kerja ke MK
UU Cipta Kerja potensial diujikan ke MK karena masyarakat sipil melihat rekam jejak penyusunan UU itu yang tidak partisipatif. Baleg DPR mempersilakan masyarakat mengambil langkah konstitusional menguji UU tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat yang merasa dirugikan atau berkeberatan dengan aspek formal ataupun materiil Undang-Undang Cipta Kerja dapat mengajukan uji konstitusionalitas UU itu ke Mahkamah Konstitusi. Pengujian ke MK adalah jalan hukum yang sesuai dengan prinsip ketatanegaraan, dan merupakan hak bagi setiap warga negara yang merasa hak-haknya dirugikan secara konstitusional.
Sejumlah masyarakat sipil telah ada yang menyiapkan uji konstitusional ke MK sebagai salah satu jalan untuk menyoal substansi di UU Cipta Kerja yang baru disahkan DPR, Senin (5/10/2020). Selain subtansi UU yang digugat, prosedur penyusunan UU Cipta Kerja yang dinilai kurang partisipatif dan transparan juga membuat UU ini berpotensi untuk diuji secara formal ke MK.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, Selasa (6/10/2020), mengatakan, UU Cipta Kerja kian mengokohkan kapitalisme agraria di Indonesia. Sejumlah ketentuan mengenai pertanahan dan agraria di UU Cipta Kerja yang diklaim pembentuk UU mempercepat redistribusi lahan dan reforma agraria dinilai tidak benar.
Baca juga: Petisi Daring Tolak UU Cipta Kerja Didukung Satu Juta Warganet, Pemuka Agama Dukung Uji Materi
Sebab, pada kenyataannya, menurut Dewi, pengaturan mengenai tanah di UU Cipta Kerja itu justru memudahkan pengadaan lahan bagi investor atau pengusaha besar. Akibatnya, upaya reforma agraria dan perlindungan masyarakat atas hak tanah kian tidak terlindungi.
”Melegitimasi hasrat ekonomi politik ultraneoliberal dengan menggunakan agenda politik kerakyatan, yakni reforma agraria, sebagai tameng pengesahan UU adalah penyesatan publik,” katanya.
Reforma agraria dengan basis pemenuhan keadilan sosial untuk petani dan rakyat kecil, menurut Dewi, tidak mungkin diletakkan dalam dasar-dasar pengadaan tanah bagi investor kakap. Selama ini, pada praktiknya, investor-investor itu kerap merampas dan menggusur tanah rakyat.
Baca juga: Serba Cepat untuk RUU Cipta Kerja
Dewi mengatakan, KPA menolak keseluruhan UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan. KPA sejak awal Februari 2020 menolak keseluruhan isi dari UU Cipta Kerja. Sikap dan aspirasi penolakan itu telah dilakukan dengan beragam cara, termasuk melalui aksi massa sejak Juli sampai dengan September 2020 di tingkat nasional dan daerah.
”Sebagai kelanjutan sikap penolakan, KPA akan menggugat UU ini ke MK. Sebab, sistem ekonomi-politik agraria yang ultraneoliberal dalam UU Cipta Kerja, dengan cara mendorong liberalisasi lebih luas sumber-sumber agraria dan sistem pasar tanah nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi kita,” ujarnya.
Dewi mengingatkan, UU Cipta Kerja tidak hanya berdampak pada satu kalangan masyarakat tertentu, sebab UU ini mencakup 79 UU lain yang lintas sektoral, dan berdampak pada masyarakat luas secara fundamental. Di samping dampaknya amat dirasakan oleh kelompok buruh, UU ini juga akan menyentuh aspek-aspek mendasar lainnya bagi rakyat, seperti lingkungan hidup, pertanahan, perkebunan, pertanian, kelautan, kehutanan, serta usaha kecil dan mikro.
Menurut dia, pengesahan UU Cipta Kerja dengan mekanisme yang seolah ”mengelabui” rakyat, yakni dengan memajukan pengambilan keputusan tingkat kedua, menunjukkan DPR telah mencederai prinsip keterbukaan proses dalam penyusunan UU. Hal ini juga menghancurkan kepercayaan publik.
Di sisi lain, kalangan buruh memulai aksi mogok nasionalnya sebagai respons atas pengesahan UU Cipta Kerja. Mogok nasional ini dilakukan selama tiga hari, yakni 6-8 Oktober 2020.
Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Kahar S Cahyono mengatakan, mogok nasional dan unjuk rasa diadakan di berbagai tempat sebagai bentuk penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Mogok nasional antara lain dilakukan di Jawa Barat, Jakarta, Banten, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, dan sejumlah provinsi lain.
DPR persilakan
Menanggapi rencana pengajuan uji materiil dan uji formal ke MK, DPR mempersilakan dan menganggap hal itu merupakan hak warga negara. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, konstitusi adalah hukum tertinggi. UU dan peraturan apa pun yang berada di bawah konstitusi dapat diuji konstitusionalitasnya.
