”Citayam Fashion Week”, Kembalinya Kota untuk Warga
Mereka tak hanya dari Citayam di Depok, tetapi juga dari tetangga Jakarta lain, seperti Bojonggede di Bogor, Tangerang (Banten), dan Bekasi. Kereta komuter membuka jalan mereka berekspresi di ruang publik Ibu Kota.

Neli Triana, wartawan Kompas
Kawasan Sudirman-Thamrin dengan sekumpulan gedung tinggi berdinding kaca gagah menawan kini menanggung akibat dari berbagai penataan yang dilakukan di sana. Trotoar lebar, taman kota bertebaran, jembatan penyeberangan orang yang Instragramable, sampai kemudahan mengaksesnya dengan berbagai angkutan umum mengundang orang dari pelbagai penjuru Jabodetabek bebas merambahnya.
Fenomena ”Citayam Fashion Week” pun lahir di sana dan membuat publik tercengang.
Bagi yang masih terheran-heran dengan kehebohan ini, bisa merunut kisahnya di media sosial yang kemudian bergulir dengan laporan liputan media massa. Fenomena tersebut meledak ketika beberapa muda-mudi dari komunitas bebas Citayam didapuk menjadi bintang iklan salah satu taman hiburan terbesar yang sahamnya dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Nama Bonge, Jeje, Roy, dan Kurma seketika tenar.
Kehadiran mereka gampang teramati pengguna jalan yang melintasi seputaran Dukuh Atas hingga Bundaran Hotel Indonesia. Dari ruas aspal itu, terlihat ”anak Citayam” ini rata-rata berkelompok lebih dari tiga orang. Bergantian, mereka mengambil gambar dengan kamera ponsel laksana fotografer dan videografer kawakan. Yang tengah difoto atau direkam videonya beraksi bak foto model profesional.
Para komuter KRL Jabodetabek pun mudah mengenali keberadaan mereka saat berada di kereta dari pakaian yang dikenakannya.
Baca juga: Suatu Hari yang Sibuk di Glodok Pancoran

Muda-mudi dari tetangga Jakarta menyemarakkan Ibu Kota dengan pakaian dan aksi mereka seperti terlihat di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (8/7/2022). Aksi ini menyita perhatian publik dan terkenal dengan fenomena Citayam Fashion Week.

Sejumlah remaja berjalan di Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (8/7/2022). Para remaja usia belasan tahun ini berusaha tampil keren dengan mengenakan busana yang mereka anggap menarik.
”Citayam Fashion Week” ini semula semacam olok-olok alias sindiran bagi fenomena kaum muda tetangga Ibu Kota yang menemukan surga berekspresi di tengah belantara gedung jangkung Jakarta.
Namun, mereka tak peduli pada cibiran sebagian orang yang menilai mereka ”ndeso”, ”udik”, bahkan murahan karena yang mereka kenakan dari alas kaki sampai tutup kepala hanya senilai puluhan ribu rupiah dan paling mahal Rp 100.000-Rp 200.000. Mereka percaya diri dengan itu semua. Bahkan, berani memodifikasi dan beradu asyik dengan sesamanya di ruang publik di sekitar Dukuh Atas. Dalam perkembangannya, olok-olok itu justru membuat mereka kian eksis dan diperhitungkan.
Muda-mudi itu tampil mencolok. Padu padan dilakukan sesukanya berikut topi, kacamata hitam, kemeja atau kaus oversized, celana jins belel ditambah sobekan di dengkul atau paha, sepatu sneakers atau sepatu sandal lusuh, bahkan tank-top dibalut jaket lusuh. Ada pula yang tampil cantik rapi dengan rok dan kaus, serta polesan make-up di wajahnya.
Salah satu tempat favorit kaum muda Bodetabek itu taman di dekat Stasiun BNI City dan terowongan pejalan kaki Dukuh Atas. Jejak mereka sering juga ditemukan sampai di sekitar Bundaran HI, bahkan sampai Senayan.
Di trotoar dan taman di pusat Ibu Kota ini, dari sekadar jalan-jalan dan nongkrong atau main skateboard, mereka mengembangkan hobi swafoto dan membuat video pendek untuk ngonten di akun media sosial mereka, seperti Tiktok, Youtube, dan Instagram.

