Perihal Pendatang, dari Guido Martinotti hingga Jennifer Lopez
Sosiolog Guido Martinotti hingga artis Jennifer Lopez tak lelah mengingatkan, bagi setiap kota, pendatang adalah keniscayaan. Sebagai organisme dinamis, kota dipadati populasi sementara maupun tetap yang selalu bergerak.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
Mengenakan jubah bermotif bendera Amerika Serikat dan Puerto Rico, penampilan Jennifer Lopez di Super Bowl pada Februari 2020 menjadi penyebar pesan bahwa kota juga negara sulit sukses tanpa campur tangan warga pendatang. Bertahun-tahun sebelumnya, sosiolog urban Guido Martinotti menilai, pemahaman kota hanya milik orang setempat itu sudah ketinggalan zaman.
Istilah ada gula ada semut masih berlaku dan relevan menjelaskan mengapa suatu kota besar yang sarat dengan kemajuan dan kekayaan ekonomi, pendidikan, sejarah, kultural, dan lainnya selalu dapat menarik, menyedot lebih banyak orang untuk datang.
Martinotti berpendapat bahwa kota dengan semua kekayaannya adalah organisme dinamis dan semakin tak terbatas oleh derasnya arus informasi dan mobilitas spasial. Untuk memahami suatu kota, penting mengetahui bagaimana dan mengapa pengguna kota bergerak di dalam kota dan antarkota. Pengguna kota merujuk pada penduduk tetap maupun populasi sementara yang beraktivitas di area urban tersebut.
Dalam jurnal yang ditulis oleh sesama peneliti urban, Nicolò Costa, dipaparkan studi tentang pengguna kota awalnya dipicu ketertarikan pada aktivitas wisatawan di kota-kota, seperti kampung halaman Martinotti di Italia.
Merespons pendatang sebagai pengguna kota yang berhak dilayani dan diberi kesempatan setara akan menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan apa yang dia definisikan sebagai ”masyarakat yang baik”.
Semakin dipelajari, Martinotti melihat pengguna kota sementara tak hanya wisatawan, tetapi meliputi banyak aktivitas berbeda termasuk berbisnis atau kegiatan ekonomi lainnya. Bicara kegiatan ekonomi, tentunya tidak hanya sebatas yang melibatkan modal besar, tetapi juga usaha kecil bahkan mikro. Jika di pelataran Menara Eiffel di Paris, Perancis, biasa ditemui penjaja perhiasan seperti gelang murah meriah, hal serupa ditemukan di Kota Tua, Jakarta, dalam bentuk gelaran pedagang kaki lima sampai penjual gorengan.
Profesor di State University of Milan dan State University of Milano Bicocca di Italia ini menyarankan agar pergerakan pengguna kota dipelajari terus menerus secara periodik. Semakin modern, pergerakan pengguna kota makin cair dan membuat batas kota kian keropos. Antarkota dan kawasan sekitarnya tanpa disadari disatukan oleh jalinan laju bolak balik para komuter. Dari sana muncul kawasan aglomerasi yang menjadi kekuatan ekonomi baru.
Secara eksplisit, tulis Costa, Martinotti menyimpulkan semua pengguna sementara maupun warga tetap suatu kota ditentukan pula oleh layanan maupun kesempatan yang ditawarkan suatu kota.
Si A, lulusan SD dari Cirebon, Jawa Barat, misalnya, tidak akan menjadi penjual gorengan atau badut jalanan di Jakarta jika tidak ada iming-iming pendapatan lebih besar dibandingkan jadi buruh tani di daerah asalnya. Demikian pula B, sarjana dari Semarang, Jawa Tengah, yang berani ke Jakarta karena ada kesempatan menjadi pegawai perusahaan raksasa bergaji lebih tinggi dari standar upah di kotanya.
Di sisi lain, ada contoh C dengan latar belakang suku, agama, dan rasnya memilih menetap di ibu kota, karena dinilai lebih egaliter sehingga dapat menerima berbagai perbedaan daripada beberapa kawasan lain di negeri ini.