”Sejak 2003, Indonesia sudah memiliki MK sebagai penjaga tegaknya konstitusi. Dengan demikian, jika pihak tertentu menilai sebuah UU bertentangan dengan konstitusi, UU itu dapat diajukan pengujiannya, baik secara materiil maupun formal. Begitu juga dengan UU Cipta Kerja yang baru saja di setujui oleh DPR bersama pemerintah,” katanya.
Willy mengatakan, beberapa substansi UU Cipta Kerja yang sempat menjadi kontroversi di publik pada prinsipnya sudah diperjuangkan maksimal dalam pembahasan di DPR. Namun, DPR tidak dapat sepenuhnya memaksakan kehendaknya dalam proses-proses politik yang terjadi.
”Silakan saja jika kelompok-kelompok yang merasa UU Cipta Kerja ini belum memenuhi harapannya, dapat mengajukan constitutional review atas pengaturan hal tersebut,” ujarnya.
Terkait dengan pembentukan UU Cipta Kerja itu, menurut Willy, ada kewajiban bagi pemerintah melaporkan pelaksanaannya. Ini adalah mekanisme formal yang dicatatkan di dalam UU. Pelaporan dari pemerintah ini paling lama satu tahun sejak UU tersebut diundangkan.
Menurut Willy, UU Cipta Kerja ini diharapkan dapat segera diimplementasikan sehingga masyarakat juga melihat dampak nyata dari adanya aturan yang memudahkan investasi dan menjalankan usaha. ”Benar bahwa ada hak konstitusional untuk menguji RUU Cipta Kerja ini. Tetapi, kita harus juga bijaksana melihat jauh ke depan atas situasi yang dihadapi bangsa Indonesia,” katanya.
Tiga jalan
Pengajar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, jalan pengujian ke MK jelas merupakan salah satu solusi yang dapat ditempuh untuk menguji konstitusionalitas ataupun mengoreksi UU Cipta Kerja. Namun, selain cara itu, masih ada cara lain yang dapat ditempuh, yakni meminta ketegasan sikap presiden dan melakukan aksi-aksi sosial.
”Presiden masih dapat bersikap terhadap UU Cipta Kerja ini. Sekalipun ini usulan pemerintah, tetapi Presiden dapat saja bersikap tidak mau menandatangani UU Cipta Kerja ini. Contoh menarik adalah UU KPK, yang sekalipun revisinya diajukan oleh pemerintah, tetapi kemudian Presiden tidak bersedia menandatanganinya. Cara ini setidaknya menunjukkan sikap presiden yang tetap mendengarkan aspirasi publik,” katanya.
Di sisi lain, upaya-upaya gerakan sosial, termasuk protes dan penyampaian aspirasi harus pula dilakukan oleh publik. Alasannya, dalam kondisi penyusunan legislasi yang kualitasnya memburuk, publik tidak boleh tinggal diam. Kondisi pandemi memang menjadi kendala gerakan sosial ini. Akan tetapi, gerakan sosial tidak melulu demonstrasi atau unjuk rasa.
Dari kacamata lainnya, Zainal melihat ada problem dalam demokrasi perwakilan di Indonesia. Sebab, DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat malah tidak mewakili kepentingan dan kemauan publik. ”Anggota DPR sekarang dan pemerintah ini kelihatannya tidak lagi mewakili aspirasi masyarakat, mereka punya aspirasinya sendiri. Entah apakah itu dikendalikan kepentingan politik ataukah oligarki, tetapi yang pasti mereka tidak lagi bicara soal publik,” ujarnya.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Rahmah Mutiara menambahkan, UU Cipta Kerja potensial diujikan ke MK karena melihat rekam jejak penyusunan UU itu yang tidak partisipatif, dan tidak sepenuhnya melibatkan pihak-pihak berkepentingan. Sedari awal draf RUU Cipta Kerja disusun oleh pemerintah, publik yang terdampak tidak dilibatkan secara setara, utamanya kelompok buruh.
”Kami melihat DPR dan pemerintah pilah-pilah sekali tentang siapa yang dimintai pendapat mengenai RUU ini. Karena itu, banyak aspirasi masyarakat yang terdampak langsung oleh UU ini tidak terserap dengan baik,” katanya.
Pembahasan yang terkesan tergesa-gesa dan dipaksakan untuk cepat selesai juga terlihat dari bahasa dan ungkapan yang dilontarkan pemerintah. Presiden Joko Widodo, misalnya, di awal-awal draf RUU Cipta Kerja itu dirampungkan meminta agar legislasi itu tuntas dalam 100 hari.
”Jadi kalau memang mau diajukan uji formil ke MK, hal itu potensial ditempuh karena memang pembahasan UU ini sangat cepat dan tergesa-gesa sehingga aspirasi publik tidak terjaring dengan baik. Ketergesaan itu juga tergambar dari pengesahan UU yang juga dilakukan lebih cepat dari agenda awal,” katanya.
Di samping substansi yang problematis, UU Cipta Kerja secara formil juga dinilainya memiliki kekurangan, terutama karena format penyusunannya yang tidak sistematis dan tidak mudah dibaca. Hal itu, menurut Rahmah, menunjukkan ketergesaan dan kekurangcermatan dalam aspek penyusunan.