Di atas tanah luas terbatas itu, kebutuhan kota terus tumbuh. Konflik lahan pun biasa terjadi. Konflik paling kronis adalah yang mencakup administrasi pertanahan yang korup dan perebutan melibatkan peran negara.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
SALOMO
Neli Triana (NEL)
Konflik lahan di perkotaan sejak lama telah diterima sebagai dampak perkembangan kawasan urban yang melaju pesat. Area-area pusat pertumbuhan hampir selalu kewalahan menghadapi lonjakan jumlah penduduk seiring bermunculannya pusat ekonomi, seperti pabrik, pasar, juga pusat jasa lainnya. Penduduk yang melimpah menuntut kepastian tempat tinggal dan berbagai infrastruktur pendukung mulai dari jalan, sarana untuk mobilitas, sekolah, sampai fasilitas kesehatan. Semua itu harus dipenuhi dengan menyediakan lahan memadai agar dinamika kota bergerak stabil.
Kebijakan tata ruang pun selalu terlambat datang dan bisa tenggelam di tengah arus perubahan besar kawasan yang dilanda banjir bandang urbanisasi. Perubahan dari lahan tak bertuan menjadi kota mandiri terjadi tanpa tahapan transisi untuk adaptasi. Sampai saat ini, jejaknya masih terlihat.
Di sebagian tetangga Jakarta misalnya, ada mal, jalan tol, dan perumahan kelas atas yang wilayah administrasinya masih masuk kategori desa, bukan kelurahan. Bukan temuan baru pula ketika ditelisik lebih jauh dalam aturan tata ruang, area tersebut masih kategori persawahan atau tanah pertanian atau lahan hijau.
Di atas tanah yang sama dan terbatas luasnya itu, kebutuhan kota tak pernah berhenti tumbuh. Konflik lahan begitu mudahnya terjadi dalam berbagai bentuk dan tingkat kerumitan. Ada konflik batas lahan antartetangga, sengketa tanah warisan antaranggota keluarga, dan perselisihan tentang penggunaan sebidang tanah di area tertentu. Konflik-konflik itu relatif mudah dipecahkan karena tidak melibatkan banyak pihak yang menambah kompleksitas persoalan.
Lombard mengutip studi etnografi dari Durand (1983) menyebutkan justru peran pemerintah atau negara yang tidak netral yang membuat masalah sengketa lahan memburuk, bahkan mematikan.
Masalah perebutan lahan menjadi penyakit berat ketika melibatkan beberapa pihak, termasuk kelompok tertentu yang menginvasi atau menggusur seluruh permukiman atau satu kawasan tertentu yang telah terlebih dulu difungsikan oleh kelompok lain.
Namun, Lombard juga Magsi dan rekan-rekannya yang mendalami konflik lahan di perkotaan menemukan bahwa sejauh ini konflik paling rumit, paling kronis, paling sulit dicari solusinya adalah yang mencakup administrasi pertanahan yang korup dan perebutan tanah melibatkan peran negara.
Padahal, konflik lahan dengan berbagai level kepelikannya bukanlah hal yang tidak diantisipasi sebelumnya. Pemerintah membuahkan produk-produk hukum yang sebenarnya mampu menyelesaikan masalah ini, dari yang paling sederhana sampai yang tersulit. Akan tetapi, Lombard yang mengutip studi etnografi dari Durand (1983) menyebutkan, justru peran pemerintah atau negara yang tidak netral yang membuat masalah sengketa lahan memburuk, bahkan mematikan.
Setengah abad lalu, Durand meneliti konflik lahan di suatu kawasan di kota Meksiko. Ia menemukan begitu banyak aktor terlibat dalam sengketa tak berujung yang melibatkan warga, tokoh masyarakat ataupun pamong pemerintah di tingkat kampung, kelompok gerakan sosial setempat, lembaga lokal, sampai pemerintah federal atau tingkat pemerintahan di level yang lebih tinggi.
Foto udara hunian warga yang hangus akibat kebakaran Terminal Integrated Bahan Bakar Minyak (BBM) Depo Pertamina Plumpang di Jalan Tanah Merah Bawah, Kelurahan Rawabadak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Selasa (7/3/2023).
Para aktor itu ada yang saling mencaplok mengatasnamakan kepentingan tiap pribadi, kelompok tertentu, juga negara. Ada aksi protes berujung represi kekerasan yang justru membuka jalan untuk negosiasi dan kooptasi oleh pihak tertentu. Pada akhirnya, respons aparat yang mewakili aspirasi politisi, bahkan partai politik, menentukan institusi lokal yang akhirnya berwenang atas lahan yang diperebutkan.
Institusi itu ada di bawah kontrol tangan berkuasa yang cenderung memanipulasi situasi untuk mempertahankan kekuasaan atas kontrol sosial. Kekuasaan itu diperlukan karena sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mendukung kepentingan mereka.
