Menjadi ”Zombie” di Manggarai
Titik ketegangan tempat warga kota mengunggah emosi negatif di media sosial salah satunya mengkritik layanan angkutan umum. Itu tecermin dari ramainya tagar Stasiun Manggarai dan ”zombie” Manggarai pekan ini.

Neli Triana - wartawan Kompas
”Manggarai dan para zombie-zombienya”, demikian tulis salah satu akun Twitter. Unggahan itu disertai video aliran penumpang memenuhi tangga naik hingga ke peron Stasiun Manggarai di Jakarta Selatan.
Diasosiasikan dengan sederet adegan di film tentang mayat hidup itu, mulai dari Train to Busan sampai The Last of Us, para komuter tersebut seolah bergerak sendiri layaknya zombie mengikuti aliran yang secara konstan terjadi untuk bermuara di peron-peron tempat kereta membawa mereka menuju Bekasi, Bogor, atau Tanah Abang.
Di tengah pekan ini, tagar (#) Manggarai dan zombie Manggarai sempat merajai percakapan di beberapa media sosial. Sebutan zombie ini menjadi perbincangan publik saking ramainya curahan frustrasi pengguna kereta yang terpaksa transit di Stasiun Manggarai.
Saat berkeliling Stasiun Manggarai di luar jam sibuk, tiang beton di tengah peron 6 dan 7 memang tidak terasa mengganggu. Berbeda rasanya saat berada di peron itu pada pagi atau sore hingga malam hari saat arus calon penumpang memadati area tersebut. Begitu padatnya, seluruh lantai pun tertutup lautan manusia.
Baca juga : Kisah (Tak) Sedih di Hari Minggu
Soal tiang beton itu baru sebagian kecil saja sandungan bagi komuter setelah pembangunan besar-besaran berlangsung di stasiun tersebut. Oleh karena proyek masih berjalan, belum semua jalur kereta dapat difungsikan. Jalur tersisa harus dibagi untuk layanan kereta komuter Jabodetabek dan kereta jarak jauh.

Para penumpang KRL sedang menunggu kedatangan kereta di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan, Selasa (10/1/2023).
Namun, publik sama sekali tidak berkeberatan dengan revitalisasi Manggarai. Semua mahfum, pembangunan itu diperlukan demi mewujudkan Manggarai sebagai stasiun sentral di Jakarta layaknya yang dimiliki kota-kota besar modern lain di dunia.
Akan tetapi, kebijakan-kebijakan penataan aliran calon penumpang di tengah kesibukan pembangunan dinilai masih jauh dari memperhatikan kepentingan publik. Keputusan pengharusan sebagian besar perjalanan kereta transit dahulu di Manggarai membuat perjalanan komuter kian panjang, harus berpindah-pindah peron, melelahkan.
Penumpang tujuan Depok dan Bogor dari Tanah Abang, misalnya, kini tidak lagi dapat naik kereta langsung relasi Tanah Abang ke arah Bogor. Mereka harus naik kereta ke Manggarai kemudian turun, mengikuti aliran ”zombie Manggarai” untuk berganti peron demi kereta dengan tujuan Bogor. Akibatnya, ketika jam sibuk, para ”zombie” itu bergegas berlarian demi tempat duduk.
Apa yang terjadi di Manggarai sebenarnya dialami pula di stasiun lain, seperti Tanah Abang dan Duri. Tiang beton besar di antara eskalator dan bibir peron di Stasiun Palmerah menjadi titik di mana komuter harus ekstra hati-hati, terlebih saat calon penumpang berlimpah dan kereta terlihat melaju memasuki stasiun. Pada saat seperti itu, terpeleset atau terdorong kerumunan sama halnya dengan bertaruh nyawa.
Baca juga : Alternatif Bernama Hunian Vertikal Kolaboratif

Penumpang KRL arah Cikarang via Manggarai sedang menunggu kereta berhenti di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (3/1/2023).
Akan tetapi, hal-hal tersebut telah menjadi hal biasa bagi para komuter pengguna angkutan umum. Belum menjadi komuter tangguh di Jakarta kalau belum merasakan berdesakan atau terimpit sampai sesak napas di kereta dan bus perkotaan. Antrean panjang menunggu moda incaran datang pun sudah terlalu biasa terjadi.
Uji kekuatan kaki masih berlanjut ketika akhirnya bisa masuk ke kereta atau bus, tetapi tetap harus berdiri selama perjalanan. Menjadi ”pejuang” angkutan umum terasa semakin luar biasa karena tiap komuter melengkapi diri dengan jurus spesial agar tetap aman selama di perjalanan.
Di sela impit-impitan tak berjeda, tas ransel atau selempang wajib disandang dan didekap di dada. Tidak disarankan membawa dompet atau telepon genggam juga kartu uang elektronik di kantong baju ataupun celana. Lengah sedikit, barang-barang itu bisa berpindah tangan.
Selanjutnya, setiap penumpang kini dipaksa mewaspadai para predator seksual yang bergentayangan mencari mangsa di angkutan umum. Tidak hanya perempuan, penumpang laki-laki pun menjadi sasaran mereka. Mengenakan jaket dan kain pelapis tambahan untuk menutupi bagian depan serta belakang tubuh, juga menyilangkan tangan di dada, lazim dilakukan untuk proteksi diri.
Baca juga : Institusi Serakah di Balik Gugurnya Teori Jendela Pecah

PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) menggelar kampanye pencegahan pelecehan seksual yang kerap terjadi di kereta commuter line.
Walakin, berbagai strategi itu tetap tak membuat para peleceh laknat mengurungkan niat menggerayangi apa pun yang bisa dijangkau tangan mereka atau anggota tubuh lainnya di tengah kepadatan.
Salah satu hasilnya, titik ketegangan selama 2016-2017 di kedua kota tersebut ternyata terkait dengan stasiun kereta api, halte bus, dan jalanan yang padat dengan lalu lintas kendaraan. Warganet menyampaikan perasaan jijik dan marah dengan semua itu.
Harap diingat pula, sebagian besar pengguna setia angkutan umum bukan pula orang miskin papa. Banyak dari mereka pekerja berpenghasilan tetap, bahkan tergolong menengah ke atas. Pilihan menjadi komuter angkutan umum berdasarkan pikiran logis, yaitu mempercepat perjalanan karena cakupan layanan transportasi publik yang kian luas serta makin baik akhir-akhir ini.
Di sisi lain, banyak pula yang dengan sadar memilih angkutan umum sebagai andil memperbaiki lingkungan kota. Mereka berharap turut mengampanyekan dan menjadi bagian pengurangan penggunaan kendaraan pribadi, menekan polusi, juga membuat kota bergerak lebih efektif.
Jadi, tidaklah heran jika para pejuang angkutan umum ini semakin emosional, mudah marah, bahkan stres berat karena ada kebijakan baru yang menambah beban rutin harian mereka. Sentimen negatif publik pada fasilitas angkutan umum di jam pergi dan pulang kerja pun serentak naik setiap ada gangguan layanan.
Baca juga : Gedung Tinggi Versus Punggung Jenderal Sudirman

Suasana di dalam tube kereta komuter bawah tanah di London, Inggris, September 2015.
Titik ketegangan
Di kota-kota lain di dunia, hal serupa juga terjadi. Kondisi tersebut di antaranya tecermin dari laporan penelitian Panote Siriaraya, Yihong Zhang, Yukiko Kawai, Peter Jeszenszky, dan Adam Jatowt berjudul ”A city-wide examination of fine-grained human emotions through social media analysis” yang dipublikasikan di jurnal daring PLOS One, awal Februari ini.
Siriaraya dan timnya menganalisis unggahan di media sosial sebagai cermin emosi manusia urban terhadap kejadian yang memengaruhi mereka ataupun relasi mereka dengan banyak tempat di San Francisco di Amerika Serikat dan London di Inggris. Salah satu hasilnya, titik ketegangan selama 2016-2017 di kedua kota tersebut ternyata terkait dengan stasiun kereta, halte bus, dan jalanan yang padat dengan lalu lintas kendaraan. Warganet menyampaikan perasaan jijik dan marah dengan semua itu.
Namun, untuk London, curahan kebencian warga terhadap layanan angkutan umumnya semakin berkurang dari tahun ke tahun berkat perbaikan terus-menerus yang salah satunya diiniasi pemerintah kota setempat.
Baca juga : Ikatan Emosional Pemilik dan Rumahnya

Menunggu kedatangan tube di peron salah satu stasiun di London, Inggris, September 2015.
Tahun 2022, Bloomberg.com melaporkan, sistem angkutan umum kota London mendapat pengakuan sebagai salah satu yang terbaik di dunia berdasarkan beberapa faktor penilaian, termasuk jarak tempuh warga ke titik transit, keterjangkauan, jam operasional, kepadatan, dan kecepatan perjalanan.
Rasa frustrasi komuter di Manggarai sudah seharusnya menjadi masukan penting dan pelecut bagi pemerintah di Jakarta untuk berbenah seperti pembuat kebijakan di London. Para pejuang angkutan umum ini bagian dari jutaan kaum urban penggerak ekonomi kota dan negara. Mereka jelas bukan zombie tak bernyawa yang seenaknya bisa dibiarkan sengsara. Sebaliknya, sepatutnya dihargai dan dilayani secara manusiawi.
Baca juga : Catatan Urban