Jalan-jalan, nongkrong, bermain skateboard, sampai adu pemilihan pakaian dan cara berbusana menjadi fenomena muda-mudi dari tetangga Jakarta menyemarakkan Ibu Kota dengan pakaian dan aksi mereka, seperti terlihat di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (8/7/2022). Aksi ini menyita perhatian publik dan terkenal dengan fenomena Citayam Fashion Week.

Fotografer memotret seorang perempuan yang bergaya di sekitar di Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (8/7/2022). Saban sore menjelang senja, kawasan ini selalu ramai dengan hadirnya remaja usia belasan tahun dengan pakaian mencolok dari sejumlah daerah sekitar Jakarta, seperti Citayam, Bogor, dan Depok.
Sebagian dari komunitas ini banyak disebut dari kalangan menengah ke bawah. Ada yang telah putus sekolah dan mengamen untuk mendapatkan uang. Sebagian lagi masih sekolah setara SMP dan SMA.
Di trotoar dan taman di pusat Ibu Kota ini, dari sekadar jalan-jalan dan nongkrong atau main papan seluncur (skateboard), mereka mengembangkan hobi swafoto dan membuat video pendek untuk ngonten di akun media sosial mereka, seperti Tiktok, Youtube, dan Instagram.
Monetisasi hobi itu telah berbuah bagi sebagian kecil anggota komunitas. Bonge, Kurma, Jeje, dan Roy adalah nama-nama beken pelaku komunitas Citayam yang kemudian mulai jadi bintang iklan hingga bintang tamu acara bincang-bincang di Youtube dan di beberapa acara stasiun televisi.
Tetangga dekat Jakarta
Citayam sendiri merujuk kawasan di Depok, Jawa Barat, yang menjadi daerah asal sebagian muda-mudi itu. Namun, selain dari Citayam, anggota komunitas yang terbentuk spontan dan bahkan tak pernah resmi ada ini banyak yang datang dari arah Tangerang Raya sampai Rangkasbitung, Lebak, Banten. Ada pula yang datang dari Bojonggede, Kabupaten Bogor, dan kawasan Bekasi Raya. Pendek kata, anak-anak luar Jakarta. Rata-rata hanya dengan kurang dari Rp 10.000 sekali jalan dengan KRL, mereka bisa sampai ke Dukuh Atas.
Keberadaan mereka makin marak dan fenomenal seiring pandemi Covid-19 melandai dan berbagai pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat dilakukan. Lambat laun, gaya komunitas ”apa adanya” ini juga disebut-sebut diminati warga Ibu Kota yang menemukan rasa senasib dan kecocokkan sehingga berteman dan bermain bersama.
Baca juga: Perihal Pendatang, dari Guido Martinotti hingga Jennifer Lopez

Remaja putri duduk santai percaya diri dengan outfit-nya di Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (8/7/2022).

Sejumlah remaja berjalan bergaya dengan aneka padu padan pakaian di Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (8/7/2022).
Menempuh puluhan kilometer dari daerah asalnya demi sampai di jantung Ibu Kota ini dilakukan kaum muda ini. Kemudahan akses angkutan umum, terutama KRL dan bus Transjakarta, memuluskan kelahiran ”fenomena Citayam” ini lalu membesar.
Taman kota apik dan trotoar lebar yang menyediakan keleluasaan disertai pemandangan modern metropolitan berupa gedung pencakar langit membuat mereka sejenak melepaskan diri dari semua realitas hidup mereka berasal. Sebagai kaum muda yang sedang dalam proses mencari jati diri, di ruang publik inilah mereka eksis, berbagi apa saja dengan sesamanya, menemukan dunianya.
Mendukung aktivitas para ”anak Citayam” itu, ada starling alias tukang kopi keliling bersepeda dengan segala minuman kemasan sampai mi instan dengan harga terjangkau. Hanya perlu mengeluarkan beberapa ribu rupiah saja perut keroncongan dijinakkan. Sensasinya sama dengan sesamanya yang menikmati suasana di tempat lain dengan pengeluaran lebih besar secara rupiah.
Kehadiran kaum muda dengan aktivitasnya yang merebut perhatian publik ini terbukti berdampak pada level ekonomi kota meskipun mungkin angkanya masih kecil. Kondisi tersebut membuka fakta bahwa jika ada dukungan memadai, kaum urban bermodal cekak pun bisa eksis dan berbahagia, menikmati perubahan infrastruktur Ibu Kota.
Baca juga: 1,2 Miliar Warga Dunia Masih Terperangkap Kemiskinan

