RUU Cipta Kerja Disahkan, Fraksi Demokrat dan PKS Menolak
Pengesahan RUU Cipta Kerja di Rapat Paripurna DPR sempat memanas. Terjadi perdebatan antara Fraksi Partai Demokrat dan pimpinan DPR. Demokrat akhirnya memutuskan keluar dari ruang rapat paripurna.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja disahkan di dalam rapat paripurna penutupan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 Dewan Perwakilan Rakyat, yang dipercepat, Senin (5/10/2020). Dari sembilan fraksi, dua fraksi menolak pengesahan RUU Cipta Kerja itu karena melihat RUU itu cacat secara formil dan materiil.
Dua fraksi yang menolak pengesahan ialah Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kedua fraksi itu memberikan catatan berkenaan dengan materi ataupun mekanisme pembahasan RUU tersebut yang dinilai terburu-buru dan tidak memperhatikan aspirasi publik sehingga berpotensi merugikan rakyat serta membuka celah bagi liberalisasi ekonomi.
Di dalam rapat, upaya interupsi sempat dilakukan sejumlah anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat yang meminta pimpinan DPR untuk mempertimbangkan agar menunda pengambilan keputusan tingkat kedua di dalam rapat paripurna. Karena permintaan interupsi itu tidak dilayani, anggota Fraksi Partai Demokrat memutuskan keluar (walk out) dari rapat.
Pengesahan RUU Cipta Kerja dilakukan di dalam rapat paripurna yang sekaligus mengagendakan penutupan masa sidang pertama 2020-2021. Penutupan masa sidang pertama ini lebih cepat dari yang direncanakan, yakni pada 8 Oktober 2020. Percepatan itu dilakukan dengan pertimbangan ancaman Covid-19 yang semakin masif. Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengatakan, ada anggota DPR yang terpapar Covid-19 dan beberapa staf DPR dari unsur aparatur sipil negara (ASN) juga terpapar penyakit tersebut. Dengan pertimbangan itu, rapat paripurna untuk penutupan masa sidang dipercepat.
Baca juga : Gerak Cepat Pengesahan RUU Cipta Kerja
Dengan penutupan masa sidang ini, mulai 6 Oktober 2020, DPR akan menjalani reses hingga 8 November 2020. Sementara itu, di sisi lain, menurut rencana, buruh yang tergabung dalam 32 federasi dan konfederasi di Indonesia akan berunjuk rasa serempak secara nasional untuk menolak RUU Cipta Kerja. Mereka juga berencana mogok kerja pada 6, 7, dan 8 Oktober 2020.
Terkait dengan pembahasan RUU Cipta Kerja, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja yang juga Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, pembahasan dilakukan dalam 64 kali rapat.
Rinciannya, 56 kali rapat panja, 2 kali rapat kerja dengan pemerintah, 6 kali rapat tim perumus dan tim sinkronisasi. Rapat dilakukan tujuh hari penuh, termasuk pada hari libur, dan masa reses DPR sejak Februari-Oktober 2020.
Supratman mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja itu telah dilakukan sesuai dengan prosedur, bahkan sangat terbuka karena selalu disiarkan secara langsung oleh TV parlemen dan ditayangkan di media sosial DPR. Rapat yang dilakukan dari Senin-Minggu, baik di dalam maupun di luar gedung DPR, telah seizin pimpinan DPR. Hasilnya, RUU Cipta Kerja yang di dalamnya berisi 15 bab dan 185 pasal tuntas dibahas.
Sejumlah tema yang disoroti publik juga telah dikeluarkan dari pembahasan, yakni pengaturan tentang pers, pendidikan nasional, guru dan dosen, kebidanan, pendidikan tinggi, pendidikan dokter, dan standardisasi penilaian kesesuaian. Sementara itu, ada pengaturan tentang tema-tema baru, antara lain mengenai perlindungan pekerja migran Indonesia, pajak pertambahan nilai barang dan jasa, dan ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Panitia kerja juga menyatakan substansi RUU Cipta Kerja itu menjamin kemudahan berusaha melalui debirokratisasi, pelayanan izin satu pintu, dan biaya yang murah. Di sisi lain, pemerintah melalui RUU itu berusaha mempercepat reformasi agraria dan redistribusi tanah melalui mekanisme Bank Tanah. Perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah juga dijanjikan untuk dimudahkan melalui RUU yang baru disahkan tersebut.
Terkait dengan isu ketenagakerjaan, Supratman membantah RUU itu merugikan pekerja. Substansi RUU itu diklaim meningkatkan perlindungan kepada pekerja. Salah satu aturan yang melindungi pekerja adalah adanya jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) yang dikelola melalui mekanisme BPJS Ketenagakerjaan yang sepenuhnya ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
”Persyaratan pemutusan hubungan kerja tetap mengikuti UU Ketenagakerjaan. RUU Cipta Kerja juga tidak menghilangkan hak cuti haid, cuti hamil, yang diatur di UU Ketenagakerjaan. Kemudahan berusaha yang diatur di dalam UU ini dijamin untuk semua pelaku usaha, mulai dari UMKM, koperasi, dan usaha besar,” kata Supratman.
Dinamika rapat
Mayoritas fraksi menyetujui RUU Cipta Kerja disahkan. Fraksi Nasdem dan Fraksi PAN memberikan catatan kritis terhadap RUU Cipta Kerja sekalipun pada kesimpulannya dapat menyetujui RUU tersebut. Hanya dua fraksi yang secara tegas menolak pengesahan RUU Cipta Kerja, yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS.
