Alternatif Bernama Hunian Vertikal Kolaboratif
Hunian vertikal menjawab kebutuhan rumah perkotaan. Namun, ruang dipersempit demi menekan harga dan menambah unit. Hunian vertikal kolaboratif pun hadir menawarkan solusi.

Neli Triana - wartawan Kompas
Kota, suatu kawasan dengan luas terbatas dan tingkat kepadatan penduduk tinggi. Dengan kondisinya itu, kota kini selalu dalam posisi dilematis. Kota perlu beradaptasi terhadap dampak kerusakan lingkungan dan di sisi lain harus bisa menampung jutaan orang di sana.
Pemanfaatan lahan secara efektif dengan mengalihkan hunian dan berbagai kegiatan lain dalam bangunan -layaknya menara- menjadi jalan keluar terbaik. Semua itu diiringi penyediaan ruang terbuka hijau dan biru multifungsi sebanyak-banyaknya untuk memulihkan keseimbangan lingkungan.
Salah satu urgensi penataan kota efektif saat ini, di antaranya adalah pemenuhan kebutuhan perumahan dan mengalihkan pembangunan yang selama ini masih horisontal menjadi hunian vertikal.
Secara umum, kebutuhan rumah di perkotaan terbagi dalam tiga kelas utama, yaitu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), masyarakat kelas menengah, dan masyarakat berpenghasilan tinggi. Faktanya, tiap kelas memiliki variasi kemampuan berbeda-beda.
Untuk MBR, campur tangan penuh dan keberpihakan pemerintah dibutuhkan. Caranya, menyediakan hunian gratis bagi yang miskin papa atau memberi subsidi besar bagi yang berpendapatan setara upah minimun daerah. Kalau pun itu bisa diwujudkan, masih memerlukan pengawasan agar tepat sasaran.
Baca juga : Ikatan Emosional Pemilik dan Rumahnya
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F06%2F07%2F054beaf0-1c69-4b7f-a960-d1f5ef1ebf4f_jpg.jpg)
Suasana pemukiman padat di tepian Sungai Ciliwung di Manggarai, Jakarta, Senin (7/6/2021).
Untuk kelas menengah, ada golongan menengah bawah yang saat ini mendominasi, yaitu mereka dengan pendapatan di atas upah minimum daerah sekitar Rp 10 juta-Rp 15 juta per bulan. Mereka adalah pencari hunian seharga Rp 200 juta sampai maksimal Rp 1 miliar. Posisi mereka rentan dan masih butuh dukungan pemerintah demi tempat tinggal memadai.
Sebagian pengembang melihat kelas ini pasar melimpah, tetapi tak banyak keuntungan didapat, terutama jika pembangunan dilakukan di tengah kota dengan harga lahan yang telah terlampau mahal.
Laporan Harian Kompas sepekan terakhir menunjukkan, banyak pengembang bermodal pas-pasan yang menjajal keberuntungan di pasar ini, meskipun 1-2 pengembang besar ikut terjun. Perbankan mematok bunga tinggi karena tak melihat jaminan pasti dari proyek ini. Kekurangan modal, pengembang memasarkan unit yang masih berupa maket kepada para calon pembeli dengan “bunga-bunga” janji harga miring, dalam 1-2 tahun sudah serah terima kunci, dan lainnya.
Seiring waktu, negosiasi dengan sejumlah pihak, termasuk kontraktor, buntu karena biaya proyek bengkak akibat situasi ekonomi tak stabil atau hal lain. Dampaknya, di seantero Jabodetabek, banyak proyek hunian mangkrak. Pembeli gigit jari karena hunian tak juga jadi, tetapi uang sudah berpindah tangan. Pengembang kabur tak tahu rimbanya.
Baca juga : Hunian Vertikal atau Rumah Tapak, Mana Lebih Baik?