Dengan informasi ini, administrator publik seharusnya makin memahami kota seperti apakah dirinya. Hal tersebut menjadi dasar untuk melakukan intervensi meningkatkan keramahannya dalam melayani setiap pengguna kota dengan efisiensi manajerial yang lebih besar. Ketakutan bahwa pendatang akan menimbulkan masalah dapat ditepis karena ada banyak penelitian yang menunjukkan fakta berbeda.
Satu di antaranya, dari hasil riset G Pascal Zachary (2006), diketahui masuknya pendatang atau imigran memang memberi tekanan pada kota-kota penerima dan menambah biaya terutama biaya fiskal yang menjadi beban pemerintah daerah, seperti untuk layanan pendidikan, kesehatan, dan permukiman. Akan tetapi, ada keuntungan yang diperoleh dari imigran, yaitu meningkatnya konsumsi domestik dan menambah ketersediaan tenaga kerja.
Merujuk pada studi lengkap Dewan Riset Nasional Amerika Serikat, Zachary memaparkan, pada 1997 AS mengalami keuntungan positif yang signifikan dari gelombang imigran yang masuk ke negara itu. Memang ada kerugian ekonomi, terutama bagi warga daerah tujuan imigran yang berketerampilan rendah. Namun, bahkan dalam kelompok ini, kerugian yang ditimbulkan terbilang kecil.
Penelitian selama 1900-an sampai awal 2000, arus imigran ke kota-kota di AS menjadi salah satu pendorong utama dalam menghidupkan kembali kawasan urban yang menurun dan meningkatkan vitalitas kota yang telah sukses. Dengan penyebaran pinggiran kota di sekitar negara adidaya itu disimpulkan bahwa tanpa arus masuk orang non-Amerika, kota-kota seperti New York, Los Angeles, San Francisco, Atlanta, Houston, pasti akan mengalami stagnasi. Bahkan, lebih buruk.
Di Jakarta, sesuai data BPS DKI, pada 2021, perekonomian ibu kota tumbuh ekspansif sebesar 3,56 persen setelah tahun sebelumnya terkontraksi 2,39 persen. Jakarta termasuk yang pertumbuhan ekonominya terbaik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia di masa pandemi ini.
Banyaknya penduduk Jakarta yang mencapai lebih dari 10 juta jiwa dan banyak yang berkecimpung di sektor jasa, membuat ekonomi kota ini terselamatkan. Jutaan penduduk yang lebih dari 60 persennya bukan suku Betawi atau warga asli Jakarta, berjibaku dengan berbagai aktivitas ekonomi berhasil menunjukkan kinerja positif, terutama di lapangan usaha transportasi dan pergudangan, industri pengolahan, serta akomodasi dan makan minum.
Jennifer Lopez yang adalah artis, penari, dan penyanyi AS berdarah Puerto Rico mengusung pemahaman yang sama tentang betapa berharganya para pendatang. Selain berkampanye dalam aksinya panggung, seperti di laga final sepak bola AS Superbowl pada 2020 lalu itu, ia memelopori pemberdayaan kelompok-kelompok minoritas keturunan Latin, kulit hitam, juga Asia di AS sembari menggandeng perusahaan-perusahaan besar di sana. Harapannya, organisasi pemerintah juga akan berbenah dan melayani pendatang sebagai sesama pengguna kota.
Kota-kota seperti Jakarta yang merasa tidak berdaya menjangkau sebagian warga miskinnya karena mereka tidak ber-KTP setempat, perlu banyak berkaca pada Martinotti, Zachary, maupun aksi Lopez. Merujuk lagi pada Martinotti, merespons pendatang sebagai pengguna kota yang sama-sama berhak dilayani dan diberi kesempatan setara akan menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan untuk mewujudkan apa yang dia definisikan sebagai ”masyarakat yang baik”.