1,2 Miliar Warga Dunia Masih Terperangkap Kemiskinan
Pandemi membuat 1,2 miliar orang di belahan dunia selatan terperangkap kemiskinan. Di belahan bumi utara, tunawisma bertambah. Ketimpangan hingga meningkatnya kekerasan jalanan bagian dari dampak kondisi tersebut.
Oleh
NELI TRIANA
·5 menit baca
Saat harapan masyarakat dunia melambung seiring pandemi Covid-19 yang disebut makin dapat dikendalikan, Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa pada April lalu mengingatkan, ada 1,2 miliar orang di belahan dunia Selatan yang terdampak pandemi dan hidup dalam kondisi buruk, berjejalan di permukiman kumuh. Tak jauh berbeda meskipun dalam jumlah lebih kecil, jumlah tunawisma di belahan bumi Utara juga disebut-sebut meningkat.
Belahan dunia Selatan mengacu pada pengelompokan non-negara Barat. Negara-negara Utara mengacu pada pengelompokan negara-negara maju yang juga disebut negara Barat. Sebagai bagian dari bangsa-bangsa di belahan dunia Selatan, kemiskinan dan ketimpangan juga masih menjadi isu besar di Indonesia. Seperti halnya pernyataan PBB, peningkatan kemiskinan sebagai dampak langsung ataupun tidak langsung dari pandemi dirasakan di semua daerah, khususnya di perkotaan tempat konsentrasi penduduk dunia kini berada, termasuk di Indonesia.
Di Jakarta, kondisi tersebut sudah tampak di jalanan. Saat melintasi kawasan Senayan di Jakarta Pusat, di antara dua pusat belanja yang mewakili kesejahteraan hidup, akan terlihat sekelompok orang terdiri atas lima laki-laki dan perempuan dewasa bergantian bertugas menjadi ”polisi cepek”. Mereka menjadi pengatur arus lalu lintas dadakan demi mendapatkan recehan rupiah dari para pengguna jalan.
Agenda Perkotaan Baru harus memandu upaya kita untuk mengatasi ketidaksetaraan akibat urbanisasi, baik di negara berkembang ataupun negara maju. (Abdulla Shahid).
Di tempat lain di Ibu Kota, tren manusia silver berganti dengan manusia badut dan manusia boneka. Berganti ”kostum”, upaya mereka menggelandang di jalanan sama-sama untuk mengais rezeki. Keberadaan mereka dari menjelang siang hingga lewat tengah malam. Bahkan, tak jarang di antaranya yang menggendong atau menggandeng bocah sambil melangkah lesu.
Selain mencari remah-remah rezeki halal di jalan, dampak lain dari meningkatnya kemiskinan adalah maraknya kejahatan yang meresahkan publik. Di media sosial, hampir setiap hari berita kejahatan jalanan mengejutkan warganet. Namun, kengerian sesungguhnya dirasakan di dunia nyata saat warga mau tak mau rutin melewati ruas aspal yang sama maupun harus mengais rezeki di sekitar jalan tersebut yang menjadi tempat favorit para penjahat beraksi.
Tengok saja viral rekaman kamera pemantau yang memperlihatkan empat penjahat mengendarai sepeda motor lalu berhenti di depan warung nasi goreng di Jalan Sultan Agung, Medan Satria, Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (8/6/2022) malam. Laporan Warta Kota menyebutkan, dua pelaku yang bersenjata tajam lantas turun mengancam pedagang dan pelanggannya yang tengah bersantap di tepi jalan itu. Perampok merampas telepon seluler serta uang tunai para korbannya.
Penjahat jalanan kini tak lagi menyasar korban di tempat-tempat sepi. Mereka makin terbiasa beraksi berkelompok dan menyerang lokasi-lokasi yang cukup ramai. Dari berbagai pemberitaan, kejadian serupa pernah terjadi pada September 2019 di sebuah rumah makan yang menyediakan santapan gratis bagi orang-orang yang membutuhkan di Gunung Putri, Kabupaten Bogor.
Sepanjang 2019 sampai sekarang, kejahatan yang menyasar masyarakat ”kecil” dengan pelaku diyakini dari kelas sosial sama, terus terjadi. Silih berganti dunia maya menyuguhkan pencurian atau perampasan telepon seluler ataupun barang kebutuhan pokok di kios atau warung di pinggir jalan.
Aksi miris lainnya adalah ulah sekelompok remaja yang menghadang truk di tengah jalan. Sosiolog menduga, selain berupaya menunjukkan eksistensi diri dan kelompok, rekaman penghadangan truk yang diunggah ke media sosial juga bermotif ekonomi. Apalagi banyak iming-iming dari orang-orang tertentu yang mengaku mendapat uang berlimpah setelah video kreasi mereka viral di media sosial.
Akan tetapi, apakah benar kekerasan dan kejahatan meningkat seiring bertambahnya tingkat kemiskinan?
Selama pandemi, Polda Metro Jaya mengklaim bahwa kejahatan, termasuk kejahatan jalanan, menurun angkanya. Akan tetapi, diakui dan fakta menunjukkan kasus-kasus yang meresahkan publik masih terus terjadi. Sementara di Banten, sepanjang Agustus 2021, polda setempat mengakui ada kenaikan kasus kejahatan seperti pencurian dengan pemberatan atau perampokan, penipuan, dan penyalahgunaan narkoba.