Lahan dan kolaborasi
Selain potensi tinggi mangkrak, proyek hunian vertikal kelas menengah memiliki segudang kelemahan. Rata-rata luas hunian sempit, bahkan di bawah 20 meter persegi. Fasilitas publiknya amat terbatas. Ikatan sosial tak terjaga baik di tengah kesesakan vertikal itu. Gejala tersebut bermunculan di banyak negara. Permukiman vertikal kumuh menjadi hal biasa di Amerika Serikat, Eropa, pun di Indonesia.
Alternatif solusi yang muncul kemudian adalah hunian vertikal kolaboratif. Cara ini melibatkan warga, pemerintah, dan pihak lain yang bekerjasama sejak tahap perencanaan hingga pembangunan unit-unit tempat tinggal layak di gedung tinggi.
Sesuai namanya, konsep ini berakar dari semangat kolaborasi. Pemerintah maupun warga dapat berinisiatif menggandeng pihak swasta, baik perusahaan maupun lembaga swadaya masyarakat juga lembaga donor dari dalam maupun luar negeri. Didampingi ahli terkait, warga bisa merancang hunian sesuai kebutuhannya. Konsep ini banyak dipakai untuk mengatasi kebutuhan rumah pascabencana di suatu kawasan, seperti kebakaran, kebanjiran, badai, juga terendam akibat kenaikan muka air laut.
Di Jakarta, cara ini bukan hal baru. Sejak bertahun lalu ada program bedah rumah kumuh, lalu program Kampung Deret saat Joko Widodo menjadi Gubernur DKI, dan terakhir ada Kampung Akuarium, Kampung Susun Bayam, serta Kampung Gembira Gembrong. Dalam skala lingkup area terbatas, semua memiliki irisan persamaan dengan konsep hunian kolaborasi, meskipun masih tersisa masalah di sana-sini. Namun, dari kacamata penataan kota vertikal yang efektif, program-program itu belum menjadi solusi memadai.
Baca juga : Pertumbuhan 270,2 Juta Jiwa dan Tuntutan Perubahan Desain Perkotaan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F05%2F21%2F8b8c11c6-afda-495a-a189-5711cbb3849d_jpg.jpg)
Pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 1, Joko Widodo-Ma'ruf Amin menyalami rakyat Kampung Deret, Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta, Selasa (21/5/2019).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F03%2F12%2F4253c6fa-15f4-4eaa-a954-055d77eae207_jpg.jpg)
Kawasan pemukiman di Tambora, Jakarta Barat, Senin (12/3/2018).
Yang efektif misalnya, dengan menata se-Kecamatan Tambora di Jakarta Barat menjadi kawasan vertikal kolaboratif. Kecamatan seluas 5,4 kilometer persegi ini sekarang dihuni lebih dari seperempat juta jiwa. Mulai dari kebakaran, kriminalitas, sampai masalah kesehatan publik melekati kawasan ini sejak puluhan tahun silam.
Kawasan padat itu dapat disederhanakan dalam kompleks hunian vertikal kolaboratif yang menempati seperempat lahan Tambora, sekitar 1,5 kilometer persegi atau 1,5 juta meter persegi. Jika tiap menara membutuhkan 1.000 meter persegi, berarti ada sedikitnya 1.000 menara dengan masing-masing setinggi 30 lantai bisa dibangun di sana.
Memakai patokan luas per unit 50-72 meter persegi yang cukup untuk dua kamar tidur ukuran sedang hingga tiga kamar tidur ukuran kecil di tiap unit, maka akan terbangun 250-300 unit hunian per menara. Sebanyak 250.000 warga Tambora langsung terserap di sana dan masih tersisa lahan seluas sekitar 3,5 kilometer persegi. Sisa lahan dapat digunakan sebagai ruang terbuka, fasilitas pengendali banjir, pengolahan air limbah, sentra bisnis, serta fungsi lain.
