Rapuhnya Kota-kota Kita
Salah kelola menyebabkan kota tumbuh bagai disusun dari kartu-kartu tipis. Hujan dan gempa dengan mudah membuat kota kolaps. Kota yang terus dibangun ternyata hanya sekuat mata rantai terlemahnya.

Neli Triana, wartawan Kompas
Kota-kota di Indonesia tumbuh dan berkembang pesat. Setiap kali singgah, kota-kota itu menawarkan kejutan berbeda. Ada saja taman kota baru diresmikan, pusat kuliner muncul di tengah kawasan cagar budaya yang kian tertata, gedung-gedung tinggi menusuk langit, ruas tol anyar, hingga angkutan umum bersih dan aman.
Kala senyum semringah tersungging menikmati dinamika kota yang bergerak menuju status modern lagi nyaman, gempa dan banjir menerjang. Dan, aktivitas kota ternyata bisa lumpuh seketika. Kerugian materiil besar, bahkan terkadang memakan korban jiwa.
Segala indera mendeteksi rasa pahit, takut, yang menggoyahkan keyakinan pada arah pembangunan kota-kota kita. Benarkah kota modern pelindung semua warganya itu nyata adanya? Padahal, bergerak dengan pasti, kota-kota bertumbuhan menggantikan kawasan nonkota di semua belahan dunia ini.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2030 memaparkan, persentase penduduk daerah perkotaan di setiap provinsi akan meningkat merata di semua provinsi. Urbanisasi dipengaruhi pertumbuhan penduduk daerah perkotaan, migrasi dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan, dan reklasifikasi area perdesaan menjadi bagian dari daerah perkotaan.
Baca juga: Menjadi ”Zombie” di Manggarai
Pada tingkat nasional, tingkat urbanisasi di Indonesia delapan tahun lagi diproyeksikan sudah 66,6 persen. Apa yang terjadi di Indonesia selaras dengan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). ”Daerah perkotaan kini sudah menjadi rumah bagi 55 persen populasi dunia, dan angka itu diperkirakan akan meningkat menjadi 68 persen pada tahun 2050,” tulis António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB dalam dokumen World Cities Report 2022 yang dibuat UN-Habitat.

Tangkapan layar Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2030 dari Bappenas
Di Indonesia, kini separuh lebih dari 270,2 juta jiwa penduduknya tinggal di perkotaan. Sedikitnya ada 98 kawasan berstatus kota dan 416 kabupaten di Indonesia. Namun, setiap ibu kota kabupaten hampir dapat dipastikan telah menjadi area urban.
Salah satu ciri perkotaan adalah warganya sebagian besar telah beralih dari profesi seputar pertanian ke berbagai sektor usaha lain, terutama jasa. Penggunaan lahan pun berubah, tak lagi menjadi area garapan, tetapi untuk hunian dan banyak lagi kawasan terbangun untuk berbagai kegiatan ekonomi ataupun fasilitas publik yang dibutuhkan kaum urban.
Dari aglomerasi Jabodetabek yang menampung sekitar 30 juta jiwa, semua areanya sudah masuk kategori kota. Gejala serupa ditemukan di kawasan aglomerasi lain, seperti Surabaya, Bandung, Semarang, Makassar, Yogyakarta, dan di sekitar kota-kota utama itu.
Baca juga: Kisah (Tak) Sedih di Hari Minggu
Dengan konsentrasi penduduk terbesar berada dan beragam kegiatan usaha berlangsung 24 jam, kawasan perkotaan menjadi salah satu roda pemutar ekonomi utama di setiap negara. Tak heran, di perkotaan pula berbagai pembangunan infrastruktur berlangsung terus-menerus.

Foto udara pembangunan Simpang Susun Cilincing pada proyek Jalan Tol Cibitung-Cilincing seksi 4 ruas Tarumajaya-Cilincing sepanjang 7,29 kilometer di Cilincing, Jakarta Utara, Minggu (8/1/2023).
Lihat saja Jabodetabek. Berlapis-lapis ruas tol terbangun membelah dan mengelilinginya, tetapi masih saja proyek tol baru muncul dan muncul lagi. Menambah ruang terbuka hijau, membenahi sungai, sampai reklamasi dengan alasan membentengi pesisir dari marabahaya abrasi juga kenaikan muka air laut—sekaligus menambah lahan untuk berbagai keperluan pengembangan kota—pun terus dilakukan.
Sayangnya, banyak upaya itu belum berbuah memuaskan. Jakarta, hingga kini masih tengah berupaya memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. UU Penataan Ruang itu mengharuskan ruang terbuka hijau minimal 30 persen dari luas kota untuk menjamin keseimbangan lingkungan. Di Jakarta, butuh sekitar 198 kilometer persegi RTH dari 661,5 km persegi luas areanya.
Kawasan lain tak kalah garang, pantang dihambat perkembangannya. Kini, gedung tinggi tak lagi monopoli Jakarta. Akan tetapi, seiring pembangunan berkecepatan penuh itu, kota-kota kita tak pernah lepas dirundung masalah. Kemacetan lalu lintas hingga rupa-rupa bencana makin sering mendera berbagai kota di Indonesia.
Presiden Joko Widodo pun dalam beberapa kesempatan terus mengingatkan pemerintah daerah agar mulai membangun sistem layanan angkutan umum modern untuk membantu mengurai kemacetan.
Baca juga: Alternatif Bernama Hunian Vertikal Kolaboratif
Bencana lain, seperti banjir awal pekan ini, misalnya, membuat publik tercengang saat melanda Makassar di Sulawesi Selatan dan melumpuhkan kota utama di Indonesia timur tersebut. Sebelumnya, banjir di Semarang dan kawasan sekitarnya di Jawa Tengah berdampak pada lebih dari 250.000 jiwa, menghancurkan belasan ribu hektar sawah, dan banyak infrastruktur publik rusak.
Bencana juga menimpa Kota Jayapura di Papua, awal tahun ini. Guncangan gempa menyebabkan ribuan orang mengungsi. Awal 2022, Jayapura lebih dulu dilanda banjir disertai longsor. Sedikitnya delapan orang tewas dan ribuan warga terdampak. Ada sekolah, tempat ibadah, pusat kesehatan, pasar, dan kantor pemerintah yang terendam.

