Anak Muda dan Kekerasan, Sebuah Isu Kesehatan Masyarakat Global
Anak muda urban rentan terlibat perkelahian, perundungan, kekerasan seksual, hingga pembunuhan. WHO melabelinya sebagai isu kesehatan publik yang butuh diatasi dengan pendekatan multidimensi dan mengikis kesenjangan.

Tawuran, begal, ”klitih”, sampai kekerasan seksual yang dilakukan anak muda dengan korban seumuran mereka mengusik nurani dan rasa aman masyarakat. Selain terbit rasa takut, muncul pula gemas, marah, juga rasa tak berdaya melihat kejahatan laksana yo-yo itu. Rupa-rupa kejahatan anak muda terkadang berlangsung beruntut, lalu menurun intensitasnya untuk kemudian marak kembali. Naik-turun itu terus berulang, seperti permainan yo-yo.
Secara global, kejahatan anak muda memang lebih banyak muncul di perkotaan dan seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari kriminalitas urban yang dari tahun ke tahun cenderung meningkat di berbagai kota di dunia.
Kondisi ini menarik perhatian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang pada 8 Juni 2020 menyatakan kekerasan di antara anak muda telah menjadi isu kesehatan masyarakat global. Kekerasan tersebut meliputi kekerasan fisik, perundungan, kekerasan seksual, hingga pembunuhan.
Setiap tahun, menurut WHO, ada sekitar 200.000 pembunuhan di kalangan anak-anak muda usia 10-29 tahun. Angka itu setara 42 persen dari semua kasus pembunuhan di negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebanyak 84 persen kasus melibatkan laki-laki muda usia. Per satu pemuda terbunuh selalu diikuti lebih dari satu pemuda lain yang terluka dan membutuhkan perawatan kesehatan intensif.

Tawuran antardua kelompok pemuda di sekitar Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Meskipun didominasi kaum muda laki-laki, perempuan muda bukan berarti lebih aman. Menurut WHO, ada studi yang menyatakan pengalaman seksual pertama pada 3-24 persen perempuan muda berupa kekerasan seksual. Secara umum, setiap satu dari delapan anak muda adalah korban kekerasan seksual!
Jika tidak fatal, kekerasan remaja memiliki dampak serius, sering kali seumur hidup, pada fungsi fisik, psikologis dan sosial seseorang. Hal ini dapat memengaruhi keluarga korban, teman dan masyarakat. Kekerasan remaja juga meningkatkan biaya layanan kesehatan, kesejahteraan, dan peradilan pidana; mengurangi produktivitas; menurunkan nilai properti. Pada akhirnya, dampak ini dapat memengaruhi ketahanan suatu kota.
Isu menahun
Kriminalitas urban yang mencakup kejahatan anak mudah telah menjadi isu menahun dan terus dicari terobosan untuk mengendalikannya. Edward L Glaeser dan Bruce Sacerdote dalam jurnalnya, ”Why is There More Crime in Cities?”, pada 1999 mengungkapkan, kota memang tidak akan lepas dari kasus kejahatan.
Memang menjadi ironi ketika segala daya tarik kota yang menguntungkan masyarakatnya, seperti kemudahan transportasi, menerima informasi dan berkomunikasi, serta sebagai pusat ekonomi, juga menjadi daya tarik bagi berbagai jenis tindak kejahatan untuk selalu terjadi di sana.

