”Citayam Fashion Week” di Bawah Bayang-bayang Harajuku dan La Sape
”Citayam Fashion Week” bagai tunas kecil yang belum jelas nasibnya. Seberapa kuat dan beranikah para pendukungnya tumbuh menjadi subkultur berpengaruh dan diperhitungkan seperti Harajuku di Jepang, juga La Sape di Kongo?
Fenomena ”Citayam Fashion Week” membubuhkan warna berbeda dalam kultur urban ibu kota. Ia bagai tunas kecil dengan dua opsi, bisa tumbuh dan kuat berpengaruh atau malah terlindas timbulan tren lain lalu lenyap.
Lebih jauh, ”Citayam” kini masih jauh di bawah bayang-bayang Harajuku di Jepang dan La Sape di Kongo. Harajuku dan La Sape puluhan tahun ditempa sebelum menjadi subkultur yang diperhitungkan di dalam negeri, juga dunia.
Sepekan terakhir ada perkembangan menggembirakan bagi para pendukung ”Citayam Fashion Week”. Publik cukup positif menerima fenomena kaum muda berkumpul di ruang publik di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, dan berekspresi lewat dandanan atau pilihan pakaian yang dikenakannya. Fenomena itu dinilai layak diberi tempat sewajarnya tanpa perlu mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
Baca juga : ”Citayam Fashion Week”, Kembalinya Kota untuk Warga
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersama wakilnya Ahmad Riza Patria hingga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno terang-terangan mendukung ”Citayam Fashion Week” yang pelakunya rata-rata berasal dari kawasan tetangga Ibu Kota tersebut.
Satuan polisi pamong praja diturunkan ke lokasi untuk menegakkan aturan, seperti agar tidak buang sampah sembarangan, merokok di tempat umum, dan membubarkan kerumunan di atas pukul 22.00. Sandiaga memberi sinyal ada peluang digelar peragaan busana jalanan yang akan makin menantang kreativitas anak-anak ”Citayam” itu.
Banyak unggahan di media sosial ataupun judul ulasan di media massa yang kemudian latah menyandingkan ”Citayam Fashion Week” dengan Harajuku di Jepang. Sekilas, gaya ”anak Citayam” di kawasan Dukuh Atas itu memang memiliki kemiripan dengan ekspresi unik kaum muda sepantaran mereka di Harajuku dan area sekitarnya di Tokyo, Jepang. Namun, untuk menyebut keduanya setara, rasanya terlalu dini.
Subkultur Harajuku
Harajuku hanyalah salah satu kiblat upaya pembebasan oleh sekelompok orang lewat tatanan rambut, rias wajah, pakaian, sampai alas kaki terhadap tradisi ataupun situasi yang dirasakan mengekang. Yuniya Kawamura dalam bukunya Fashioning Japanese Subcultures (2012) meneliti subkultur kaum muda di Tokyo melalui studi empiris antara tahun 2004 dan 2010.
Subkultur biasanya marginal, tersembunyi dan di bawah tanah. Akan tetapi, begitu dipopulerkan dan dikomersialkan, (gaya) mereka menyebar luas ke massa yang selama ini (kulturnya) bertentangan dengan nilai-nilai dasar subkultur. (Yuniya Kawamura)
Guru Besar Sosiologi di Fashion Institute of Technology, New York, Amerika Serikat, itu mengawali riset dengan pertanyaan, mengapa gaya berpakaian orang di Jalan Harajuku, Shibuya, Sinjuku, Akihabara, dan beberapa lokasi lain berbeda dengan masyarakat Tokyo pada umumnya. Apakah para pelaku subkultur ini memang ingin diperhatikan? Bagaimana sebenarnya gaya hidup mereka? Adakah nilai yang ingin dibagikan kepada sesama mereka dan juga kepada masyarakat luas?
Subkultur selama ini dikaitkan dengan kaum muda dan hal-hal yang dinilai menyimpang dari kultur arus utama, tetapi jejak akar budaya dominan masih ada. Setiap pendukung subkultur tertentu biasa membuat pernyataan tentang dirinya dan kelompoknya lewat pakaian khas, perhiasan, dandanan, sampai menciptakan bahasa khusus.
Jadi, subkultur adalah sistem nilai, sikap, perilaku, dan gaya hidup yang berbeda, tetapi tetap memiliki relasi dengan kultur dominan dalam sebuah masyarakat.
”Subkultur biasanya marginal, tersembunyi dan di bawah tanah. Akan tetapi, begitu dipopulerkan dan dikomersialkan, (gaya) mereka menyebar luas ke massa yang selama ini (kulturnya) bertentangan dengan nilai-nilai dasar subkultur (Harajuku dan sekitarnya),” kata Kawamura saat diwawancara oleh BBC Designed.
Subkultur tak muncul tiba-tiba. Lembaga penelitian mode dan budaya ACROSS memotret perkembangan subkultur di Tokyo dengan mengerahkan para penelitinya berdiri di sudut jalan Shibuya, Harajuku, dan Shinjuku mulai 9 Agustus 1980 dan diulang tiap Sabtu secara rutin sampai 2017 atau selama 37 tahun.
