Lee Myung-bak, Fenomena Cheonggyecheon dan Akhir Tragis di Penjara
Wali Kota Lee Myung-bak memanen ketenaran dengan meregenerasi Cheonggyecheon menjadi ruang publik di tengah sesaknya Seoul. Sukses itu mengantarnya ke kursi Presiden Korsel. Namun, korupsi bertubi membawanya ke penjara.
Oleh
NELI TRIANA
·5 menit baca
Periode 2002-2006, Seoul di Korea Selatan membuat publik dunia tercengang dengan langkah tak biasa dalam membangun kotanya. Dipimpin Wali Kota Lee Myung-bak, jalan raya layang di tengah kota dihancurkan. Cheonggyecheon yang telah lama terkubur di bawah jalan dibangkitkan lagi dan dipoles menjadi sungai sekaligus ruang terbuka sepanjang 11 kilometer.
Cheonggyecheon menjadi fenomena dunia yang tidak dapat dilepaskan dari Lee Myung-bak. Lee, menurut Korean Herald dan Britannica, adalah orang yang penuh kontroversi. Warga asli Korea Selatan yang lahir tahun 1941 di Osaka, Jepang, itu disebut berasal dari keluarga amat miskin. Ia harus berjualan kue beras hingga menjadi tukang sampah untuk sekolah dan kuliah.
Nasibnya perlahan berubah ketika bekerja di Grup Hyundai. Lee memasuki dunia politik pada tahun 1992 dan memenangi pemilihan Majelis Nasional sebagai anggota Partai Korea Baru yang konservatif. Pada 1998, ia dinyatakan bersalah karena menggunakan dana partai melebihi batas yang ditetapkan dan harus melepas posisinya di Majelis Nasional.
Lee lalu menjauh dari kehidupan politik Korea Selatan dan tinggal di Amerika Serikat selama sedikitnya satu tahun. Saat kembali ke negaranya, ia memutuskan berkompetisi dalam pemilihan Wali Kota Seoul. Ia menang dan melakukan gebrakan dengan program Urban Regenerasi Seoul.
Program regenerasi Seoul sebenarnya telah menjadi kebijakan kota itu sebelum Lee menjadi wali kota. Alasannya, di akhir 1990-an hingga awal tahun 2000, Seoul dalam kondisi terburuknya. Kawasan di pusat kota menjadi area padat dan kumuh yang menampung lebih dari 50 persen dari sekitar 9 jumlah penduduk di sana. Pusat ibu kota Korea Selatan itu sesak dipenuhi bangunan beton serta ruas aspal minus tutupan hijau.
Awalnya, revitalisasi pusat Kota Seoul adalah untuk meremajakan jalan layang di sana. Ada hasil riset Korean Society of Civil Engineers yang menyatakan jalan berusia 30 tahun lebih itu memiliki cacat struktural, banyak bagian korosif, terjadi pengelupasan, dan balok betonnya aus sehingga daya tahannya berkurang. Meruntuhkan dan membangun ulang jalan tersebut membutuhkan sekitar 93 miliar won atau Rp 1 triliun setiap tahun untuk tiga tahun proyek.
Dalam pelaksanaannya, menurut laporan Bank Dunia, dari anggaran 384 miliar won atau sekitar Rp 4 triliun untuk restorasi, pemerintah kota menggunakan sekitar Rp 1 triliun yang awalnya untuk renovasi jalan layang. Dari 2003 hingga 2005, dikucurkan sekitar Rp 1 triliun setiap tahun konstruksi atau 1 persen dari total anggaran Kota Seoul.
Lee juga menyatakan bahwa restorasi sungai dapat menarik investasi swasta Rp 126 triliun untuk peremajaan kawasan komersial di sepanjang kanan dan kiri Sungai Cheonggyecheon. Target hasilnya adalah nilai tambah sebesar tiga kali modal investasi itu. Dibentuklah badan khusus yang menjamin transparansi program maupun penggunaan anggaran pemerintah maupun swasta.
Akan tetapi, pemimpin yang pernah sukses seperti Lee pun dapat jatuh sejatuh-jatuhnya karena tak mampu menghalau keserakahan diri akan kekuasaan dan kekayaan.
Pemerintah kota menghancurkan cakupan jalan raya, menciptakan pusat kota menghadap ke Sungai Cheonggyecheon yang ramah lingkungan, membangun sistem drainase serta sanitasi yang turut mengendalikan potensi banjir maupun limbah perkotaan, dan mengembalikan nilai sejarah urban melalui revitalisasi jembatan kuno juga sungai.