Warga kota rentan menjadi pelaku kriminal karena pengaruh lingkungan terdekat di mana ia tinggal. Apalagi jika ada masalah keluarga menimpanya. Studi Glaeser dan Sacerdote kala itu menunjukkan, anak-anak dari keluarga dengan orangtua tunggal dan miskin memiliki kecenderungan besar terlibat kriminalitas di AS pada kurun 1970an-1990an. Orangtua tunggal bisa diartikan ayah dan ibu yang bercerai dan hidup terpisah, ataupun walau tinggal bersama, peran keduanya dalam keluarga tidak berfungsi baik.
Meskipun kejahatan dapat terjadi di mana saja, ada kecenderungan muncul kawasan tertentu berlabel hitam sebagai sarang kejahatan yang biasanya dikaitkan dengan kondisi padat penduduk, daerah miskin, serta renggang ikatan sosial di sana.
Di kalangan keluarga miskin, ditambah kondisi rumah tangga yang kacau, perhatian orangtua terbagi antara bekerja, anak, dan isu pribadi yang membelit mereka. Hal ini memicu hak anak untuk merasa aman, terlindungi, dan tercukupi kebutuhan utamanya—mulai dari asupan pangan bergizi, pendidikan, hingga kasih sayang—tak terpenuhi. Kombinasi situasi itu memicu kerentanan mereka terseret dalam pergaulan buruk alias tidak sehat di lingkungan sekitar.
Pada masa sekarang, gejala rumah tangga dengan orangtua tunggal maupun keluarga yang mengalami disfungsi telah menjalar ke perdesaan. Yang kemudian menjadi salah satu penjelasannya adalah dengan pertumbuhan kawasan perkotaan masif di sepanjang abad ke-20 dan ke-21 ini, fasilitas maupun gaya hidup urban menjalar ke hampir semua kawasan. Pengaruh baik dan buruk ketika menjadi urban pun lambat laun memapar nyaris seluruh daerah di semua penjuru Bumi.
Kemiskinan dan kesenjangan
Trio peneliti Pablo Fajnzylber, Daniel Lederman, dan Norman Loayza pada 1998 menyuguhkan What Causes Violent Crime?, sebuah data analisis kasus kriminalitas di negara maju ataupun negara berkembang dalam kurun 1970-1994. Salah satu fokusnya adalah melihat kasus pembunuhan di 45 negara dan perampokan di 34 negara.
Ketiganya menentukan tinggi rendahnya kejahatan dalam sebuah kota dengan melihat angka kasus per 100.000 penduduk. Untuk tahu apakah suatu kota cukup antisipatif atau tidak dalam pencegahan kejahatan dan penegakan hukum, salah satunya dengan melihat jumlah polisi per 100.000 penduduk.
Baca juga: Desakota, Potensi yang Masih Terabaikan

Kepolisian Resor Bogor menangkap enam remaja yang tawuran menggunakan sarung berisi batu, Minggu (10/4/2022) dini hari.
Dengan pertimbangan tersebut, sebagian kota dan negara mencoba menambah jumlah polisi dan memperberat hukuman bagi penjahat, termasuk anak-anak muda kriminal. Akan tetapi, dua hal itu ternyata terbukti negatif mencegah tingkat kriminalitas menurun.
Para peneliti itu kemudian menemukan, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang cenderung berkorelasi dengan pekerjaan berpendapatan lebih baik dan mencegah mereka terlibat kejahatan, terutama jenis kejahatan yang berkorelasi dengan upaya menguasai harta, seperti pencurian, perampokan, juga perampokan dengan pembunuhan.
Namun, ada faktor lain yang memengaruhi kecenderungan individu terlibat kejahatan. Faktor tersebut ialah karakteristik budaya, seperti agama dan ada tidaknya latar belakang sebagai bangsa terjajah; usia; jenis kelamin (yang menunjukkan laki-laki muda lebih rentan mengalami kekerasan daripada populasi lain); dan tingkat urbanisasi atau kepadatan penduduk di perkotaan.
Meskipun kejahatan dapat terjadi di mana saja, bahkan di pusat ekonomi bergengsi berpenjagaan maksimum, kecenderungannya muncul di kawasan-kawasan tertentu berlabel hitam sebagai sarang kejahatan yang biasanya dikaitkan kondisi padat penduduk, daerah miskin, serta renggang ikatan sosial.
Baca juga: Pelonggaran Menyingkap Wajah Kota-kota yang Kepayahan

Program ”Kota Aman”
Untuk merajut kembali ikatan sosial di perkotaan, lembaga PBB, UN-Habitat, sejak lebih dari 20 tahun lalu mengembangkan program Kota Aman. Seperti halnya rekomendasi WHO untuk mengatasi isu kesehatan global terkait kekerasan kaum muda, Kota Aman mendorong pendekatan komprehensif guna menekan tingkat kriminalitas perkotaan dan menyelamatkan kaum muda urban dari jebakan kejahatan.
Kota Aman telah diterapkan di 77 kota besar dan kecil di 24 negara. Program Kota Aman UN-Habitat di Asia mencakup Filipina, Indonesia, Bangladesh, dan negara di Kepulauan Pasifik.
Pendekatan Kota Aman ini ada empat, yaitu pencegahan kejahatan urban; pendekatan multidimensi untuk keamanan perkotaan; meningkatkan keamanan melalui perencanaan, pengelolaan, serta pemerintahan perkotaan yang baik dalam kerangka kota berkelanjutan; dan memastikan pemerintah daerah mengambil tanggung jawab kunci dalam mewujudkan kota aman.
Baca juga: Air Tanah Solusi Krisis Air Bersih Perkotaan
Pendekatan pencegahan kejahatan urban dilakukan dengan memperkuat lembaga terkait dan mempromosikan peran pemerintah daerah dalam menjamin keselamatan penduduknya; mempromosikan bentuk-bentuk pemolisian alternatif, termasuk pemolisian masyarakat dan yang berorientasi pada pemecahan masalah; mengadopsi bentuk-bentuk keadilan alternatif, misalnya mencontoh pengadilan dan mekanisme mediasi konflik masyarakat tradisional yang lebih arif juga efektif karena ada praktik sanksi sosial berat terhadap pelaku kejahatan.

