Serba Cepat untuk RUU Cipta Kerja
Pembahasan hingga pengesahan RUU Cipta Kerja berlangsung begitu cepat. Padahal, suara publik yang menentang RUU tersebut tak henti-hentinya disuarakan. DPR-pemerintah dianggap mematikan akses publik.

Rapat Paripurna DPR dengan agenda pengesahan RUU Cipta Kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020).
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU), di Jakarta, Senin (5/10/2020), menjadi sorotan banyak pihak. Betapa tidak, pembahasan hingga pengesahan berlangsung begitu cepat. Aspirasi publik yang menentang regulasi tersebut dengan mudahnya diabaikan.
Setelah RUU Cipta Kerja disetujui disahkan menjadi UU di tingkat satu, antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah, Sabtu (3/10) malam, gelagat RUU itu akan segera dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disahkan sudah tercium. Ini kemudian terbukti pada Senin.
Senin sekitar pukul 12.00 para anggota Badan Musyawarah (Bamus) DPR mendapatkan undangan dadakan mengikuti rapat Bamus DPR siang itu juga pukul 12.30. ”Anggota banyak yang kaget. Saya di fraksi pun merasa ini sangat mendadak,” kata Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Ledia Hanifa.
Dalam rapat Bamus DPR yang dihadiri pimpinan fraksi dan alat kelengkapan DPR tersebut, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin tiba-tiba menyampaikan agenda percepatan penutupan masa persidangan DPR I periode 2020/2021 dalam Rapat Paripurna DPR yang akan digelar Senin sore. Di jadwal semula, rapat paripurna penutupan masa sidang baru akan digelar 8 Oktober.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Disahkan, Fraksi Demokrat dan PKS Menolak

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan tanggapan pemerintah terkait hasil pembahasan RUU Cipta Kerja kepada Ketua DPR Puan Maharani dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020).
Alasan yang jadi dasar percepatan, banyak anggota DPR, tenaga ahli, dan anggota staf yang positif Covid-19.
”Jadi, pilihannya saat itu, DPR lockdown (ditutup) atau percepat rapat paripurna penutupan masa sidang sehingga anggota DPR reses ke daerah masing-masing,” ujar anggota DPR dari Fraksi PKS, Amin AK, menceritakan suasana rapat Bamus.
Dengan rencana rapat paripurna penutupan masa sidang dipercepat, otomatis agenda pengesahan RUU Cipta Kerja turut menyesuaikan. Pengesahan dijadwalkan dalam rapat paripurna sebelum agenda penutupan masa sidang.
Sontak hal ini menuai protes, terutama dari Fraksi PKS dan Partai Demokrat, yang sejak di tingkat satu menolak pengesahan RUU itu.
”Ini tidak dikasih tahu agendanya apa, rapat pimpinan (Bamus), tahu-tahu siangnya rapat paripurna. Ujug-ujug gitu, ya, gimana, sih. Lha, ini model apa? Kami protes saat itu,” ujar Amin AK.
Namun, apa daya, mayoritas fraksi, berjumlah tujuh fraksi, menyetujui percepatan. Alhasil, rapat paripurna digelar mulai pukul 15.00, Senin.

Buruh melepas baju dalam unjuk rasa di kawasan industri EJIP (East Jakarta Industrial Park), Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (5/10/2020).
Ketika rapat paripurna dengan agenda persetujuan pengesahan RUU Cipta Kerja, ketergesa-gesaan DPR juga tampak. Saat masuk pandangan fraksi-fraksi atas RUU itu, misalnya, Azis sebagai pimpinan rapat sempat menawarkan agar pandangan fraksi tak perlu dibacakan. Alasannya, laporan pembahasan RUU dan sikap setiap fraksi sudah dibacakan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas.
Baru setelah diprotes sejumlah anggota DPR, paripurna memberi kesempatan setiap fraksi membacakan sikap dan catatan akhir mereka terhadap RUU Cipta Kerja.
Situasi memanas
Ketika setiap fraksi sudah membacakan pendapatnya, ketergesa-gesaan, terutama dari Azis sebagai pemimpin rapat, kembali terlihat. Saat anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, masih berkeinginan menyampaikan penolakan fraksinya atas RUU, Azis menolaknya.
Suasana rapat sempat memanas. Terjadi perdebatan antara Benny dan Azis. Namun, Azis tetap berkukuh menolak permintaan interupsi dari Benny. Benny pun geram dan menyampaikan bahwa fraksinya walk out (keluar) dari rapat paripurna. ”Kami tidak bertanggung jawab atas putusan yang diambil di rapat paripurna ini,” kata Benny.
Selanjutnya, pengesahan berjalan mulus hingga rapat paripurna usai pukul 18.00.

