Wajah Gentrifikasi di Seputaran Sarinah
Gentrifikasi memicu pro dan kontra sejak Ruth Glass mengenalkan istilah itu pada 1964. Fenomena gentrifikasi ada di seluruh dunia, termasuk di Jakarta, seperti yang terjadi di seputaran Sarinah.
Sarinah pascarevitalisasi berhasil menyedot orang terus bertandang ke sana. Pusat perbelanjaan modern pertama di Indonesia yang kembali molek itu hanyalah satu sisi perubahan wajah di jantung Jakarta. Namun, tak semua ikon di kawasan tersebut berubah menjadi semenarik Sarinah. Ada Jalan Sabang yang masih eksis dengan kesemrawutannya. Ada juga Jalan Jaksa yang kehilangan roh sebagai kampung ekspatriat yang merakyat, tempat para pelancong asing menikmati keseharian khas warga Ibu Kota.
Sarinah baru memanjakan pengguna angkutan umum dengan lokasinya yang dekat halte Transjakarta. Orang tinggal turun bus dan mudah saja menyusuri trotoar di sekeliling pusat belanja berusia 60 tahun yang kini ditata nyaman untuk bisa diakses siapa saja itu.
Pengguna kendaraan pribadi bakal menemui tempat parkir baru di halaman dan gedung bertingkat lagi sempit yang tak mudah untuk bermanuver naik turun tingkat. Lahan parkir ini sering kewalahan menampung aliran deras pengunjung ke sana. Meskipun tempat parkir yang sekarang ini secara fisik telah jauh lebih baik, tetapi sedikit banyak mengingatkan pada Sarinah lama dengan lahan parkir yang dulu terkesan sangat ala kadarnya.
Tempat nongkrong yang cukup ramah bagi kantong para pekerja kantoran dengan berbagai lapisan pendapatan di kawasan Sudirman-Thamrin masih tersedia di Sarinah. Fakta melegakan, mengingat inilah kekhasan Sarinah sejak dulu dan layak dipertahankan. Yang berbeda dan tampak menonjol adalah restoran ataupun kafe di sana rata-rata jenama baru. Usaha serupa yang dulu sempat bertahun-tahun menjadi ikon Sarinah tak lagi bercokol di sana.
Baca juga : Melihat Lebih Dekat Fenomena ”Kota Hantu”
Kebijakan pembangunan kembali suatu gedung atau kawasan tertentu memang sudah biasa diiringi dengan sistem pengelolaan yang juga berubah. Kemudian, disusul hadirnya penghuni baru dengan buntut hengkangnya penghuni lama. Tak diketahui ke mana perginya tempat karaoke, restoran cepat saji yang menawarkan menu-menu terjangkau, dan usaha-usaha lain di Sarinah semasa sebelum renovasi.
Yang terjadi di Sarinah menunjukkan kedekatan dengan ciri dari fenomena gentrifikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, gentrifikasi berarti imigrasi penduduk kelas ekonomi menengah ke wilayah kota yang buruk keadaannya atau yang baru saja diperbarui dan dipermodern. Arti lainnya adalah proses, cara, perbuatan merenovasi lingkungan lama menjadi lingkungan yang lebih sejahtera, misalnya dengan memperbarui model bangunan.
Gentrifikasi sendiri adalah istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Ruth Glass. Dalam bukunya, London: Aspects of Change, sosiolog dan urbanis Inggris kelahiran Jerman itu menelurkan kata gentrifikasi untuk menggambarkan hasil pergerakan dan pergeseran demografis dalam lingkungan perkotaan.
