Rupa-rupa hewan menghuni kota. Ada serangga, tikus, kucing, ular sanca, juga buaya. Terpengaruh lingkungan yang dibentuk manusia, hewan-hewan ini tanpa sengaja menyediakan ekosistem berbeda yang bermanfaat bagi kota.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Neli Triana, wartawan Kompas
Di tengah hujan yang rajin menyambangi, tak hanya manusia-manusia kota yang mencoba berlindung dari curahan air dari langit. Hewan-hewan urban pun menolak basah terendam.
Tikus, kecoa, cacing, bahkan ular keluar dari lubang dan liang di dalam tanah menghindari genangan. Burung dara dan burung gereja bergegas bertengger di bawah atap. Kucing liar mencari tempat berteduh di teras rumah orang tak dikenal, di pasar, sampai ke peron stasiun kereta.
Tanpa manusia sadari sepenuhnya, hewan-hewan urban selalu hidup dekat dengan kita. Tersangka pemilik suara-suara di plafon atau atap rumah adalah tikus, bukan hantu. Tikus sering dijuluki penguasa kota karena mudah ditemukan di mana saja. Kota New York di Amerika Serikat diolok-olok sebagai kota yang dicintai tikus karena banyaknya populasi hewan pengerat itu di sana.
Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia tak kalah bersahabat dengan hewan yang mengilhami terciptanya sosok kartun populer sepanjang masa, Mickey Mouse, itu. Tikus bersama kucing, anjing, berbagai serangga, hewan melata, dan berjenis-jenis burung memang sudah terbiasa menghuni di kota-kota di dunia.
Dari beberapa studi, kehadiran begitu banyak hewan di kota ternyata akibat ulah manusia sendiri. Manusia membuat kota yang didesain cocok untuk kaumnya, termasuk dengan merekayasa lingkungan alami dengan mengusir sebagian besar penghuni asli, yaitu satwa, ataupun tanaman liar. Akan tetapi, upaya itu dan perilaku manusia sendiri yang kemudian menarik kembali hewan-hewan yang tersingkir untuk hidup di kota.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Siluet kucing berlatar gedung bertingkat di bantaran Kanal Barat, Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (5/10/2021).
Peter S Alagona, penulis buku The Accidental Ecosystem (2022), dalam wawancara dengan Forbes.com dan ulasan berjudul ”Urban Wildlife: How Animals Are Taking Over Our Cities” di Earth.org, menyatakan awalnya yang mudah beradaptasi di kawasan perkotaan adalah hewan-hewan kecil penyantap jenis-jenis makanan berbeda. Tikus menemukan surganya di kota karena sisa makanan manusia tersedia sepanjang waktu di tempat sampah, di saluran air, di jalanan, dan di dalam bangunan.
Dalam perkembangannya, makin banyak jenis hewan melirik dan menetap di kota. Tak semua hewan lantas menjadi pemakan segala.
Temuan ular-ular sanca dan piton berukuran besar dengan panjang mencapai lebih dari empat meter di atap rumah-rumah warga di Jakarta, Depok, dan Makassar, beberapa waktu lalu, mengagetkan publik hingga viral dibicarakan di media sosial dan media massa. Namun, mengingat begitu banyak hewan kecil berdaging yang mudah didapat di sekitar rumah, kehadiran ular-ular besar itu pun tak lagi mengherankan.
Hewan-hewan besar dan predator level teratas kini makin mudah ditemukan di perkotaan karena melimpahnya makanan. Alagona mencatat ada beruang yang makin terbiasa berkeliaran di kota-kota di California. Laporan media massa AS, buaya sudah berkali-kali ditemukan di perairan di New York. Anjing hutan atau coyote disebut mulai mengakrabi sebagian kota di Negeri Paman Sam.
Menurut Alagona, hewan liar yang jatuh hati pada kehidupan kota mengembangkan insting khusus. Mereka menghindari manusia dengan mengembangkan diri menjadi hewan nocturnal yang keluar dan mencari makanan di malam hari saat aktivitas manusia mereda.
