Kecamuk Amuk Kaum Muda Belia
Kota lahan subur tindak kekerasan yang melibatkan orang-orang berusia belia. Kaum muda meminta suaranya didengar dan keterlibatannya dinomorsatukan untuk mengakhiri siklus kekerasan yang menimpa mereka.

Neli Triana
Secara global, separuh populasi manusia berusia di bawah 30 tahun. Dengan lebih dari 50 persen manusia sekarang hidup di perkotaan, kawasan urban turut menjadi rumah terbesar bagi kaum muda belia.
Menyumbang jumlah besar dalam komposisi penghuni kota, kepentingan anak muda ternyata belum terwakili sesuai porsinya dalam pembangunan area urban. Masih banyak kota kewalahan menghadapi isu menahun, termasuk kekerasan yang melibatkan kaum muda sebagai pelaku dan korban.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporannya pada 2015 dan 2020 menyatakan, kekerasan di antara anak muda telah menjadi isu kesehatan masyarakat global. Setiap tahun, ada sekitar 200.000 pembunuhan di kalangan orang berusia 10-29 tahun. Angka itu setara 42 persen dari semua pembunuhan di negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Keganasan kekerasan di antara kaum muda terjadi pula di Indonesia. Dalam tiga bulan pertama tahun ini saja, berulang kali publik dikejutkan dengan tawuran, pengeroyokan, penculikan, dan pembunuhan dengan pelaku serta korban sama-sama belia. Terakhir, pembacokan pelajar terhadap pelajar lain yang berakhir dengan tewasnya korban di Bogor, Jawa Barat.
Baca Juga: Pahlawan Kesiangan di Palagan Konflik Lahan

Dua pembacok pelajar AS (16) dihadirkan dalam jumpa pers di Polresta Bogor, Selasa (14/3/2023). AS dibacok saat hendak menyeberang jalan di lampu merah Pomad, Jalan Raya Jakarta-Bogor, Ciparigi, Bogor Utara, Kota Bogor, Jumat (10/3/2023).
Laporan WHO mendefinisikan kekerasan sebagai penggunaan kekuatan fisik ataupun serangan psikis secara sengaja terhadap orang lain atau terhadap suatu kelompok atau komunitas yang dapat mengakibatkan cedera, kematian, kerugian psikologis, kelainan atau gangguan perkembangan fisik dan psikis.
Secara umum, kekerasan kaum muda ada tiga. Pertama, kekerasan ditujukan kepada diri sendiri terbagi menjadi perilaku bunuh diri dan penyalahgunaan diri. Kedua, kekerasan antarindividu, yang dibagi menjadi kekerasan dalam keluarga dan pasangan intim, serta kekerasan komunitas. Kekerasan komunitas oleh sesama remaja yang dikenal, penyerangan orang asing, kekerasan terkait kejahatan properti, dan kekerasan di tempat kerja serta institusi lainnya.
Yang ketiga ada kekerasan kolektif mengacu pada yang dilakukan kelompok lebih besar dan dapat dibagi lagi menjadi kekerasan sosial, politik dan ekonomi. Kekerasan persilangan dari ketiga kategori biasa terjadi. Kekerasan yang terjadi berupa kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan perampasan hak ataupun penelantaran.
Kekerasan anak muda umumnya terjadi di antara individu berusia 10–29 tahun yang tidak memiliki hubungan keluarga dan yang mungkin saling mengenal atau tidak, dan umumnya terjadi di luar rumah.
Baca Juga: Batman dan Hewan-hewan Metropolitan

Tabel keterlibatan remaja dalam kekerasan fisik dan psikis menurut WHO (2015).
Meski demikian, tingkat perbuatan dan viktimisasi yang tinggi seringkali meluas hingga kelompok usia 30–35 tahun. Sekitar 30 persen korban kekerasan tidak pernah bisa menceritakan kengerian yang menimpanya. Data WHO menyebutkan, pembunuhan menjadi faktor keempat penyebab matinya anak-anak. Tiga faktor di atasnya, yaitu kecelakaan di jalan raya, terjangkit HIV/AIDS, dan menyakiti diri sendiri.
Anak korban kekerasan biasanya terluka fisik dan mental, mengalami gangguan kesehatan, berpotensi menjadi pelaku kejahatan saat dewasa, serta berpengaruh buruk pada teman juga keluarga. Lingkaran terdekat pelaku atau korban dapat ikut depresi, berperilaku buruk, melawan aturan, dan agresif.
Dalam skala yang lebih besar, pelaku maupun korban cenderung meninggalkan bangku pendidikan lebih dini. Kerugian lain mencakup kerugian ekonomi. Di Amerika Serikat, sesuai laporan WHO, 20 miliar dollar AS per tahun terserap untuk biaya pengobatan berbagai kebutuhan medis maupun rehabilitasi korban dan pelaku kekerasan.
Sejak 0 tahun
Masih dari badan PBB itu, pemicu kekerasan anak muda, yaitu dari internal individu, pengaruh keluarga dan lingkaran terdekat, dan di tingkat komunitas atau lingkungan sosialnya.
Keluarga dan kerabat dekat menentukan nasib anak sejak ia baru lahir atau 0 tahun. Kehamilan di usia muda, pengaruh obat dan alkohol semasa mengandung, dan pengasuhan buruk membuat bayi tak terurus secara fisik dan mental. Mulai usia 1 tahun bahkan kurang, anak dapat menunjukkan gangguan perilaku dan kesehatan. Bagi anak laki-laki, kekerasan seksual dapat dialami di usia sangat dini hingga di atas 18 tahun.
Baca Juga: Aroma-aroma Kota yang Membuat Jatuh Cinta

