“Gangsta's Paradise”
“If they can't understand it, how can they reach me”. Sepenggal lirik dalam “Gangsta's Paradise” itu memicu pertanyaan lain, kalau tidak paham masalah, seperti halnya isu pelik perkotaan, bagaimana bisa mencari solusi.
Gangsta's Paradise, lagu yang nge-hits di tahun 1990an kembali terngiang-ngiang di kepala ketika berbagai media memberitakan kematian rapper penyanyinya, Coolio, pekan lalu.
Keep spendin' most our lives, livin' in the gangsta's paradise
Look at the situation they got me facin'
I can't live a normal life, I was raised by the street
Melalui lagu yang membawanya memenangi penghargaan musik Grammy pada 1996 itu, Coolio berbagi kisah getir kaum muda yang terperangkap sebagai anggota geng di perkotaan Amerika Serikat. Semasa remaja, ia sendiri akrab dengan kehidupan geng. Ia dan banyak remaja lain yang rata-rata dari keluarga miskin, tidak harmonis, dan bermasalah, terbiasa terlibat kejahatan jalanan, menyandang stigma buruk sebagai sampah masyarakat, hingga menghadapi kematian dini.
Terhitung sampai Juli 2022, CNN mencatat sudah 1 miliar kali video klip Gangsta's Paradise ditonton di kanal Youtube. Penikmat lagu itu bertambah ketika penyanyi bernama asli Leon Ivey Jr itu meninggal karena serangan jantung pada 28 September lalu di usia 59 tahun.
“Ini adalah salah satu lagu yang melampaui lintas generasi,” kata Coolio semasa hidup seperti dikutip CNN. Lagu itu lugas dan apik, seperti "teriakan" dari dunia keras hidup di jalanan, yang menggambarkan realitas urban kelompok tertentu. Realitas yang sulit dipahami pihak lain yang tak pernah mengalami nasib serupa.
Baca juga : Kelaparan dan Malnutrisi di Perkotaan Itu Nyata
Banyak peneliti atau akademisi menilai pengusung musik dan budaya rap maupun hip-hop semata pendukung dan pendorong kekerasan. Menangkis hal itu, peneliti Alexander Riley dalam jurnalnya menegaskan bahwa musik rap dan budaya hip-hop perlu dipahami dalam sudut pandang baru sebagai bagian dari budaya masyarakat.
Mencoba memahami Riley, apa pun yang disuarakan penganut subgenre gangsta rap lewat karya-karya mereka menjadi jendela bagi siapa pun untuk mengenal lebih dekat kelompok masyarakat urban yang tersisih. Dari sana diharapkan muncul pendekatan-pendekatan baru untuk menemukan solusi mengentaskan mereka dari kubangan masalah, yang bisa jadi bergenerasi.
Penyelesaian secara komprehensif nyaris tidak pernah dilakukan, semua terbatas pada kajian riset atau program percontohan.
Mengaitkannya dalam konteks perkotaan di Indonesia seperti halnya di Jakarta, kasus tawuran antarpelajar dan maraknya geng motor, mirip dengan fenomena kehidupan geng yang dijalani atau disuarakan Coolio. Begitu pun serangkaian kekerasan "klitih" di Yogyakarta, yang tak juga berujung.
Mengamati dari berbagai laporan di Harian Kompas sejak sekitar 15 tahun lalu sampai sekarang, tawuran di Jakarta dan sekitarnya bertransformasi dari waktu ke waktu. Ada tawuran antarkampung dan tawuran antarpelajar. Dulu tawuran pelajar biasanya sekelompok siswa dari suatu sekolah mencegat angkutan umum yang ditumpangi pelajar dari sekolah lain yang dianggap musuh lalu berantem ramai-ramai.
Ketika sepeda motor makin biasa dipakai remaja di bawah umur, pergerakan tawuran makin luas hingga antarkota sampai muncul geng motor. Geng motor ini ada yang berkembang pula menjadi begal dan memicu banyak kasus kekerasan lain di jalanan. Saat telepon pintar makin terjangkau, kekerasan anak muda merambah memanfaatkan media sosial dan gim daring. Ajakan temu darat untuk tawuran semudah ajakan berteman atau bermain gim.