Baca juga: Suatu Hari yang Sibuk di Glodok Pancoran
Dari riset di lapangan ditambah sumber sekunder, mereka mengetahui bahwa anak-anak urban Tokyo pada 1980-an yang berusia awal dewasa atau 20-an tahun ingin terbebas dari tradisi berpakaian dan gaya hidup orangtua mereka generasi baby boomers. Jepang kala itu tengah berderap maju sekaligus menempatkan Tokyo sebagai kota utama yang sangat dinamis.
Beranjak dewasa dan mulai bekerja, kaum muda Tokyo merasakan langsung perubahan sosial, ekonomi, ataupun politik serta terpapar pengaruh dari luar Jepang berkat kemudahan teknologi. Gaya busana Barat merasuki mereka seiring tren musik dan film Amerika Serikat ataupun Eropa yang kian digandrungi. Mereka pun menciptakan gaya baru mewakili darah mudanya, keluar dari pakem kerapian dan kesopanan yang selama ini melekati orang Jepang.
Kawasan Harajuku berdekatan dengan Shinjuku dan Shibuya sebagai pusat Tokyo menjadi tempat berekspresi karena mudah dicapai dengan angkutan umum apa pun, khususnya kereta komuter. Sebagian mereka bekerja di berbagai bidang, mulai dari penjaga toko sampai karyawan kantoran di sekitar area yang sama. Jadi, mereka tinggal jalan kaki saja untuk sekadar mondar-mandir ngeceng setelah makan siang ataupun saat jam kerja usai.
Dari laporan yang sama di BBC Designed, disebutkan fotografer Soichi Aoki rutin memotret peragaan mode jalanan di Harajuku sejak 1996 yang, menurut dia, juga tahun kelahiran baru mode jalanan harian di sana. Aoki kemudian menerbitkan majalan Fruits yang berisi foto-foto pejalan kaki Harajuku dengan pakaiannya yang selalu unik setiap hari.
Baca juga: Perihal Pendatang, dari Guido Martinotti hingga Jennifer Lopez
Dari riset ACROSS ataupun data foto Aoki, terlihat ada beragam aliran mode di Harajuku. Ada penganut pakaian hingga riasan wajah serba hitam yang kental rasa gothic dan gelap. Ada penyuka baju ala putri-putri kerajaan Eropa abad ke-18-19 yang penuh renda, kain motif bunga-bunga, lengkap dengan topi kecil serta payung. Pokoknya serba cantik, selalu tersenyum, menggemaskan. Ada juga yang memodifikasi kimono dan lainnya. Di sini pula diyakini tren costume play atau cosplay menemukan tempat subur untuk berkembang sampai sekarang.
Semua gaya diterima dan menemukan komunitasnya sendiri. Bahkan, mereka yang tidak mengusung gaya busana apa pun, termasuk dalam aliran mode tersendiri, yaitu tanpa gaya atau normal saja. Setiap aliran berkembang pesat berkat kreativitas para pendukungnya yang sebagian di antaranya terjun menjadi desainer dan membuka toko pakaian sesuai kekhasannya.
Dampaknya sungguh dahsyat. Kawasan Harajuku menjadi pusat mode lokal yang perlahan menjadi kiblat seluruh Jepang. Fenomena Harajuku turut menempatkan Tokyo sebagai pusat mode dunia. Aoki di BBC menyatakan dirinya menyukai apa yang terjadi di Harajuku yang, menurut Aoki, hanya sekadar orang-orang yang ingin tampil beda dengan busananya.
Kawamura menyanggah pernyataan Aoki. Dari penelitiannya, pengusung mode serba gelap adalah para pemuda yang merefleksikan resesi ekonomi di Jepang pada 1990-an ataupun kegundahan lain merespons berbagai situasi yang tak selalu baik di tengah pesatnya pembangunan. Aliran gaya busana menggemaskan memilih menghidupkan imajinasi positif nan ceria untuk lari dari kenyataan sehari-hari yang tak selalu cerah.
Baca juga: Wajah Gentrifikasi di Seputaran Sarinah
ACROSS merekam bahwa seiring berjalannya waktu, setelah melewati tiga dekade, mode Harajuku makin cair. Setiap orang bisa mengawinkan gaya serba gelap dengan aliran Lolita atau gaya serba cantik sesuai suasana hatinya. Beda hari bisa beda gaya. Terlebih sekarang dunia disatukan oleh kemajuan teknologi informasi, gaya busana dari belahan bumi yang lain bisa segera diterima dan diadopsi sesuka hati.
Bisa jadi, hal inilah yang membuat Aoki merasa Harajuku kini tak lagi berbeda dan tak ada lagi yang menarik untuk dipotret. Kawasan Harajuku sekarang juga tak lagi melulu menjadi tempat toko-toko dengan desainer lokal, tetapi telah dijejali pula dengan berbagai kantor di luar urusan mode.