Di Jakarta, Indonesia, praktik yang sama pun tercium. Lahan berhektar-hektar di Tanah Merah, Plumpang, Rawabadak Selatan, Koja, Jakarta Utara, sudah sejak puluhan tahun silam terus diingatkan agar segera dijernihkan status kepemilikan dan pemanfaatannya.
Sekitar 150 hektar lahan berstatus milik negara itu sejak 1970-an telah diatur pemanfaatannya oleh salah satu perusahaan milik negara dilandasi Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 190/HGB/DA/76 tertanggal 5 April 1976.
Meskipun demikian, proses urbanisasi di Jakarta yang berdampak pada makin banyaknya orang datang ke Ibu Kota dan mencari tempat tinggal murah di tengah upaya mencari rejeki tak dibarengi penyediaan rumah layak yang memadai. Warga pada akhirnya terbiasa mencari solusi sendiri atas kebutuhan rumahnya dengan menduduki lahan-lahan kosong tak dirawat, tidak dijaga, dan tidak dimanfaatkan oleh pemilik hak kelola, termasuk di Tanah Merah, Plumpang.
Petugas pemadam kebakaran memadamkan api sekaligus mencari jenazah di reruntuhan bangunan terbakar di belakang pipa penerimaan bahan bakar di Depo Pertamina Plumpang di Jalan Tanah Merah Bawah, Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Jumat (3/3/2023).
Seperti yang terjadi di Meksiko, banyak cerita bagaimana warga bisa menduduki sebagian Plumpang. Ada yang membeli dari orang yang menyatakan dirinya aparat setempat, tokoh lokal, pewaris tanah di sana, dan banyak lagi.
Dalam catatan harian Kompasdan Kompas.com, andil politisi serta penguasa cukup besar dalam membuat warga makin merasa yakin status rumahnya di Plumpang adalah sah. Pada 2012, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berbekal surat keputusan gubernur telah membentuk tim penanganan masalah Tanah Merah. Tim terbentuk, tetapi tak ada hasil kerjanya.
Di bawah Gubernur Jakarta baru terpilih di tahun yang sama, ada kebijakan pemberian kartu tanda penduduk (KTP) DKI bagi warga Tanah Merah. Kepemilikan KTP DKI secara tidak langsung mengakui legalitas mereka sebagai warga setempat.
Sembilan tahun kemudian, di bawah kepemimpinan Gubernur Jakarta terpilih lainnya, ada lampu hijau menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) bagi warga Tanah Merah. Diyakini, para penguasa menutup mata atas bara isu konflik lahan di sana hanya demi kepentingan suara pendukungnya. Setelah kini api dari Depo Plumpang menewaskan sedikitnya 19 orang, arah penyelesaian konflik lahan di sana belum benar-benar jelas.
Di Jakarta, sangatlah panjang catatan aset daerah dan lahan negara yang menjadi sasaran empuk sejumlah pihak untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya atas nama diri ataupun kelompok. Perubahan kebijakan terkait dengan pengelolaan aset dalam tiga periode, yakni kurun tahun 1971-1981, lalu 1981-1990, dan 1990-sekarang, membuat tidak semua aset DKI tercatat. Jumlah aset yang tercatat juga dinilai sangat jauh lebih rendah dari potensinya, (Kompas, 5/8/2016).
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Gundukan-gundukan tanah di eks Taman Bersih, Manusiawi, Berwibawa (BMW) di Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (5/12/2018).
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah beberapa kali kehilangan asetnya dan kalah di pengadilan. Kasus sengketa lahan di eks Taman BMW, Papanggo, Jakarta Utara, salah satu contohnya. Kemudian, ada jual beli lahan fasilitas umum dan fasilitas sosial di Grogol Utara, Jakarta Barat, tanah di Permata Hijau, Jakarta Selatan, juga penguasaan lahan Kantor Wali Kota Jakarta Barat.
Akibat paling mudah terlihat dan dirasakan sebagai dampak buruknya pengelolaan aset lahan itu adalah Pemprov DKI dan pusat selalu menemui hambatan keterbatasan lahan ketika akan membangun infrastruktur publik, seperti jalan, jaringan angkutan umum, dan rumah susun sederhana.
Konflik terbuka disertai kekerasan, seperti bentrok antarkelompok atau organisasi masyarakat yang mewakili pihak-pihak berbeda terkait klaim atas lahan tertentu, juga sering terjadi. Tak jarang satu-dua nyawa, bahkan lebih, melayang.
Konflik lahan di perkotaan telah menjadi palagan yang tak kunjung selesai. Pemerintah setempat dan negara perlu kembali menjadi pihak netral pembuat serta pelaksana kebijakan yang tepat tanpa mengorbankan salah satu pihak, apalagi yang terlemah. Tak perlu menjadi pahlawan kesiangan dan mengambil keputusan politis untuk sekadar menguntungkan kelompok sendiri.