Awalnya, Glass melihat ada perubahan struktur sosial yang berkaitan dengan perubahan pola perumahan di kota London. Ia kemudian menemukan ada fenomena penguasaan kawasan permukiman masyarakat miskin oleh kaum bangsawan di sana. Kawasan yang biasanya berasosiasi dengan daerah kumuh itu lantas dibangun dan ditata ulang, lalu bersalin rupa menjadi tempat tinggal kaum berpunya. Penghuni lawas tersingkir ke kawasan lain atau bahkan ke luar kota, karena harga sewa atau harga beli unit usaha ataupun tempat tinggal baru di kawasan sasaran peremajaan telah melambung tinggi di luar kemampuan mereka.
Indonesia termasuk negara dengan kesenjangan sosial tertinggi di Asia. Salah satu faktor penyebab kesenjangan itu diyakini adalah gentrifikasi yang semakin signifikan terjadi di kawasan perkotaan Indonesia.
Dari riset Glass itu, peneliti lain kemudian mengenali pula bahwa fenomena gentrifikasi terjadi di seluruh dunia. Secara umum, ciri fenomena ini adalah berpindahnya orang atau keluarga atau pihak yang relatif lebih makmur dan berpendidikan ke lingkungan yang secara historis ditempati oleh warga berpenghasilan rendah dan sering kali minoritas.
Dilihat dari nilai suatu kawasan, gentrifikasi sepintas menunjukkan implikasi positif. Masuk dan menetapnya kelas menengah ke atas serta berpendidikan ditargetkan mampu mengubah karakteristik lokasi tersebut menjadi positif. Bertiupnya napas kehidupan dengan hadirnya kawasan komersial baru makin mendongkrak perputaran ekonomi di sana. Kasatmata, fisik area yang semua buruk bahkan membusuk karena tak tersentuh renovasi bertahun-tahun berubah menjadi jauh lebih baik.
Namun, perubahan apa pun tentu tidak berdampak pada satu aspek saja, tetapi pada multiaspek kehidupan. Ichlas Nanang Afandi dalam jurnalnya, "Psychosocial Effect of Gentrification in Indonesia" (2018), menyatakan, berdasarkan laporan Allianz pada 2015 saja, Indonesia termasuk negara dengan kesenjangan sosial tertinggi di Asia. Salah satu faktor penyebab kesenjangan itu diyakini adalah gentrifikasi yang semakin signifikan terjadi di kawasan perkotaan Indonesia.
Gentrifikasi menurut psikolog dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, itu ternyata tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek psikososial, seperti perubahan pola dan orientasi hubungan sosial, penurunan tingkat kesejahteraan individu, peningkatan kriminalitas, hingga potensi konflik sosial yang semakin tinggi.
Mengutip laporan riset peneliti lain dari sejumlah negara, Afandi menyimpulkan bahwa dampak buruk gentrifikasi di antaranya masyarakat yang tercerabut dari tempat tinggal maupun tempat usahanya karena pembangunan, banyak yang tidak dapat merasakan akibat positif dari kebijakan tersebut. Ketika dipaksa pindah, mereka terputus dari lingkungan yang selama ini dikenalnya dan membuatnya merasa sendiri, tidak aman, dan secara ekonomi terganggu.
Baca juga : Cara Hidup Perkotaan yang Khas dan Melenakan
Korban gentrifikasi tersebut pada akhirnya juga bisa mengalami kesulitan dalam proses menjalani pendidikan formal. Kondisi itu pun berpotensi berpengaruh pada kesehatannya. Hal ini dijelaskan dengan mudah secara visual oleh Urban Displacement Project dalam kanal Youtube-nya.
Jadi, apakah gentrifikasi lebih berkonotasi negatif daripada positif? Lagi-lagi ini kembali dari sudut pandang mana melihatnya dan keberpihakan kepada pihak yang mana.
Sebuah kawasan ataupun kota yang menerapkan gentrifikasi masif secara nyata akan berganti rupa menjadi daerah dengan pembangunan berderap di sana-sini. Perkantoran, mal, apartemen, dan perumahan mahal, juga kafe ataupun restoran berkelas, bertebaran di mana-mana. Kondisi tersebut menyerap tenaga kerja mulai dari petugas kebersihan sampai direktur perusahaan ataupun kelas pedagang kaki lima sampai pemilik perusahaan raksasa.