FAKHRI FADLURROHMAN
Salah satu ular sanca kembang (Malayopython reticulatus) yang diselamatkan dari permukiman warga dipindahkan ke salah satu kandang di Pusat Informasi, Edukasi, dan Penanggulangan Satwa Liar, Jakarta Utara, Kamis (29/12/2022).
Kota-kota yang sudah ada dengan beragam hewan di dalamnya, menurut Alagona, menjadi laboratorium hidup yang penting untuk meneliti dan mencari cara bagaimana manusia dan hewan dapat hidup berdampingan.
Alagona menyebut aktivitas saling memengaruhi antara manusia dan hewan-hewan kota tanpa sengaja membentuk ekosistem berbeda yang saling menguntungkan. Hal tersebut sering kali tidak disadari dan manusia kerap merendahkan hewan-hewan di kota, kecuali hewan peliharaannya. Mereka dinilai tak penting dikenali, diteliti, apalagi dilindungi karena tidak sebanding dengan gajah, panda, atau orangutan.
Padahal, hubungan hewan dan kota telah dimulai sejak kehidupan urban dibentuk beratus bahkan beribu tahun silam. Kala itu manusia mulai menetap, bercocok tanam, dan membuat kompleks permukiman terpisah dari sawah ladangnya.
Namun, manusia tetap membawa masuk dan memelihara hewan ternak di kota sebagai pemasok kebutuhan daging. Manusia memelihara anjing untuk menjaga rumah dan usaha. Tak lupa, menyayangi kucing sebagai anggota keluarga.
Masa berganti. Di era modern ini, hubungan sebagian besar manusia urban dan hewan amat terbatas. Masyarakat metropolitan mengenal hewan tertentu dari dagingnya saja di toko-toko untuk pasokan protein. Di luar itu, ada hewan sebagai teman terkasih manusia, tetapi terbatas pada jenis tertentu.
Masyarakat perlahan melupakan pentingnya interaksi dan hidup berdampingan dengan beragam hewan liar. Kondisi ini tidak akan menguntungkan karena kota-kota terus tumbuh dan dipastikan kelak sebagian besar kawasan di dunia ini akan menjadi area urban.
Lanskap perkotaan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (11/10/2021).
Saat ini saja, sudah lebih dari 50 persen populasi manusia hidup di perkotaan. Meluasnya daerah yang dirambah manusia seiring bertambahnya jumlah populasi penduduk Bumi selama ini terbukti meningkatkan konflik mematikan antara manusia dan hewan.
Kota-kota yang sudah ada dengan beragam hewan di dalamnya, menurut Alagona, menjadi laboratorium hidup yang penting untuk meneliti dan mencari cara bagaimana manusia dan hewan dapat hidup berdampingan.
Alagona mengingatkan, studi tentang hubungan rantai makanan antarhewan urban akan sangat membantu manusia saat ini dan di masa depan. Cicak dan kelelawar memakan ngengat dan nyamuk yang mengganggu kita. Lebah, tawon, serangga lainnya menyerbuki kebun kecil di rumah, taman, dan juga hutan kota. Anjing, kucing, tupai, dan elang menyantap tikus yang memakan makanan kita serta membawa penyakit.
Alagona dan para ilmuwan menyebut rantai makanan itu bermanfaat dalam menyediakan ekosistem kota yang baik bagi semua makhluk hidup, khususnya manusia. Manfaat yang diberikan alam dan satwa liar kepada manusia, termasuk membersihkan udara ataupun air, turut meningkatkan kesehatan serta daya tahan manusia. Warga kota diminta bijak memperlakukan hewan-hewan metropolitan agar layanan ekosistem yang baik itu langgeng tersedia.
Jadi ingat Batman, sosok khayali yang terinspirasi oleh kelelawar dan menjadi penyelamat Kota Gotham, ya.