Rencana Detail Tata (R)Uang
Rencana detail tata ruang adalah instrumen pemerintah untuk melayani warganya. Aturan ini menjamin publik memahami dan ikut andil menentukan arah pembangunan di daerahnya. Yang terjadi kadang sebaliknya.

Neli Triana, Wartawan Kompas
Pembangunan pesat di kawasan perkotaan membuat warganya terkaget-kaget. Bidang lahan kosong di samping permukiman dalam sekejap bisa berubah menjadi perumahan berpagar keliling, perkantoran, apartemen berpuluh lantai, bahkan ruas tol baru. Di sana-sini pengembang menguasai ruang kota. Semua bernilai uang, seperti ada tag harga jual tinggi di setiap jengkal lahan.
Pesatnya pembangunan dan pengembangan kawasan tidak dibantah selalu memberi nilai plus. Akses jalan hingga berbagai fasilitas lain, seperti pasar, angkutan umum, sekolah, rumah sakit, taman, dan tempat hiburan, makin tersedia serta mudah dijangkau.
Di sisi lain, tak jarang warga terganggu sekaligus terancam. Akankah mereka dapat tetap di sana atau bakal tergusur atas nama kepentingan pembangunan?
Kondisi buruk lainnya, mereka tetap di tempat semula, tetapi tersisih. Warga dipaksa terbiasa dengan kegiatan dan kesibukan melibatkan orang-orang baru yang bermunculan. Namun, mereka hanya bisa menonton tanpa terlibat, apalagi menangguk keuntungan dari dinamika di sekelilingnya itu.
Rencana tata ruang kemudian hadir dengan maksud sebagai aturan yang menunjukkan pemerintah hadir dengan menjamin semua kepentingan warga, juga keseimbangan lingkungan alam, terlindungi.
Baca juga : Bantuan Setara Rp 20.000 Per Hari demi Menjaga Daya Beli

Petugas kebersihan bekerja dengan latar belakang kompleks perkantoran dengan ruang terbuka hijau di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis (19/9/2019). Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, Jakarta menargetkan total luas ruang terbuka hijau mencapai 30 persen dari luas wilayah DKI pada tahun 2030.
Dalam tataruang.id disebutkan, ada dua jenis perencanaan utama di Indonesia, yaitu Rencana Pembangunan dan Rencana Tata Ruang (RTR) sebagai pedoman pemerintah untuk mencapai target pembangunan dalam jangka waktu dan lingkup tertentu.
Rencana tata ruang umum terdiri atas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, RTRW Provinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. Rencana rinci ialah RTR Pulau, RTR Kawasan Strategis Nasional, dan RDTR Kabupaten dan Kota.
Rencana detail tata ruang diatur khusus dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ) Kabupaten/Kota. RDTR sebagai penentu lokasi berbagai kegiatan yang mempunyai kesamaan fungsi dan lingkungan permukiman dengan karakteristik tertentu.
Aturan itu jadi alat operasionalisasi dalam sistem pengendalian dan pengawasan pelaksanaan pembangunan fisik kawasan oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan/atau masyarakat. Ini termasuk ketentuan intensitas, pengembangan, ataupun pengendalian pemanfaatan ruang di bagian wilayah perkotaan (BWP) atau sub-BWP.
Dengan fungsinya itu, RDTR menjadi dasar acuan penerbitan dokumen perizinan terkait bangunan. Aturan RDTR terbaru tahun 2018 turut memuat perubahan istilah dari izin mendirikan bangunan (IMB) berganti menjadi persetujuan bangunan gedung (PBG).
Meskipun fungsinya vital, disebutkan baru sekitar lima persen provinsi ataupun daerah tingkat II di Indonesia yang memiliki RDTR.