Proyek berjalan sesuai target. Jantung Kota Seoul berubah 180 derajat. Lee dipuja sebagai pengubah kesemrawutan menjadi kota masa depan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Kesuksesannya di Seoul membawa Lee menembus bursa presiden. Pada 2008, ia akhirnya menduduki kursi Presiden Korea Selatan. Di tampuk kekuasaan tertinggi itu, rupanya transparansi yang ditawarkan Lee selama menjadi wali kota sulit dipertahankan. Meskipun dapat menyelesaikan satu periode kepresidenan, Lee terus diguncang skandal.
Pada 2018, Lee didakwa atas berbagai tuduhan, terutama korupsi, penyuapan dan penggelapan. Salah satu kasus yang diungkit terjadi pada 2001, semasa Lee bersiap mencalonkan diri sebagai Wali Kota Seoul. Lee dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Pada 2019, ia pernah dibebaskan dengan jaminan saat mengajukan banding atas vonisnya. Namun, pada 2020, Mahkamah Agung Korea Selatan menolak bandingnya, dan Lee kembali ke penjara.
Di luar akhir tragis yang menimpanya, Cheonggyecheon akan tetap menjadi peninggalan Lee yang monumental dan bermanfaat luas bagi Seoul. Regenerasi Sungai Cheonggyecheon selalu menjadi inspirasi bagi setiap kota untuk menata lingkungannya. Kawasan itu bukti program dapat berhasil baik jika dilakukan sepenuh hati berdasarkan riset dengan memperhitungkan setiap detail penting.
Akan tetapi, pemimpin yang pernah sukses seperti Lee pun dapat jatuh sejatuh-jatuhnya karena tak mampu menghalau keserakahan diri akan kekuasaan dan kekayaan.
”Copy-paste” jalan Lee
Jalan hidup yang ditapaki Lee tecermin pula pada sepak terjang banyak pemimpin di negara lain. Di Indonesia, setidaknya dalam 10 tahun terakhir, pemimpin daerah berlomba meraup dukungan publik dengan mempercantik kotanya. Surabaya, Bandung, Bogor, Jakarta, hingga Bantaeng, Medan, Palembang, sampai Samarinda, hanyalah sedikit contoh kota yang mengalami demam revitalisasi kota. Revitalisasi kota yang diwujudkan pun baru sebatas memperbanyak ruang publik, khususnya taman kota. Jarang yang menjamah isu sulit seperti pengelolaan sampah, pemenuhan air bersih, sampai sanitasi perkotaan.
Sayangnya, dalam tahap membangun taman kota yang jauh tak sebanding dengan proyek Cheoggyecheon saja, detail riset dan kajiannya banyak yang masih amburadul. Taman kecil yang semula untuk melayani warga beberapa rukun tetangga (RT), tiba-tiba dipoles dan dijajakan di media sosial maupun media arus utama. Layaknya Lee dulu, sosok yang disebut penggagas revitalisasi taman itu dipuja.
Publik pun menyerbu sampai taman-taman itu kewalahan. Layaknya gelas berdaya tampung 200 mililiter tetapi terus diisi sampai 1 liter bahkan lebih, air pun meluber ke mana-mana. Warga di sekitar taman pun terganggu. Unggahan positif di media sosial berganti dengan kritik pedas, lalu diikuti kebijakan dadakan dari instansi terkait untuk ”memadamkan” isu panas itu. Namun, pastinya tidak gampang mengubah apa yang telah terjadi.
Selama ini, menjadi pemimpin daerah tak bisa dilepaskan dari tangga karier menuju kursi jabatan yang lebih tinggi. Memenangi hati dan suara warga lewat pembangunan fasilitas publik telah diterima sebagai jurus ampuh bagi politisi untuk memuluskan kariernya.
Cara paling mudah lagi murah adalah mempercantik taman kota ekisting dan program lain yang pemanfaatannya kelak secara fisik mudah terlihat, fenomenal, serta melibatkan kerumunan orang. Tinggal membubuhkan kampanye di media sosial dengan pasukan pendengung, kesuksesan sebagai pemimpin pun secara instan ditorehkan.
Hanya saja jika program yang seharusnya bisa terwujud dalam waktu dekat atau masih dalam periode kepemimpinan itu dilakukan asal-asalan, hasilnya tetap tidak akan maksimal dan akan menjadi penjegal karier di masa depan. Selanjutnya berharap saja, modal copy paste program regenerasi kota ini tidak diikuti copy paste nasib ironi Lee yang berakhir dengan nama buruk dan tinggal di balik jeruji.