Institusi Serakah di Balik Gugurnya Teori Jendela Pecah
Kriminalitas di ruang kota begitu beragam. Pemicunya kompleks, kemiskinan hingga ketamakan aparat dan institusi yang korup. Menebas kriminalitas dengan menerapkan ”teori jendela pecah” takkan memupus kejahatan perkotaan.

Neli Triana, wartawan Kompas
Sebulan terakhir, publik disuguhi sejumlah kasus kriminalitas yang membuat merinding, bergidik. Ada penculikan Malika, perempuan 6 tahun di Jakarta Utara, terkait eksploitasi ekonomi dan indikasi eksploitasi seksual. Tak lama kemudian, kasus mutilasi Angela di Kota Bekasi, Jawa Barat, yang kini diyakini berlatar asmara dan penguasaan harta.
Belum surut sorotan publik terkait dua kasus tersebut, ada penculikan dan pembunuhan terhadap Fadli Sadewa (11) di Makassar, Sulawesi Selatan, berlatar nafsu mendapat uang dari menjual organ tubuh korban. Pelakunya remaja belasan tahun! Lalu, komplotan penipu bermodus penggandaan uang disertai pembunuhan dengan sedikitnya sembilan korban jiwa di Kota Bekasi dan Cianjur, Jabar. Dan, salah satu pelakunya adalah keluarga inti para korban.
Kasus-kasus itu menyeruak di antara kejahatan lain yang masih terjadi sehari-hari. Ada terekam aksi pengguna mobil mencuri di toko kelontong, perampokan di minimarket, kelompok perusuh dan begal seperti di Kota Bandung, di Jabodetabek, di Palembang di Sumatera Selatan, juga di kota-kota lain.
Ekspos kasus kriminal itu semakin riuh seiring dengan masih berlangsungnya persidangan pembunuhan polisi, yaitu Brigadir Yosua Hutabarat. Para terdakwa yang terlibat pembunuhan tak lain sesama anggota polisi, termasuk atasannya beserta istri.
Baca juga : Gedung Tinggi Versus Punggung Jenderal Sudirman

Terdakwa Ferdy Sambo tiba di ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengikuti sidang pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Senin (17/10/2022).
Apa yang terpapar di antara publik beberapa pekan ini menunjukkan variasi kejahatan yang begitu beragam. Kejahatan pada dasarnya adalah pelanggaran hukum yang tidak mengenal batas wilayah. Namun, dari sisi lokasi kejadian, area perkotaan terbatas yang padat penduduk memiliki tingkat kejahatan jauh lebih tinggi dan jenisnya lebih beragam dibandingkan area nonurban.
Penyebab kejahatan pun kompleks, hampir tidak ada penyebab tunggal. Ada cemburu berkelindan dengan kecongkakan dan harga diri, merasa lebih superior dan bisa melakukan apa pun, keserakahan dibalut kemalasan berproses demi mendapat uang maupun kesuksesan, kemiskinan di tengah relasi sosial renggang, juga perilaku semaunya dari mereka yang punya kuasa jabatan dan harta.
Dalam Handbook of Regional and Urban Economics (2015) dituliskan, kriminalitas ada karena ada pelanggaran terhadap hukum berlaku dan pemerintahan aktif dengan institusinya yang menegakkan regulasi. Dengan kata lain, dalam kondisi sebaliknya, kriminalitas tidak ada dan hanya berlaku hukum rimba. Pada saat masyarakat secara sadar bersama-sama membentuk pemerintahan dan membuat payung hukum, maka kebijakan serta regulasi itu berlaku bagi semua.
Kenyataannya, aparat tidak selalu menjadi pelaksana kebijakan yang adil apalagi transparan demi melindungi publik. Buku Police Funding, Dark Money, and the Greedy Institution (2022) membongkar praktik buruk dalam tubuh institusi penegak hukum.