Juru bicara Fraksi Partai Demokrat, Marwan Cik Asan, dalam pendapat fraksinya, mengatakan, di tengah upaya debirokratisasi yang dilakukan pemerintah melalui RUU Cipta Kerja, Demokrat menilai pembahasan RUU itu terlalu cepat dan terburu-buru sehingga pembahasan substansi pasal per pasal kurang mendalam. Fraksi Partai Demokrat berpendapat, sejak awal, RUU Cipta Kerja tidak memiliki urgensi dan kegentingan yang memaksa di tengah pandemi.
”Pembahasan RUU Cipta Kerja perlu dicermati satu-satu dan hati-hati, serta mendalam. Harapannya RUU ini menggerakkan investasi dan perekonomian nasional, dan hak pekerja tidak boleh diabaikan. Tetapi, malah RUU ini meminggirkan hak pekerja,” katanya.
Menurut Marwan, RUU Cipta Kerja mencerminkan bergesernya semangat Pancasila, yakni sila Keadilan Sosial, ke arah kapitalistik dan neoliberalistik. ”RUU ini cacat substansi dan cacat prosedur. Proses pembahasan RUU ini kurang transparan, akuntabel, tidak banyak melibatkan masyarakat, jaringan civil society (masyarakat sipil), dan pekerja,” kata Marwan.
Anggota Fraksi Partai Demokrat lainnya, yakni Benny K Harman dan Didi Irawadi Syamsuddin, juga mengajukan interupsi dan meminta agar pimpinan sidang menunda pengesahan RUU tersebut dalam rapat paripurna.
Namun, permintaan itu tidak diindahkan karena pimpinan rapat, Azis Syamsuddin, mengambil putusan berdasarkan pendapat fraksi-fraksi yang mayoritas menginginkan RUU itu tetap disahkan.
Karena tidak lagi diberi kesempatan interupsi, Benny menyatakan, fraksinya walk out dan tidak bertanggung jawab atas putusan yang diambil di dalam rapat paripurna tersebut.
Selain Demokrat, penolakan juga disampaikan oleh Fraksi PKS. Juru bicara Fraksi PKS, Amin AK, mengatakan, fraksinya mengkritisi RUU Cipta Kerja secara formil dalam pembahasannya ataupun aspek substantif yang dinilai bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang disepakati pasca-amendemen konstitusi.
”Secara substansi, fraksi menilai sejumlah ketentuan di dalam RUU Cipta Kerja memuat substansi liberalisasi sumber daya alam yang dapat mengancam kedaulatan negara melalui pemberian kemudahan kepada pihak swasta dan asing. RUU Cipta Kerja juga memuat substansi pengaturan yang merugikan pekerja Indonesia melalui perubahan ketentuan yang menguntungkan pengusaha. Hal ini tecermin dari pasal-pasal hubungan kerja, upah, dan pesangon,” katanya.
Selain itu, menurut PKS, RUU memuat pengaturan yang berpotensi merusak kelestarian lingkungan hidup. RUU Cipta Kerja juga dinilai berpotensi membuka ruang liberalisasi pendidikan. Keberadaan lembaga pengelola investasi yang diatur di dalam RUU Cipta Kerja pun dinilai bertentangan dengan konstitusi karena menutup audit oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK).
Baca juga : Pandemi Covid-19, Polda Metro Jaya Tak Izinkan Demo Anti-RUU Cipta Kerja
Tawarkan kemudahan
Dalam rapat paripurna, pemerintah diwakili oleh 10 menteri yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Menteri lainnya yang hadir secara fisik ataupun virtual ialah Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ida Fauziah, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat Basuki Hadimuljono, dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Airlangga mengatakan, masukan dari fraksi-fraksi menjadi masukan bagi pemerintah. Demikian pula masukan dari fraksi-fraksi yang menolak RUU Cipta Kerja semuanya telah diakomodasi oleh pemerintah di dalam draf UU yang disahkan. Dalam penyusunan RUU itu pun pemerintah telah melakukan kajian dan mengidentifikasi hal-hal apa saja yang diperlukan dalam membuka investasi dan penciptaan lapangan kerja.
”Ada catatan dari Partai Demokrat walau Partai Demokrat tidak hadir di sini. Penting kami sampaikan yang menjadi catatan seluruhnya sudah dijawab oleh UU ini. Proses pembahasan sudah disampailkan secara transparan. Terkait beberapa persoalan pentingnya pemerintah merespons dampak Covid-19, pemerintah telah mengeluarkan Perpres No 82 tentang Komite Pemulihan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi,” katanya.
Terkait dengan masukan soal hak-hak buruh, Airlangga mengatakan, hal itu telah terlindungi di dalam UU yang baru tersebut. ”Justru dengan UU ini negara hadir dalam hubungan industrial. Pancasila hadir dalam hubungan tripartit antara pemerintah, buruh, dan pengsuaha, yakni dengan dikeluarkannya JKP,” ujarnya.
Ketua DPR Puan Maharani dalam pidato penutupan masa sidang DPR mengatakan, UU Cipta Kerja yang baru disahkan itu diharapkan dapat membangun ekosistem berusaha di Indonesia yang lebih baik dan dapat mempercepat terwujudnya kemajuan Indonesia.
”Apabila UU ini masih dirasakan oleh sebagian masyarakat belum sempurna, maka sebagai negara hukum terbuka ruang untuk dapat menyempurnakan undang-undang tersebut melalui mekanisme yang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Baca juga : Tolak Pengesahan RUU Cipta Kerja, Serikat Buruh di Lampung Esok Unjuk Rasa
”DPR melalui fungsi pengawasan akan terus mengevaluasi saat UU tersebut dilaksanakan dan akan memastikan bahwa UU tersebut dilaksanakan untuk kepentingan nasional dan kepentingan rakyat Indonesia,” ujarnya.