Terkait kejahatan anak muda, Kota Aman berfokus pada kaum muda yang berisiko dan keselamatan perempuan dan anak. Selain itu, memastikan lingkungan fisik yang diartikan dengan pemenuhan kebutuhan fasilitas publik di permukiman, terutama kawasan miskin dan padat terpenuhi. Fasilitas ini, di antaranya, meliputi sanitasi memadai, air bersih, akses informasi, pendidikan, kesehatan, dan ruang terbuka hijau untuk berekspresi ataupun saling berinteraksi membangun kohesi sosial yang lebih erat.
Pendekatan multidimensi, antara lain menjamin keamanan hak atas lahan atau tempat tinggal dan bebas pengusiran paksa; dan antisipasi bencana alam, non-alam, seperti kebakaran, hingga konflik sosial.
Selanjutnya, meningkatkan keselamatan melalui perencanaan, manajemen, dan tata kelola pemerintahan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Fase ini mempertimbangkan rencana keamanan semua kota sebagai alat untuk integrasi sosial dengan fokus pada perencanaan tata kelola lingkungan yang melibatkan masyarakat atau komunitas. Selain itu, wajib mempertimbangkan hak akses dan alokasi jalan dan ruang publik sebagai situs untuk pembangunan nilai-nilai kewarganegaraan.
Agar berhasil baik, sesuai standar Kota Aman, pendekatan-pendekatan di atas perlu diimbangi dengan otoritas lokal yang berperan kunci mengembangkan dan menerapkan strategi keselamatan menggunakan pendekatan sistematis.
Baca juga: Pekerja Perkotaan, Antara Paksaan Mundur dan Revolusi ”Kerah Baru”
Pendekatan sistematis tersebut ialah mengidentifikasi dan memobilisasi beragam mitra lokal yang dapat berkontribusi untuk mengurangi ketidakamanan; menciptakan koalisi/kemitraan keamanan lokal yang dikelola seorang pemimpin publik; menilai, mengukur, dan memahami masalah keselamatan dan keamanan di tingkat lingkungan dan kota; mengembangkan strategi pencegahan kejahatan/keamanan perkotaan lokal dan rencana aksi yang rinci memberdayakan anak muda serta memperbaiki lingkungan sekitar mereka; menerapkan strategi dan rencana aksi melalui inisiatif yang meningkatkan kohesi sosial dan keterlibatan masyarakat dalam pencegahan kejahatan; pelembagaan pendekatan partisipatif dengan memasukkan keselamatan sebagai dimensi lintas sektoral di berbagai departemen dan lembaga pemerintah daerah, serta memastikan sistem peradilan berjalan baik.
Pendekatan di atas membutuhkan pengembangan kapasitas setiap para pihak disertai pembinaan dan terkadang reformasi kelembagaan.

Anak-anak bermain di area permainan papan seluncur di Taman Puring, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (30/1/2020). Keberadaan taman kota, selain sebagai ruang interaksi sosial bagi warga, juga berfungsi sebagai paru-paru kota.
Dengan menerapkan strategi Kota Aman, kejahatan tetap tidak akan lenyap begitu saja. Sebab, faktor pemicunya amat banyak dan ada yang di luar kapasitas yang bisa dijangkau oleh penataan kota.
Namun, Kota Aman dapat mereduksi banyak potensi kejahatan. Potensi kekerasan dalam rumah tangga, kriminalitas jalanan, perundungan di sekolah dan fasilitas pendidikan ataupun fasilitas publik bisa ditekan. Hal ini turut memberi peluang untuk hidup lebih baik pada masyarakat miskin dan rentan beserta generasi anak-anak mudanya.
Dari menyimak strategi Kota Aman, bisa dipahami, untuk mengatasi kejahatan—khususnya yang melibatkan anak muda—tak bisa hanya dengan menahan mereka, lalu mempertemukan dengan para orangtua diikuti ceramah dari petinggi polisi ataupun tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Ada hal-hal mendasar yang jelas belum dilakukan pemangku kebijakan dan masyarakat untuk menyelamatkan anak-anak muda aset utama kota ataupun negara. Jika upaya tak tuntas itu terus dibiarkan, siklus kejahatan kaum urban usia belia akan terus berulang. Kota Aman sebagai pondasi menuju kota inklusif, berketahanan, dan berkelanjutan untuk menjawab isu kesehatan masyarakat global terkait kekerasan ini pun akan sulit diwujudkan. Namun, bukan berarti sebuah harapan yang tak mungkin diwujudkan.
Baca juga: Catatan Urban