Warga diungsikan dari banjir di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (14/2/2023). Lebih dari 2.900 warga mengungsi.
UN Habitat meminta setiap kota mengenali sisi terlemah dalam sistemnya masing-masing karena kota ternyata hanya sekuat mata rantai terlemahnya itu.
Akhir pekan ini, giliran Surakarta dan Sukoharjo di Jawa Tengah dilanda banjir.
Jakarta sudah lekat dengan banjir sejak berpuluh tahun lalu. Kota lain yang dalam beberapa waktu terakhir aman dari bencana bukan berarti aman. Banjir, gempa, dan bencana lain mungkin telah menerpa sebelumnya atau berpotensi terjadi di tahun-tahun yang akan datang.
Kota-kota kini ataupun kelak yang diyakini rawan dilanda bencana bukan prediksi tanpa dasar. Masih dari World Cities Report 2022, ada kecenderungan kota-kota di negara berkembang tumbuh pesat tanpa tata kelola yang baik, perencanaan kawasan amburadul, dan pembiayaannya minus jaminan keberlanjutan.
Kota-kota di negara berkembang masih dipandang sekadar lahan strategis untuk berbagai proyek ekonomi, tetapi kurang menatanya secara manusiawi. Keseimbangan dengan daya dukung lingkungan kerap terabaikan. Contoh kecil dan kasatmata ditemukan di Indonesia, yaitu proyek infrastruktur jalan yang menjalar di seluruh kota dibangun tanpa fasilitas saluran pembuangan atau drainase.
Tidaklah mengherankan jika area bukaan lahan baru untuk perumahan ataupun peruntukkan lain pun tidak dilengkapi sistem pembuangan memadai, mulai dari limbah cair hingga padat. Sungai-sungai semata difungsikan sebagai alat mengalirkan air dan sampah agar secepatnya sampai ke hilir di lautan.
Baca juga: Institusi Serakah di Balik Gugurnya Teori Jendela Pecah
Begitu turun hujan deras beberapa jam, genangan bermunculan. Ditambah pasang laut dan derasnya air dari kawasan hulu yang telah gundul, air bah bagai diundang dengan tangan terbuka merendam kota. Di sisi lain, melihat pembangunan yang acakadut itu, gempa berkekuatan rendah dapat merontokkan berbagai bangunan di dalam kota.

Para warga yang mengungsi di salah satu tenda yang disediakan Pemerintah Kota Jayapura di lapangan Kantor Wali Kota Jayapura, Jumat (10/2/2023).
Kota pun kolaps bagai susunan kartu-kartu tipis yang rapuh akibat salah kelola.
Demikian peringatan yang tertera jelas dalam World Cities Report 2022. Dalam perkembangannya, terkadang kota membiarkan komunitas atau area-area tertentu yang dinilai tak penting bagi kawasan secara umum, misalnya kantong area kumuh dan miskin, menjadi ”tumbal” dengan dibiarkan menjadi langganan tempat parkir air asalkan tempat lain bebas banjir. Segregasi sosial hingga ketimpangan akut tak disangkal menyelimuti kota-kota.
Agar bencana di perkotaan dapat diatasi, UN Habitat meminta setiap kota mengenali sisi terlemah dalam sistemnya masing-masing karena kota ternyata hanya sekuat mata rantai terlemahnya itu. Kota tidak boleh membiarkan titik lemahnya tumbuh berlarut. Kota perlu segera beralih merintis penataan ekonomi, sosial, dan lingkungan berketahanan, termasuk tata kelola dan struktur kelembagaan yang tepat.
Yang tak bisa dinafikan, kota tak sekadar susunan beton dan aspal, tetapi organisme hidup yang digerakkan oleh setiap jiwa penghuninya. Sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), kota masa depan adalah kota yang inklusif secara sosial dan bekerja bagi semua penghuninya.
Kota selayaknya mampu melindungi manusia dari tekanan lingkungan, ancaman kesehatan masyarakat, guncangan ekonomi dan sosial, serta lainnya. Fakta rapuhnya kota-kota kita saat ini sewajarnya menebalkan upaya melindungi segenap warganya. Tidak ada satu warga pun, termasuk lingkungan dia hidup, yang layak dibiarkan berkubang bencana lalu ditinggalkan. Jangan sampai.
Baca juga: Catatan Urban