Namun, siapakah anak-anak di bawah umur yang terlibat kekerasan itu? Apakah mereka seperti kisah Coolio sebagai anak-anak dan remaja yang bergelimang kekerasan dan ketidakharmonisan? Pendekatan apa yang cocok untuk menghentikan siklus kekerasan pada kaum muda itu?
Baca Juga: Rencana Detail Tata (R)Uang
Tak kurang dari sosiolog, psikolog, pemerhati anak dan keluarga, juga polisi mengeluarkan pendapat serta saran solusi. Pengaruh buruk media sosial, gim daring, kondisi lingkungan tempat tinggal, dan keretakan dalam rumah tangga selalu disebut sebagai pemicu perangai dan perilaku tak beradab anak-anak muda. Ujungnya, lagi-lagi berbagai saran solusi itu berhenti di tataran pernyataan kepada publik, tanpa menyentuh langsung ke akar masalah. Lalu, kejadian serupa berulang dengan sejumlah korban jiwa.
Tidak heran jika anak yang pernah ditangkap karena tawuran kemudian tertangkap lagi karena kasus yang sama, bahkan terlibat dalam kekerasan lebih serius seperti penganiayaan sampai korban luka berat dan pembunuhan. Mau sampai kapan? Belum terlihat ujungnya.
Pada akhirnya yang diterima publik adalah ada kawasan rawan tawuran, geng motor, atau tindak kekerasan lain. Anak-anak di sekolah dan tinggal di area tertentu adalah berandal yang layak dijauhi, hanya bikin onar. Stigma ditempelkan, lalu publik memilih menghindari area dan kelompok itu.
Pihak yang berwenang pun menanganinya secara sporadis. Setiap kali ada kasus, jika sampai ada yang luka atau mati, baru ada yang ditangkap dan dipidana. Jika tidak, sebatas pembinaan dengan penyuluhan dari petugas, pemuka agama, lalu dikembalikan ke orangtua. Penyelesaian secara komprehensif nyaris tidak pernah dilakukan, semua terbatas pada kajian riset atau program percontohan.
Baca Juga: Bantuan Setara Rp 20.000 Per Hari demi Menjaga Daya Beli
Upaya pendekatan dan penyelesaian isu urban terkait kekerasan anak-anak muda yang tak beranjak dari masa ke masa ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan penanganan masalah lain. Ingin contoh?
Banjir, misalnya, pendekatan utamanya selalu bagaimana membuat sungai dan sistem drainase makin lancar mengalirkan air. Sistem parkir air dengan waduk dan situ, dirintis baru-baru ini dan belum banyak hasilnya. Mitigasi di akar rumput minim dilakukan.
Padahal, amat perlu tiap individu dan kelompok masyarakat dididik mengenali kondisi lingkungannya, kerentanan apa saja di sana, juga apa yang perlu dilakukan bersama pihak berwenang di tiap permukiman, fasilitas pendidikan, dan lainnya di saat cuaca ekstrem makin sering menghampiri.
Akibatnya, nyaris selalu ada korban setiap kali hujan lebat mengguyur disusul genangan muncul di mana. Pernah ada pengguna jalan yang terperosok ke dalam lubang saluran air di bawah trotoar yang tak tertutup semestinya dan tak terlihat ketika air meluap. Terakhir, kejadian robohnya tembok di MTsN 19 Pondok Labu, Jakarta Selatan, yang menyebabkan tiga siswa meninggal.
Baca juga : Catatan Urban
Seperti letupan gugatan Coolio di Gangsta's Paradise, rasanya setiap hari derap pembangunan tak pernah berhenti. Para pemimpin tak sungkan bicara kesuksesannya membangun kota, membangun negeri, menyatakan kesejahteraan makin mengakrabi rakyatnya. Akan tetapi, banyak hal di lapangan yang tak semanis kata-kata mereka.
Everybody's runnin', but half of them ain't lookin'
It's goin' on in the kitchen, but I don't know what's cookin'
They say I gotta learn, but nobody's here to teach me
If they can't understand it, how can they reach me
I guess they can't, I guess they won't
I guess they front, that's why I know my life is out of luck, fool.
Kesejahteraan dan ketentraman semua kalangan di mana pun bukanlah semata perjuangan kata-kata.