Tipologi kekerasan (sumber: WHO, 2015).

Faktor risiko kekerasan remaja berdasarkan level ekologi dan tingkat perkembangan (sumber: WHO, 2015).
Jika benar-benar tertarik dengan pencegahan kekerasan, Anda harus mendengarkan kami.
Di level komunitas, seorang anak bermasalah dapat mulai mengakses alkohol, obat terlarang, senjata tajam dan senjata api, terjebak dalam jurang kemiskinan dan ketimpangan sejak usia 4 tahun atau kurang. Anak sulit berkonsentrasi di sekolah, sulit bersosialisasi, sulit bekerja saat dewasa dan rawan memroduksi rumah tangga malfungsi.
Berkaca dari riset di beberapa negara maju, menurut WHO memutus lingkaran setan kekerasan anak muda dapat dilakukan sejak di level individu atau rumah tangga, sekolah atau lembaga pendidikan, kelompok muda yang lebih tua yang pernah terlibat kekerasan, dan komunitas. Sekolah dan lembaga pendidikan perlu dilengkapi program khusus pengentasan kekerasan.
Pemerintah maupun swasta dapat membantu dengan penegakan hukum, pendampingan psikologis, rumah perlindungan, juga pendanaan yang dibutuhkan. Fasilitas taman kota, gelanggang remaja untuk aktivitas anak muda secara gratis, layanan kesehatan layak dan terjangkau, serta sarana prasarana publik lain yang membuat ruang kota ramah anak juga wajib disediakan.
Bersuara dan bermitra
Meskipun telah menjadi fenomena global dan terjadi di semua negara, WHO menyayangkan riset terkait kekerasan di antara anak muda jarang dilakukan di negara-negara berkembang. Berbagai analisis terkait kekerasan anak muda lebih banyak didasarkan dari riset di negara maju seperti AS dan Eropa. Akibatnya, dikhawatirkan dalam menarik kesimpulan dan membuahkan kebijakan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan.
Menanggapi hal ini, jurnal Youth Voices in Violence Prevention dari Gaberiel Jones Jr dan rekan-rekan penelitinya menarik dicermati. Mereka menyatakan siapa pun ikut campur menangani kekerasan anak muda wajib mendengar suara kaum belia yang bermasalah.
Baca Juga: Rapuhnya Kota-kota Kita

Jones dan timnya turut menambah luas definisi kekerasan. Kekerasan datang dalam berbagai bentuk dan tidak selalu bersifat fisik. Kekerasan dapat berarti lolosnya kebijakan yang langsung atau tidak langsung merugikan seluruh komunitas, warga dibiarkan tidak memiliki tempat tinggal layak, juga kota yang tidak memiliki gambaran positif tentang suku, agama, dan ras seseorang.
”Jika benar-benar tertarik dengan pencegahan kekerasan, Anda harus mendengarkan kami. Apakah Anda menantang kebijakan dan praktik yang menciptakan lingkungan beracun di mana kita merasa tidak punya pilihan selain melakukan kekerasan untuk bertahan hidup?” tulis Jones dan rekan-rekannya.
Baca Juga: ”Gangsta’s Paradise”
Mereka melihat masih banyak kebijakan yang reaktif dan top down dalam menangani kekerasan anak muda. Hal serupa didapati pula di Indonesia. Penanganan kekerasan anak muda masih dipandang kasus per kasus bukan sebagai gejala sosial yang butuh perhatian khusus. Remaja yang tawuran, misalnya ditangkap massal, ditahan sebentar dan diceramahi, kemudian dikembalikan ke orangtuanya. Tak berapa lama, tawuran serupa terjadi, bahkan melibatkan remaja yang sama.
Para peneliti menekankan kaum muda harus menjadi mitra bukan sebagai bahan eksperimen sosial. Dengan terlibat langsung sebagai mitra, semua akan melihat individu atau komunitas itu dalam kacamata yang sama. Dari sana, baru dapat direncanakan sumber daya dan sistem pendukung untuk membantu kaum muda memimpin perubahan terhadap dirinya serta lingkungan sosialnya.
Waktu yang dibutuhkan tak akan pendek, tetapi solusi yang didapat lebih efektif dan berdampak jangka panjang.
Baca Juga: Catatan Urban