Remaja bermain skateboard di skatepark kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Minggu (9/4/2019). Ruang terbuka yang dinamai Taman Spot dan Budaya Dukuh Atas yang berlokasi di dekat Stasiun KRL Sudirman ini dilengkapi dengan keberadaan skatepark dan taman untuk interaksi masyarakat.

Sepatu yang dikenakan sejumlah remaja di Taman Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (8/7/2022).
Fenomena ini juga menunjukkan, setelah hampir 20 tahun dengan lima gubernur dan setidaknya dua presiden saling mendukung untuk pembangunan transportasi publik dengan cakupan jaringan luas disertai upaya tak putus memperbanyak ruang publik di ibu kota, Jakarta kini makin manusiawi. Jakarta yang dulu dianggap kota tanpa warga alias dibangun hanya semata membuat nyaman warga berkantong tebal tetapi mengorbankan masyarakat kecil kini mulai mengikis cap buruk itu.
Masyarakat semakin menyadari mereka berhak menikmati fasilitas publik yang modern dan lengkap. Fasilitas itu mulai dari sarana-prasarana transportasi, ruang terbuka, dan tentunya perlu diikuti kian inklusifnya akses pendidikan, kesehatan, hingga hal-hal yang menjadi kepentingan serta kebutuhan bersama, seperti air bersih dan udara bebas polusi.
Pemerintah dan warga ber-KTP Jakarta serta warga kelas menengah ke atas tak perlu bereaksi berlebihan menghadapi fenomena ”anak Citayam” ini. Metropolitan sekelas Jakarta memang tak lagi hanya milik warga ber-KTP setempat, tetapi harus siap melayani siapa pun yang melintas dan beraktivitas rutin di kota ini meskipun tidak tinggal menetap.
Kembalinya kota sebagai milik semua warga ini justru dapat menjadi ajang untuk mengedukasi publik bagaimana menjadi kaum urban beradab dan mendukung pembangunan kota berkelanjutan. Soal kritik ”anak Citayam” merokok dan buang sampah sembarangan sembari mengokupasi ruang publik, misalnya, mengapa tidak ditanggapi dengan penegakan aturan ketertiban umum dengan sosialisasi ramah tetapi tegas oleh aparat terkait, seperti Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI.
Baca juga: Wajah Gentrifikasi di Seputaran Sarinah
Jakarta dengan berbagai kebijakan yang terkait kepentingan publik, seperti transportasi dan ruang terbuka, telah menjadi laboratorium hidup sekaligus patokan arah pembangunan perkotaan di seantero Nusantara. Fenomena ”anak Citayam” ini seharusnya menggedor kesadaran Pemprov DKI untuk membuat semua penjuru kotanya ramah pada setiap orang tanpa melanggar aturan. Demikian juga daerah anglomerasi Bodetabek sepatutnya turut tergerak dengan bergegas mendandani kawasannya dan merangkul warganya untuk menjadi subyek pembangunan.
Jangan lupa pula, kaum muda seperti komunitas Citayam ini melek digital dan piawai mengelola kegaduhan di dunia maya dan nyata. Mereka kelak bakal menjadi pemilih muda yang jumlahnya di tiap daerah cukup besar. Jadi, mengapa tidak menjajal peruntungan menelurkan kebijakan pembangunan yang merespons kebutuhan kaum muda? Tempat di mana mereka menemukan kesenangan pasti pamornya akan terkerek moncer, begitupun pemimpin-pemimpin di kota itu.
Momentum yang tercipta lewat fenomena ”Citayam Fashion Week” saat ini sayang jika dilewatkan begitu saja. Setiap warga memiliki hak yang sama memperoleh perhatian pengelola kota dan menikmati kota yang ramah. Siapa pun dia boleh berbangga menjadi bagian dari kota yang berpihak kepada warganya.
Baca juga: Catatan Urban