Kawasan itu telah menjadi area pusat wisata dan komersial. Mode pun tak sekadar ekspresi murni individu atau sekelompok orang, tetapi bermetamorfosis menjadi bisnis bernilai jutaan dollar AS.
Kawasan Harajuku saat ini juga bukan satu-satunya pusat mode di Asia. Menengok ruas-ruas utama di pusat kota Seoul, Korea Selatan, dan di Singapura, misalnya, sudah pula menjelma menjadi lokasi parade mode jalanan, bahkan menyaingi suasana di pusat kota New York di AS atau Paris di Perancis.
Selain menjual romantisisme sebagai tonggak pertama mode jalanan Asia, Harajuku butuh sesuatu yang benar-benar otentik dan khas untuk terus dapat menyematkan label sebagai pusat mode jalanan dunia. Mungkin saja Harajuku butuh gebrakan dari generasi muda saat ini seperti saat pemuda-pemudi mendobrak kemapanan budaya berpakaian Jepang tahun 1980-an sampai 1990-an.
Kita mempertanyakan apakah mereka akan menjadi orang-orang yang kejam jika pakaian mereka tidak menghasilkan rasa damai? (Juliette Lyons)
Ironi La Sape
Melompat jauh dari Harajuku ke Brazzaville, ibu kota Republik Kongo di Afrika Tengah, ada fenomena mode lain yang layak disimak kisahnya. Juliette Lyons dalam tulisannya ”La Sape: an elegance that brought peace in the midst of Congolese chaos” (2014) di Le Journal International menjelaskan bahwa Brazzaville menjadi pusat subkultur La Sape atau orang-orang yang mengenakan pakaian mahal dan berkelas yang disebut sapeur.
Gerakan itu diinisiasi oleh musisi Papa Wemba pada 1970-an di Kinshasa, ibu kota Republik Demokratik Kongo (RDK) atau yang dulu bernama Zaire bekas jajahan Belgia. RDK berbatasan dengan Republik Kongo yang dulu dijajah Perancis. Bank Dunia memasukkan kedua negara Kongo dalam kategori negara miskin sampai saat ini.
Baca juga: 1,2 Miliar Warga Dunia Masih Terperangkap Kemiskinan
Wemba mempromosikan La Sape dengan sangat menekankan pakaian rapi dan berkelas bagi semua pria Kongo, terlepas dari perbedaan sosial mereka. Tak sekadar elegan, penampilan itu mempromosikan hidup damai tanpa kekerasan. Suatu hal yang sesungguhnya jauh dari kehidupan sehari-hari warga di kedua negara Kongo yang akrab dengan konflik perang saudara.
Lyons memaparkan, sapeur kemudian justru berkembang pesat di Brazzaville ketika Pemerintah RDK melarang warganya mengenakan pakaian nontradisional. Di Brazzaville, La Sape digemari warga yang sehari-harinya jauh dari makmur. Mereka adalah sopir taksi, tukang kayu, bahkan pekerja serabutan.
Demi bisa membeli atau mimimal menyewa satu setel pakaian bermerek asal Paris, mereka menghabiskan lebih dari tiga bulan penghasilannya. Agar dapat tampil rapi dan bersih, sering kali mereka menahan pengeluaran untuk makan, mengorbankan akses rumah yang lebih baik, sampai mengalihkan biaya sekolah anak-anak mereka.
Menjadi ironi, ketika itu menjadi cara para pekerja miskin urban melarikan diri dan melupakan kemelaratan. Dalam komunitas lokal mereka, mereka sumber inspirasi dan kepositifan instan melalui percakapan, tarian, dan kompetisi mode persahabatan, yang turut menyumbang tingginya indeks kebahagiaan di Brazzaville. Kebahagiaan instan La Sape pun kini menyebar dan diterima sebagai gaya hidup masyarakat urban miskin lain di banyak kota di negara-negara Afrika.
Kontradiksi antara gaya serba rapi jali kaum sapeur dan kondisi hidup yang miskin lagi buruk bagai refleksi kondisi benturan di dunia ini. Lyons menutup tulisannya dengan lontaran renungan, ”Kita mempertanyakan apakah mereka akan menjadi orang-orang yang kejam jika pakaian mereka tidak menghasilkan rasa damai?”
Baca juga : Lee Myung-bak, Fenomena Cheonggyecheon dan Akhir Tragis di Penjara
Kembali ke ”Citayam Fashion Week”, sejarah panjang Harajuku dan La Sape bisa menjadi cermin. Ada plus minus dari setiap subkultur mode tersebut.
Citayam yang kini masih menjadi bibit yang mulai bertunas dapat dikelola agar bisa memanen sisi positif dari kedua ”kakaknya” itu dan menelurkan strategi sendiri untuk dapat berkembang serta bermanfaat secara lebih luas.
Bisakah? Cepat atau lambat akan terlihat hasilnya.
Baca juga: Catatan Urban