Kompleks perkantoran yang diselingi ruang terbuka hijau di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Meskipun fungsinya vital, disebutkan baru sekitar lima persen provinsi ataupun daerah tingkat II di Indonesia yang memiliki RDTR. Salah satu faktor penghambat adalah belum tersedianya peta dasar skala 1:5.000 untuk penyusunan RDTR. Di samping itu, dibutuhkan pula validasi kajian lingkungan hidup strategis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Daerah yang telah memiliki RDTR pun belum semua menjalankan fungsi aturan itu secara maksimal. Provinsi DKI Jakarta termasuk yang telah memiliki RDTR.
Seperti halnya RTRW DKI, RDTR di Ibu Kota terbilang paling baik dan detail dibandingkan daerah lain. Akan tetapi, tetap saja polemik selalu muncul setiap membahas RDTR.
Dalam laporan Kompas berjudul ”RDTR Diapresiasi, Aturan Harus Tertulis dan Jelas serta Pelaksanaannya Tegas” (Jumat, 28 Maret 2014), publik Jakarta dikenalkan dengan sistem zonasi dalam tata ruang kotanya. Teknik zonasi dengan pembubuhan warna dan arsiran pada area-area tertentu. Tanda warna berarti tidak boleh berubah peruntukannya paling tidak lima tahun ke depan atau hingga ada peninjauan kembali ataupun perubahan RDTR.
Tanda arsiran memberi kesempatan perubahan peruntukan sesuai jenisnya. Jenis wilayah yang diarsir terbagi menjadi teknik bonus, teknik pengalihan hak, zona permufakatan, zona pengendalian pertumbuhan, kawasan pemerintahan, zona pertampalan, dan zona cagar budaya. Suatu kawasan cagar budaya yang dalam peta RDTR diarsir, misalnya, berarti dapat dikembangkan menjadi kawasan komersial atau peruntukan dengan tetap dalam koridor pelestarian cagar budaya.
Baca juga : Harga BBM Naik, Transportasi Publik Tetap Tak Dilirik


Salah satu contoh perubahan peruntukan kawasan yang tertuang dalam RDTR DKI Jakarta seperti ditampilkan dalam infografik yang terbit di harian Kompas, 26 Maret 2014 di halaman 25.
Kala itu, DKI dan publik diingatkan bahwa terkait aturan tata ruang, yang penting harus selalu mengacu pada tiga hal, yaitu penataan, pemanfaatan, dan pengendalian. Pengendalian meliputi zonasi, perizinan, insentif/disinsentif, dan sanksi.
Meskipun demikian, RDTR yang merupakan turunan RTRW 2030 itu dikritik karena dinilai lebih banyak memberi ruang pada pembangunan kota, terutama perubahan peruntukan untuk lahan terbangun daripada mempersiapkan kemampuan kota mewadahi perkembangan kota, terutama dikaitkan dengan daya dukung lingkungannya.
Sebagai contoh, jika pada tahun 2030 jumlah penduduk Jakarta mencapai 12,5 juta jiwa, pembangunan apa yang diperlukan kota untuk menampung tambahan 2 juta–2,5 juta dari jumlah yang ada 10 tahun lalu. Jika diturunkan lagi dalam tiap kawasan, berapakah aliran orang keluar masuk berikut kendaraannya di tempat itu kelak, kebutuhan air bersih, fasilitas kesehatan, pendidikan, bahkan aliran listrik sampai tempat hiburan. Apakah daya dukung di sana mencukupi atau butuh rekayasa dini agar keseimbangan lingkungan tetap terpelihara? Semua pertanyaan itu harus bisa dijawab sebagai bentuk antisipasi.
Melompat dari 2014 ke masa sekarang, RDTR lagi-lagi menarik perhatian. Terlebih setelah sosialisasi dilakukan secara khusus pekan ini dengan membandingkan antara produk RDTR terbaru dan sebelumnya.
Cuplikan RDTR 2014 banyak ditampilkan hitam putih, kontras dengan RDTR saat ini yang penuh warna. RDTR masa lalu yang terkesan kelam digantikan harapan baik bak pelangi. Sekilas, pembukaan sosialisasi RDTR yang dapat disimak secara daring itu terasa bagai panggung kampanye politik ketimbang komunikasi ke publik luas tentang nasib riil kotanya saat ini dan nanti.
Baca juga: Rupa-rupa Gaya Para Pemimpin Daerah Kita

Tangkapan layar dari paparan sosialisasi RDTR DKI Jakarta 2022
Terlepas dari kesan dan bias yang muncul, RDTR DKI terbaru ini menegaskan lagi pembangunan kota besar berorientasi transit modern dengan target menyisihkan 30 persen areanya menjadi ruang terbuka hijau dan biru. Ini meniupkan semangat kelak warganya tidak akan terjebak lagi pada kemacetan akibat terjebak antrean kendaraan pribadi setiap hari. Polusi udara yang selalu menyergap dari segala penjuru diharapkan berkurang.
Hal tersebut mendongkrak kepercayaan diri bahwa metropolitan—yang jika tidak ada aral melintang sebentar lagi melepaskan status sebagai ibu kota negara—ini akan menjadi kawasan urban terbesar lagi terbaik di Indonesia.
Meraih mimpi tersebut, langkah-langkah pun disiapkan. Pembangunan transportasi umum massal berbasis rel ataupun jalan dilanjutkan. Integrasi fisik via pembangunan simpul atau rumah transit bersama moda-moda angkutan umum berbeda ataupun sistem tiketnya dijanjikan digenjot.
Demi menarik pengguna angkutan umum, ada kemudahan penyediaan hunian tinggi dengan aturan koefisien dasar bangunan dan juga koefisien lantai bangunan yang lebih fleksibel di area sekitar simpul transportasi publik. Rumah tinggal dapat dibangun hingga empat lantai dengan kepemilikan di tiap lantai boleh berbeda orang.
Baca juga: Kekeringan Semakin Mengakrabi Kota-kota