Survei dwitahunan The Economist Intelligence Unit terhadap 60 kota di dunia yang dipublikasikan pada Agustus 2021 menempatkan Jakarta pada peringkat ke-46 Indeks Kota Aman 2021 dengan skor 56,4 dari skor maksimal 100. Posisi tersebut cukup baik mengingat tahun 2019 Jakarta ada di peringkat ke-53.
Pada 2022 ini, meskipun perekonomian membaik dan mengikis angka kemiskinan, tetapi pertumbuhannya masih lambat.
Ada beberapa jenis keamanan yang dinilai. Peringkat tertinggi Jakarta tahun lalu adalah pada sisi keamanan lingkungan dengan angka 30 dan skor 73,8. Peringkat di atas rata-rata itu mengukur penggunaan energi berkelanjutan, kualitas air, tingkat kemudahan mendapatkan air, luas tutupan hutan kota, dan tingkat sampah yang dihasilkan.
Namun, Jakarta mendapat skor rendah pada indikator keamanan pribadi, yaitu 47,6 atau peringkat ke 52 yang berarti turun jauh dari posisi ke-43 pada 2019. Indikator penilaian keamanan pribadi di antaranya naiknya kejahatan ringan, terorganisasi, dan dengan kekerasan. Keamanan pribadi ini dinilai pula dari faktor ketidaksetaraan pendapatan dan jumlah penduduk dalam ketidakstabilan pekerjaan.
Laporan Litbang Kompas berdasarkan data Badan Pusat Statistik, dari 2019 ke 2021, angka garis kemiskinan di wilayah perkotaan Indonesia meningkat 9,7 persen dari Rp 458.380 per kapita per bulan menjadi Rp 502.730 per kapita per bulan. Sementara garis kemiskinan di wilayah perdesaan pada periode yang sama naik lebih tinggi, yakni 11 persen, dari Rp 418.515 per kapita per bulan menjadi Rp 464.474 per kapita per bulan.
Hingga 2021, jumlah penduduk miskin di perkotaan tercatat sebanyak 11,8 juta orang, sudah turun 3 persen dari kondisi tertinggi tahun sebelumnya. Angka pada 2020 menunjukkan jumlah penduduk miskin terbanyak di Pulau Jawa, yaitu di Jawa Timur (4,5 juta orang), Jawa Barat (4,2 juta orang), dan Jawa Tengah (4,1 juta orang). Di DKI Jakarta, jumlah penduduk miskin kurang dari 500.000 orang dari total sekitar 10,56 juta penduduknya.
Pada 2022 ini, meskipun perekonomian membaik dan mengikis angka kemiskinan, tetapi pertumbuhannya masih lambat. Tidak dapat pula dipastikan pertumbuhan ekonomi global, nasional, maupun lokal dapat berdampak langsung mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin.
Hal ini karena berbagai program stimulasi pendongkrak perekonomian serta berbagai bantuan terkadang justru lebih menjangkau para pemodal dan kelas menengah daripada warga yang betul-betul miskin. Sebagian warga miskin biasanya memiliki masalah kependudukan, yaitu tidak punya kartu identitas resmi sebagai penduduk kota tertentu meskipun ia telah bertahun-tahun menetap di sana. Isu soal identitas ini menyebabkan mereka sulit mengakses fasilitas kesehatan dan pendidikan gratis, juga bantuan lain.
Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pun melihat masalah ini terus menggerogoti kehidupan masyarakat miskin dunia. Oleh karena itu, diskusi terkini tentang jaminan untuk dapat mengakses kehidupan yang lebih baik bagi mereka, seperti fasilitas perumahan dan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan serta berpihak pada kaum miskin, terus bergulir.
”Agenda Perkotaan Baru harus memandu upaya kita untuk mengatasi ketidaksetaraan akibat urbanisasi, baik di negara berkembang maupun negara maju,” kata Presiden Majelis Umum PBB (General Assembly President) Abdulla Shahid yang berasal dari Maladewa dalam diskusi di Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, akhir April 2022.
Menurut dia, fokus pada masalah ini membutuhkan mobilisasi jutaan profesional dari seluruh dunia untuk bekerja dalam kemitraan dengan negara-negara anggota PBB dan pemangku kepentingan lainnya. Jika itu dilakukan, baru akan muncul harapan mengentaskan kemiskinan di masa pandemi dan paskanya nanti, baik di tingkat lokal, regional dan global.
Disebutkan pula bahwa saat ini sudah banyak instrumen berkembang di semua negara yang dapat mendukung program pengentasan warga dari kemiskinan tersebut. Di Indonesia juga dunia, mata publik makin terbuka atas kemiskinan dan ketimpangan sesamanya yang berujung bangkitnya serta terus meningkatnya gelombang gerakan solidaritas sosial.
Selain itu, kini semakin banyak teknologi informasi maupun teknologi sederhana yang mudah digunakan hingga di daerah pelosok untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan menggalang maupun menyalurkan bantuan.
Ekonomi sirkular yang ramah lingkungan dan bertujuan merangkul semua orang/pihak, terutama yang kekurangan, pun mulai diterima dan diadopsi di tingkat komunitas sampai level pemerintah daerah juga nasional.
Benih baik tersebut butuh dipupuk dan dijaga kesuburan pertumbuhannya dengan secara bersamaan terus mengikis syahwat penguasa maupun pemodal yang hanya ingin memperkaya diri serta melanggengkan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Jika benih baik untuk sejahtera bersama itu tumbuh dan mewujud, mengentaskan 1,2 miliar warga miskin bukanlah hal sulit.