Baca juga: Ikatan Emosional Pemilik dan Rumahnya

Penulis buku tersebut, Kevin Walby dan Randy K Lipert, memaparkan di The Conversation, bahwa hasil riset mereka di Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan pembangunan sosial terbukti mampu mengurangi kejahatan jalanan dan terbentuknya komunitas yang lebih sehat. Namun, ternyata anggaran untuk institusi polisi yang terus meningkat tidak secara jelas berdampak pada pengurangan pelanggaran atau komunitas yang lebih aman.
Dari kedua negara dengan konsep dan pengelolaan insitusi kepolisian yang ditiru banyak negara, termasuk di Indonesia, Walby dan Lipert menyimpulkan riset mereka mendukung sosiolog Amerika, Lewis Coser, yang meneliti tentang institusi rakus pada tahun 1974.
Para peneliti itu pun sama-sama sepakat bahwa di tubuh pemerintah ada institusi militer juga kepolisian yang ternyata rakus. Keserakahan itu ditunjukkan dengan penegasan bahwa mereka memiliki budaya dan aturan berbeda yang butuh diakui oleh pihak luar dan didukung oleh loyalitas tak bersyarat dari para anggotanya.
Institusi itu juga tamak dalam mencari sponsor swasta dengan memperluas jaringan dan hubungan sosial sembari mengumpulkan lebih banyak sumber daya keuangan. Kucuran dari pihak ketiga di luar anggaran resmi pemerintah yang sering kali tidak secara transparan diungkap kepada publik. ”Uang gelap” itu digunakan untuk menambah stok persenjataan, berbagai peralatan dan fasilitas lain sesuai kepentingan institusi maupun orang-orang tertentu di dalam institusi.
Baca juga : Anak Muda dan Kekerasan, Sebuah Isu Kesehatan Masyarakat Global


Memasuki usia ke-76 tahun pada Juni 2022, hingga kini, Kepolisian Negara Republik Indonesia masih harus berjibaku untuk memulihkan citra.
Praktik pemolisian berbayar, meskipun berkedok dilakukan di luar jam dinas, juga bagian dari tradisi institusi yang serakah. Walby dan Lipert menemukan kebiasaan institusi mengontrol aktivitas anggotanya, mengatur mereka untuk mengamankan tempat atau aktivitas usaha maupun kegiatan individu dengan imbalan bayaran. Penggunaan senjata bahkan seragam saat bertugas di luar dinas untuk kepentingan publik menjadi hal lumrah. Institusi, dalam hal ini juga berarti perintah atasan yang dapat pula disetir oleh pihak ketiga, didahulukan di atas segalanya.
Teori jendela pecah
Menjadi bagian dari institusi yang rakus lagi superpower itu membuat penegak hukum tidak fokus memberangus kejahatan sampai ke akar dengan cara yang tepat. Mereka dinilai memilih jalan pintas dengan penilaian kesuksesan secara sepihak.
Hal tersebut, antara lain, dilakukan dengan menerapkan ”teori jendela pecah” (Broken Window Theory). Teori ini diklaim berhasil di Kota New York, AS, pada era tahun 1990-an yang kemudian di-copy paste oleh banyak negara.
Teori ini mendasarkan penegakan hukum dan mewujudkan kota aman dengan memberantas kejahatan jalanan yang tergolong kejahatan minor dan disebut merusak tatanan umum (disorder). Menekan kejahatan minor diyakini memupus kejahatan yang lebih besar lagi serius di kemudian hari.
Baca juga : “Gangsta's Paradise”
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F19%2Fed48054e-f6d4-4676-9651-c9920862a4df_jpg.jpg)
Konferensi pers kasus pembunuhan berantai yang terungkap dari tewasnya keluarga di Bekasi karena diracun, di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Kriminalitas brutal tidak berhenti, bahkan pada waktu-waktu tertentu terjadi eskalasi. Beberapa modus kejahatan terbukti berulang dan memakan banyak korban jiwa tanpa aparat dapat mendeteksinya secara dini, apalagi mencegahnya terjadi.