Tangkapan layar dari paparan sosialisasi RDTR DKI Jakarta 2022

Tangkapan layar dari paparan sosialisasi RDTR DKI Jakarta 2022
Menjadi pekerjaan rumah kemudian adalah sudahkah dihitung cermat dampak ikutan berupa pembangunan fasilitas lain seiring peningkatan konsentrasi penduduk di suatu kawasan? Kembali ke kritik yang pernah dilontarkan pada 2014, sudahkah memperhitungkan lonjakan penduduk dengan kebijakan hunian yang diluncurkan?
Mencoba meneropong delapan tahun ke depan dan melihat jejak pembangunan transportasi publik di DKI selama ini, pada tahun 2030 itu transportasi publik dipastikan akan semakin baik, tetapi belum akan semasif yang diidamkan.
Hal ini dapat dilihat salah satunya dari pembangunan MRT koridor 1 fase 2 sampai ke kawasan Kota yang baru akan selesai pada 2027. Koridor selanjutnya, yaitu rute timur-barat (Cikarang-Balaraja), direncanakan dimulai pada 2023. Proyek LRT Jakarta yang kerap terkendala masih sulit diharapkan segera meluas.
Hanya jaringan bus Transjakarta dengan sistem JakLingko yang merangkul angkutan umum reguler lebih dinamis dan fleksibel pola layanannya sehingga cukup cepat perluasan jangkauannya. Bersama layanan kereta komuter dari pemerintah pusat yang telah memiliki jalur tetap dan sulit ditambah, Transjakarta-JakLingko menjadi tumpuan utama transportasi publik di Jakarta.
Keberadaan angkutan umum massal dan nonmassal yang sudah ada tersebut, meskipun cakupan beserta penggunanya bertambah, pada kenyatannya tetap belum mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang juga terus bertambah dari waktu ke waktu.
Baca juga: Ketika Gangnam Terendam

Kepadatan arus lalu lintas yang mengarah ke Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Selasa (20/9/2022). Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) 2022 membuat Jakarta bertranformasi sebagai pusat bisnis dan kota global yang lebih menarik untuk kegiatan usaha berbasis transit dan digital.
Jika pembangunan jaringan transportasi publik tak bisa secepat yang dibutuhkan, pengembang swasta ataupun pemerintah akan gesit merespons ketika sudah ada ketuk palu perizinan kemudahan pembangunan hunian. Proyek-proyek hunian akan menyalip jauh pembangunan transportasi massal seperti yang terjadi selama bertahun-tahun belakangan sampai sekarang.
Tengok saja proyek superblock sampai kebijakan back to city yang melahirkan kawasan-kawasan khusus berupa hunian, perkantoran, dan area multifungsi minus angkutan umum di banyak tempat di Jakarta, termasuk di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, dan di Grogol, Jakarta Barat.
Jakarta yang kini masih terseok-seok dalam penyediaan air bersih, pengelolaan sampah, juga ancaman bencana hidrometeorologi, seperti banjir sampai kekeringan, akan mendapat tantangan tambahan di balik kemolekan beberapa titik kawasannya yang terus dipoles.
Di tengah semua itu, ada gurauan pedas di kalangan pemerhati dan juga perencana kota. Rencana tata ruang sering kali dipelesetkan menjadi rencana tata uang alias lebih berpihak kepada pemodal ketimbang kepada warga yang seharusnya suaranya dirangkul sejak pra-persiapan, proses pembuatan, hingga penetapan RTRW ataupun RDTR.
Gurauan reflektif itu seharusnya menjadi pelecut dan pertaruhan pemerintah saat ini ataupun penerusnya nanti. Ini penting agar aturan seperti RDTR bukan semata ”jualan” politik, apalagi propemodal, melainkan demi sebaik-baiknya pembangunan kawasan tersebut untuk warganya.
Baca juga: Catatan Urban