
Neli Triana, Wartawan Kompas
Warga miskin, pekerja berupah kecil, pengusaha kecil dan mikro, sampai mereka yang kehilangan pekerjaan kini sedang cemas sekaligus berharap. Mereka berharap masuk dalam daftar penerima manfaat perlindungan sosial dampak kenaikan harga bahan bakar minyak mulai September ini.
Setidaknya ada tiga program perlindungan sosial dampak kenaikan harga BBM, yaitu bantuan subsidi upah (BSU), bantuan langsung tunai (BLT), dan bantuan lewat pemerintah daerah yang anggarannya diambil dari 2 persen dana alokasi umum/dana bagi hasil. Sasaran setiap program berbeda dengan tujuan semua warga terdampak dapat menerima bantuan secara adil. Dengan demikian, diharapkan mereka dapat berdaya mengatasi lonjakan harga berbagai komoditas lain seiring kenaikan harga BBM.
Transfer bantuan bulan ini bakal menambah tebal sedikit pendapatan rutin sebagian warga. Dari Booklet Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2021 keluaran Badan Pusat Statisik (BPS), rata-rata nasional upah buruh atau gaji bersih yang diterima buruh, guru, karyawan, dan pegawai Rp 2,74 juta per bulan. Hanya Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Papua yang disebut BPS sebagai provinsi dengan rata-rata upah sekitar Rp 4 juta per bulan.
Baca juga :
Upah rata-rata itu mendekati upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta dua tahun terakhir. Pada 2022 ini, UMP DKI naik 0,85 persen atau Rp 37.749 daripada tahun sebelumnya menjadi Rp 4.453.935. Kenaikan upah tergolong stagnan di bawah laju inflasi kota ataupun negara. Laju inflasi di Jakarta dari tahun ke tahun periode Juli 2021-Juli 2022 lalu mencapai 3,5 persen.

Bantuan perlindungan sosial kali ini, yang diyakini seperti kejadian serupa sebelumnya, memang menambah pundi pendapatan warga miskin dan terdampak, tetapi baru sebatas memastikan mereka tetap pas-pasan hidupnya. Tidak lebih.
Subsidi upah sebesar Rp 600.000, misalnya, sesuai ketentuan Kementerian Keuangan akan diberikan kepada penerima manfaat yang memenuhi syarat, di antaranya bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan atau di bawah ketentuan upah minimum setiap daerah serta terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan.
BLT akan diterima warga yang berhak senilai Rp 150.000 per bulan per keluarga. Nilai bantuan melalui program lain yang menyasar pihak-pihak berbeda pun tidak jauh berbeda. Bantuan bahan pangan dari Kementerian Sosial, misalnya, Rp 200.000 per bulan. Berbagai bantuan itu ada yang didapatkan per bulan, ada pula berupa transfer rapelan 2-4 bulan sekali.
Besaran BSU Rp 600.000 per bulan atau Rp 20.000 per hari jika dikonversikan dalam penambahan upah di DKI berarti ada kenaikan sekitar 15 persen dibandingkan upah semula. Setidaknya ini sudah jauh mengimbangi laju inflasi tahunan di Ibu Kota. Uang Rp 20.000 itu bisa dibagi-bagi dan ditambahkan sedikit-sedikit dalam pos pembelian BBM subsidi sampai dana belanja makan keluarga dalam satu hari.
Penerima manfaat BLT Rp 150.000 per bulan atau setara Rp 5.000 per hari yang mungkin harus tetap sama pusingnya dalam mengelola anggaran agar kebutuhan harian terpenuhi.
Baca juga : Jeratan Utang “Squid Game” Rumah Tangga Perkotaan
Sebagai gambaran, dengan harga telur di Jakarta sekitar Rp 28.000 per kilogram berisi 16 butir, maka Rp 5.000 hanya dapat untuk menebus kurang dari seperempat kilogram telur atau tiga butir saja. Keluarga dengan pendapatan pas-pasan boleh jadi harus mulai menyisihkan telur hanya untuk anak-anaknya saja demi kecukupan gizi mereka.

Kondisi itu belum menyertakan ongkos tambahan untuk menambal kenaikan harga BBM yang berpengaruh pada biaya mobilitas harian, melonjaknya harga sebagian sayur dan lauk lain, serta banyak lagi peningkatan permintaan anggaran untuk berbagai kebutuhan. Meskipun di sektor kesehatan dan pendidikan ada jaminan akses gratis di fasilitas pemerintah, tidak serta-merta beban hidup warga melonggar seiring berbagai kenaikan biaya rutin lain.
Bantuan perlindungan sosial kali ini, yang diyakini seperti kejadian serupa sebelumnya, memang menambah pendapatan warga miskin dan terdampak, tetapi baru sebatas memastikan mereka tetap pas-pasan hidupnya. Tidak lebih. Ini belum melihat pengaruh kenaikan harga BBM dan inflasi pada masyarakat yang berpendapatan hanya sedikit di atas batas UMP, tetapi tak berhak mendapat perlindungan sosial.
Narasi keadilan aliran subsidi untuk warga yang papa bakal terpenuhi dengan menaikkan harga BBM sepertinya cenderung manis dalam hitung-hitungan pembuat kebijakan. Rasa tawar, bahkan pahit, masih dirasakan mereka yang benar-benar terimbas kebijakan itu. Situasinya tetap tak mudah di tataran kelompok warga terdampak.
Baca juga : Catatan Urban