Melihat kasus di beberapa kota di China, ada apartemen yang didesain setiap lantai diperuntukkan menampung warga satu lingkungan tertentu, misalnya satu RT. Susunan penghuni di tiap unit pun sama. Keluarga A yang bertetangga dengan keluarga B dan C, maka di apartemen nanti juga sama. Tiap lantai memiliki ruang bersama untuk bersosialisasi, berolahraga ringan seperti tenis meja, catur, dan anak-anak berbaur dengan teman sebaya.
Baca juga : Melihat Lebih Dekat Fenomena Kota Hantu
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F18%2F1067f67a-4c4a-4b6d-a82b-b4cf46f64bd5_jpg.jpg)
Atap berwarna-warni di kampung Gembira Gembrong di Cipinang Besar Utara, Jatinegara, Jakarta Timur, Selasa (18/10/2022).
Menekan biaya proyek, fasilitas lift dan tangga pada bangunan tinggi itu dimodifikasi. Bukan berada di tengah gedung, tetapi di sisi-sisi bangunan yang dibuat terbuka dengan semacam teralis yang memungkinkan udara masuk tetapi tetap aman dan tidak perlu pendingin ruangan.
Desain yang tepat dengan memasukkan cahaya matahari sebanyak-banyaknya di siang hari dan sirkulasi udara yang baik dapat meminimalkan penggunaan pendingin ruangan di tiap unit juga lampu penerangan. Usaha warga juga difasilitasi sesuai jenis masing-masing.
Mendekati tahun politik di 2024 nanti saat pemilu raya memilih wakil rakyat juga kepala daerah hingga presiden, diharapkan muncul pemimpin-pemimpin merakyat dan sungguh-sungguh mengusung penataan kota efektif.
Warga, pemerintah, dan pihak ketiga dapat menghitung biaya mulai dari penyediaan hunian sementara, pembersihan lahan dan pembeliannya jika diperlukan, pembangunan hunian vertikal dan semua fasilitasnya, hingga siap huni. Kemampuan warga dinilai secara mandiri dan didampingi ahli appraisal, sehingga dapat ditentukan kontribusi tiap penduduk. Selebihnya, ditanggung pemerintah dan pihak ketiga. Pengembang besar dapat digandeng ikut dengan insentif, antara lain berupa pemberian konsesi di tempat yang sama atau lokasi lain.
Perencanaan dari awal dapat memakan waktu 1-2 tahun. Penyediaan rumah sementara bisa dalam 6 bulan dan pembangunan tiap menara paling cepat tuntas dalam 2 tahun. Jika semua lancar, dalam 5 tahun Tambora berubah. Kawasan-kawasan padat lain dapat mengekor kemudian.
Baca juga : Menepi di Kota Kecil

Tenda warga Kampung Susun Bayam di depan gerbang masuk Kampung Susun Bayam di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (26/1/2023). Warga berunjuk rasa karena pengelola kampung susun dinilai mematok harga sewa jauh di atas kemampuan mereka.
Sebatas percontohan
Sayangnya, ide cemerlang sering terhenti pada tataran proyek percontohan yang belum berdampak banyak bagi kota. Bahkan, ada proyek mangrak dan justru makin bikin susah warga.
Hunian vertikal kolaboratif memang perlu upaya tak ringan dan konsistensi menjalankan program dari para pihak yang terlibat agar terealisasi dan berdampak besar. Ini tantangannya, karena kerap tak sejalan dengan pola pemerintahan dan pemimpin yang tergantung periode menjabat 5 tahun serta sangat dipengaruhi situasi politik daerah maupun nasional.
Mendekati tahun politik di 2024 saat pemilu raya memilih wakil rakyat juga kepala daerah hingga presiden, diharapkan muncul pemimpin-pemimpin merakyat dan sungguh-sungguh mengusung penataan kota efektif. Bisa jadi ini bagai pungguk merindukan bulan, tetapi harapan seperti menebar bibit yang butuh rutin dipupuk dan dipelihara agar kelak satu atau beberapa di antaraya tumbuh baik dan berbuah.
Baca juga : Catatan Urban