Berdasarkan teori itu, petinggi polisi didukung pemimpin kota mengarahkan anak buahnya fokus menindak pemuda-pemuda yang suka melempari jendela kaca rumah ataupun bangunan dengan batu dan pelukis grafiti di fasilitas publik, membersihkan sudut-sudut kota dari prostitusi jalanan, menangkapi pemabuk, mengusir gelandangan dari jalanan, dan pelanggaran hukum ringan lain.
Meskipun tidak menyebut memakai teori yang sama, konsep membuat kota lebih teratur (order) dan aman juga biasa dilakukan di Indonesia. Di tahun 1980-an, teror ”petrus” atau penembakan misterius menyasar orang-orang yang dicap preman. Pada dekade berikutnya pembersihan premanisme, penggerebekan prostitusi, razia penjahat jalanan terus diusung aparat penegak hukum dan pemerintah.
Booming media televisi diikuti media sosial beberapa tahun terakhir menjadi panggung aksi petugas menggerebek bandar narkoba di kampung kota, menangkapi kelompok remaja tawuran, menembak begal. Dengan tampilan ala jagoan di film Hollywood lengkap dengan senjata api, postur tubuh tegap dibalut atribut khusus, para penegak hukum meraih popularitas yang turut melegitimasi klaim keberhasilan menjaga ketertiban maupun keamanan.
Walakin, sejak kemunculannya hingga sekarang, klaim kesaktian ”teori jendela pecah” telah menuai kritik tajam.
Randall G Shelden, lewat ”Assessing ’Broken Windows’: A Brief Critique” adalah salah satu pihak yang mengajak publik melihat kenyataan bahwa berbagai kejahatan tetap terjadi di tengah berbagai aksi heroik polisi mengejar ”si pemecah kaca jendela”. Kriminalitas brutal tidak berhenti, bahkan pada waktu-waktu tertentu terjadi eskalasi. Beberapa modus kejahatan terbukti berulang dan memakan banyak korban jiwa tanpa aparat dapat mendeteksinya secara dini, apalagi mencegahnya.
Baca juga : ”Kamu Nanya… Rawrrr”
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F10%2F26%2Fcbc218cc-2574-4584-a76a-34a06d315fb2_jpg.jpg)
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri, Jakarta, Selasa (26/10/2021), merilis kasus judi daring sekaligus penyedia tayangan langsung (live streaming) prostitusi dalam aplikasi.
Di Indonesia, prostitusi daring melibatkan anak-anak perempuan maupun laki-laki di bawah umur, misalnya, tetap berlangsung meskipun berkali-kali digerebek. Modus penipuan seperti penggandaan uang seperti dilakukan Dimas Kanjeng alias Taat Pribadi di Jawa Timur, juga Wowon dan komplotannya di Ciketing Udik, Kota Bekasi dan Cianjur di Jawa Barat, terus berulang.
Semua itu belum menyoal melimpahnya peredaran narkoba, eksploitasi seksual dengan menjerat korban via media sosial, sampai berbagai kejahatan yang mengadopsi kemajuan di era digitalisasi.
Penegak hukum nyaris selalu muncul saat korban berjatuhan. Padahal, pendekatan sains dan kemajuan digital tak hanya bisa untuk memproses barang bukti di tempat kejadian perkara setelah kejahatan terjadi. Eksplorasi pendekatan ilmiah, analisis data, dan teknologi guna mendeteksi kejahatan untuk mencegahnya masih amat minim dipraktikkan.
Pesan jelas dan tegas dari fakta yang terhampar saat ini adalah tantangan kejahatan perkotaan kian beragam, tak hanya soal kejahatan jalanan, pencurian, ataupun pembunuhan karena emosi sesaat yang tergolong jenis kejahatan tempo dulu. Diperlukan institusi penegak hukum yang mumpuni yang diperkaya penguasaan ilmu dan keterampilan mutakhir seiring kemajuan jaman, agar mampu merespons cepat dan tepat setiap kejahatan, bahkan membangun sistem pencegahan yang efektif dan bisa diandalkan.
Syarat mutlak lainnya, penegak hukum hanya perlu menghamba pada satu hal, yaitu kepentingan publik, bukan yang lain.
Baca juga : Catatan Urban