Para anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat memutuskan keluar dari ruang Rapat Paripurna DPR saat pengesahan RUU Cipta Kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020).
Pertanyaan pun timbul dari ketergesa-gesaan mayoritas fraksi di DPR tersebut. Apakah percepatan untuk menghindari demo buruh? Buruh sejak 3 Oktober lalu sudah berencana berunjuk rasa besar-besaran jika RUU Cipta Kerja dipaksakan disahkan. Mereka juga mengancam mogok nasional.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi membantahnya. ”Tidak ada itu. Itu ghotak-ghatik-ghatuk (dihubung-hubungkan). Tadi di Bamus sudah disepakati untuk dibawa ke paripurna karena penyebaran Covid-19 di DPR yang kian masif. Laju Covid-19 di DPR bertambah. Sekarang ada empat anggota DPR yang positif dan beberapa staf juga terpapar,” ujarnya.
Baidowi juga membantah tudingan pembahasan RUU Cipta Kerja terburu-buru. Semuanya dianggap sesuai prosedur. Sesuai kesepakatan dan tata tertib DPR, pembahasan RUU harus tuntas dibahas DPR dalam tiga kali masa sidang. ”Kalau tidak, RUU itu bahkan dapat di-drop. Atau, bisa juga RUU itu dilanjutkan pembahasannya oleh alat kelengkapan dewan lainnya,” katanya.
RUU Cipta Kerja diserahkan ke DPR oleh pemerintah pada Februari lalu. RUU lantas mulai dibahas sejak 20 April. Dengan demikian, pembahasan hingga pengesahan RUU memakan waktu hampir enam bulan. Hal ini terbilang cepat jika dibandingkan dengan banyak RUU lain yang pembahasannya bisa makan waktu bertahun-tahun.

Sekelompok massa yang menamakan diri Aliansi Rakyat Bergerak berunjuk rasa memprotes pengesahan RUU Cipta Kerja di Jalan Gejayan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (5/10/2020) malam.
Abaikan suara publik
Terlebih, kecepatan pembentuk UU menyelesaikan RUU Cipta Kerja dilakukan di tengah kritik dan protes publik atas RUU itu. Sebab, RUU Cipta Kerja dinilai tidak hanya berisikan pasal-pasal bermasalah karena nilai-nilai konstitusi (UUD 1945) dan Pancasila dilanggar bersamaan, tetapi juga dinilai cacat dalam prosedur pembentukan.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, aspirasi publik kian tak didengar. Bahkan, dalam pembahasan RUU Cipta Kerja itu terus dilakukan pembatasan seakan tidak lagi mau mendengar apa yang menjadi dampak bagi hak-hak dasar warga.
Bersama sekitar 40 akademisi lainnya dari sejumlah daerah di Tanah Air, Feri menandatangani petisi menolak pengesahan RUU Cipta Kerja.
Hal paling mendasar, menurut Feri, metodenya yang tidak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut tidak mengatur pembentukan UU dengan metode omnibus law. Artinya, sekalipun metode itu dikenal dalam mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan di banyak negara, di Indonesia belum ada aturan yang mendasari metode omnibus law itu.
”Terlebih lagi, semua proses pembentukan hukum ini dilakukan di masa pandemi sehingga sangat membatasi upaya memberi aspirasi untuk mencegah pelanggaran hak-hak asasi manusia,” katanya.
Baca juga: Gerak Cepat Pengesahan RUU Cipta Kerja

Kemacetan saat ratusan buruh berunjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja di kawasan industri EJIP (East Jakarta Industrial Park), Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (5/10/2020).
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, melihat, upaya menjauhi kelompok yang kontra dengan RUU Cipta Kerja sudah tampak ketika Baleg memutuskan rapat di hotel, beberapa waktu lalu, dengan dalil kendala teknis mati lampu di Kompleks Parlemen.
”Saya kira pilihan rapat di hotel bukan karena alasan yang tampak lucu, yaitu mati lampu itu. Yang terjadi sesungguhnya DPR sudah mematikan akses publik dalam pembahasan RUU Cipta Kerja,” ucapnya.
Terkait kritik soal keterbukaan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, Supratman Andi Agtas mengatakan, 64 kali rapat membahas RUU Cipta Kerja selalu terbuka. Rapat juga selalu disiarkan lewat TV Parlemen dan sejumlah akun media sosial DPR. ”Pembahasan sudah transparan dan akuntabel,” ujarnya.
Apa yang disampaikan Supratman tidak salah. Hanya saja, publik tidak terlibat di dalam rapat-rapat itu. Publik menjadi pihak yang pasif dan tidak didengarkan masukannya.
Kini, RUU Cipta Kerja telah disahkan. Namun, setidaknya publik mencatat sekali lagi pembuatan legislasi yang mengabaikan suara mereka.