Baca juga : Kisah Lebaran Rasdullah Si Tukang Becak Calon Gubernur
Pekerja atau pengusaha mikro yang tak mampu mengakses tempat tinggal di sana bakal dipaksa menyingkir ke daerah lain dengan jarak hingga puluhan kilometer dari tempatnya bekerja. Kalaupun bertahan tinggal di tempat kerja, mereka akan terjebak di kawasan kumuh yang sementara waktu ini masih belum tersentuh gentrifikasi.
Kembali ke Sarinah dan juga kawasan di sekitarnya, sepintas dikenali ada ciri gentrifikasi yang terjadi di sana.
Sedikit bergeser sejauh 500 meter dari Sarinah ke arah Kebon Sirih, misalnya, akan ditemukan pusat wisata kuliner kawasan Sabang atau Jalan Agus Salim yang kondang sejak puluhan tahun lalu. Terkesan abai dengan potensi Sabang, pemerintah daerah tampak setengah hati menata kawasan tersebut. Saran banyak pihak dan ahli perkotaan untuk menjadikan Sabang area khusus pejalan kaki serta pusat wisata kuliner belum juga diakomodasi dengan baik.
Bertahun-tahun terakhir, penataan Sabang baru berkutat pada tataran rencana penataan pedagang kaki lima (PKL) dan parkir kendaraan. Kondisi trotoar dan kawasan itu secara umum tak tertata apik, cenderung semrawut. Meskipun demikian, terlihat mulai ada perubahan dalam beberapa tahun terakhir. Toko-toko lama sebagian telah menjadi gedung baru yang difungsikan sebagai hotel, kafe, restoran, apartemen, dan tempat bisnis lain.
Masih di kawasan Kebon Sirih, bergeser lagi sekitar 1 kilometer dari Sabang, Jalan Jaksa yang sempat menjadi tujuan utama turis asing dan para ekspatriat kini sepi dan nelangsa. Wisatawan tak lagi mampir ke sana. Kafe-kafe yang dulu berderet dan ramai kini tiada lagi.
Sebelumnya, Festival Jalan Jaksa rutin digelar tiap tahun untuk merayakan geliat pelesiran, juga pembauran antara warga asing dan masyarakat setempat. Ruas jalan yang berseberangan dengan kompleks Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI tersebut dulu dipenuhi penginapan murah, kafe, dan tempat makan sekaligus pusat hiburan malam.
Baca juga : Jurnalisme Urban untuk 7,9 Miliar Penduduk Bumi
Namun, dampak serangan teroris yang menargetkan warga asing di Indonesia dalam 20 tahun terakhir, termasuk yang terjadi di Sarinah pada 2016 silam, juga krisis moneter akhir tahun 1990-an yang diikuti peralihan kepemilikan dan peruntukan sejumlah penginapan (homestay), terus mengikis gelombang turis asing kembali ke Jalan Jaksa. Satu per satu penginapan ataupun kafe berguguran, gulung tikar.
Pandemi Covid-19 dua tahun terakhir menambah berat bisnis wisata di Jalan Jaksa. Tak heran jika paras Jalan Jaksa perlahan berubah. Apalagi ketika penguasaan lahan berpindah. Sekarang ini, setiap kali menelusuri Jalan Jaksa, hanya tersisa sedikit kafe dan warung makan. Yang terlihat kemudian mulai ada proyek pembangunan gedung tinggi tengah berlangsung di sana.
Gentrifikasi sepertinya berproses lamban namun pasti di Sarinah, Sabang, dan Jalan Jaksa. Perubahan beserta dampak baik dan buruknya bagi Jakarta dan warganya akan dipanen bersama. Saat ini ataupun di masa datang.
Baca juga : Catatan Urban