Wajah Kemiskinan Pulau Jawa di Masa Pandemi
Jumlah penduduk miskin di Jawa pada awal pandemi paling banyak bertambah dibandingkan pulau lain. Sebuah ironi karena kemiskinan terjadi di wilayah yang menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi nasional.

Jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa pada awal pandemi paling banyak bertambah dibandingkan pulau-pulau lain. Pulau yang dihuni oleh lebih dari separuh dari total penduduk Indonesia ini (56 persen) menampilkan ironi. Hal itu karena kemiskinan terjadi di wilayah yang menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi nasional.
Secara nasional, jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2020 bertambah sebanyak 2,76 juta orang dibandingkan tahun 2019. Penambahan terbesar disumbang oleh penduduk di Pulau Jawa sebanyak hampir 2,2 juta orang atau 79,5 persen dari total penambahan.
Penduduk miskin di Pulau Jawa tahun 2020 sebanyak 53,55 persen dari total nasional.
Secara persentase, penduduk miskin di Pulau Jawa tahun 2020 sebanyak 53,55 persen dari total nasional. Angka ini naik sekitar tiga persen dibandingkan tahun sebelumnya. Di pulau lain, angka kemiskinan juga bertambah, tetapi tidak signifikan sehingga secara persentase angkanya justru menurun akibat kenaikan yang sangat signifikan di Pulau Jawa.
Jika dilihat per provinsi, jumlah penduduk miskin terbanyak di Pulau Jawa pada awal pandemi tersebut secara berturut-turut ada di Jawa Timur (4,5 juta orang), Jawa Barat (4,2 juta orang), dan Jawa Tengah (4,1 juta orang). Di DKI Jakarta, jumlah penduduk miskin kurang dari 500.000 orang.

Di tahun kedua pandemi atau tahun 2021, jumlah penduduk miskin secara nasional berkurang sekitar 1 juta orang. Di Jawa angkanya berkurang sekitar 728.000 sehingga persentasenya juga turun menjadi 52,91 persen. Mulai pulihnya perekonomian sejak triwulan kedua 2021 dapat menahan laju penambahan jumlah orang miskin.
Akan tetapi, penduduk miskin di wilayah Maluku-Papua masih bertambah secara nominal dan persentase. Di gugus pulau ini angka kemiskinan bertambah 1,46 persen pada 2020 dan naik lagi 0,3 persen pada 2021.
Jumlah kemiskinan yang terbanyak di Pulau Jawa ini menjadi ironi.
Jumlah kemiskinan yang terbanyak di Pulau Jawa ini menjadi ironi. Pasalnya, provinsi-provinsi di Jawa ini terbilang maju dan menjadi penyumbang terbesar pada struktur perekonomian nasional.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan provinsi-provinsi di Pulau Jawa masih mendominasi struktur perekonomian Indonesia secara spasial pada tahun 2021 dengan kontribusi sebesar 57,89 persen. Perputaran uang akibat gerak ekonomi di tanah Jawa ini lebih dari Rp 9.824,3 triliun.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F08%2F09%2F9dbdb6d6-505b-4e97-b87a-cdb7e27ac476_jpg.jpg)
Pemulung mengumpulkan rongsokan di samping gerobaknya di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur, Minggu (9/8/2020). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terakhir kali ekonomi Indonesia tumbuh negatif pada triwulan I-1999, yakni minus 6,13 persen, sedangkan pada triwulan II-2020, perekonomian Indonesia tumbuh minus 5,32 persen secara tahunan. Pada Maret 2020, ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia.
Pada tahun 2021, pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa tercatat 3,66 persen dan bergerak naik menjadi 5,07 persen pada triwulan pertama tahun ini. Angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Di tingkat provinsi, pertumbuhan ekonomi tertinggi di Pulau Jawa dialami oleh DI Yogyakarta dengan angka 5,53 persen. Di tiga provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak, yakni Jatim, Jabar, dan Jateng, pertumbuhan ekonominya di bawah 4 persen. Jateng menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi terendah di Pulau Jawa pada tahun 2021, yakni 3,32 persen.
Pertumbuhan ekonomi tertinggi dialami oleh gugus Maluku-Papua yang mencapai 10 persen pada tahun 2021, bahkan pada triwulan pertama tahun ini. Namun, angka kemiskinan masih bertambah di wilayah tersebut.
Baca juga : Inflasi, Ancaman Kemiskinan Kembali ke Dua Digit
Disrupsi pandemi
Pandemi telah mendisrupsi penurunan angka kemiskinan. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga secara global. Kehilangan pekerjaan, penurunan penghasilan, berhentinya operasional pekerjaan telah memperburuk kondisi rumah tangga yang berada di ambang garis kemiskinan.
Pekerja di sektor informal atau yang berupah rendah, terutama yang hidup di wilayah perkotaan dengan tingkat inflasi lebih tinggi, adalah yang paling buruk terdampak pandemi. Tingkat kesejahteraan pun semakin timpang. Angka garis kemiskinan terus meningkat.

Dalam dua tahun, dari 2019 ke 2021, angka garis kemiskinan di wilayah perkotaan meningkat 9,7 persen dari Rp 458.380 per kapita per bulan menjadi Rp 502.730 per kapita per bulan. Sementara garis kemiskinan di wilayah perdesaan pada periode yang sama naik lebih tinggi, yakni 11 persen, dari Rp 418.515 per kapita per bulan menjadi Rp 464.474 per kapita per bulan.
Hingga 2021, jumlah penduduk miskin di perkotaan tercatat sebanyak 11,8 juta orang, sudah turun 3 persen dari kondisi tertinggi tahun sebelumnya. Sementara jumlah penduduk miskin di perdesaan lebih banyak, yaitu 14,6 juta orang, meskipun jumlah ini pun sudah turun 5,6 persen dibandingkan kondisi tertinggi tahun sebelumnya.
Dalam dua tahun, dari 2019 ke 2021, angka garis kemiskinan di wilayah perkotaan meningkat 9,7 persen.
Penduduk miskin perkotaan paling banyak terdapat di Jabar yang berjumlah hampir 3 juta orang, disusul oleh Jateng dengan jumlah 1,8 juta orang. Sementara penduduk miskin di wilayah perdesaan terbanyak terdapat di Jatim sebanyak 2,5 juta orang, disusul oleh Jateng dengan jumlah 2 juta orang.
Pendidikan dan status pekerjaan kepala keluarga menjadi penentu suatu rumah tangga lolos dari jerat kemiskinan. Dari data BPS tahun 2021 terlihat bahwa rumah tangga miskin di Indonesia bercirikan kepala rumah tangga yang mayoritas memiliki tingkat pendidikan hanya sampai lulus sekolah dasar (67,6 persen). Sebanyak empat dari sepuluh yang miskin tersebut bahkan tidak tamat SD.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F16%2F20211116ags71_1637069523_jpg.jpg)
Hunian semipermanen berlatar belakang apartemen di Waduk Pluit, Jakarta Utara, Selasa (16/11/2021). Menurunnya kemampuan ekonomi rumah tangga akibat pandemi Covid-19 telah menyebabkan perubahan pola konsumsi penduduk, terutama kelompok rentan atau miskin yang kurang beruntung dalam memenuhi kecukupan pangan.
Namun, terdapat 1,81 persen rumah tangga miskin yang kepala keluarganya adalah lulusan perguruan tinggi. Angka ini bertambah dari sebelumnya hanya 1,44 persen pada Maret 2020. Betapa pandemi juga membuat kalangan berpendidikan tinggi tidak memiliki kehidupan yang layak.
Sementara berdasarkan status pekerjaan, kepala keluarga dari rumah tangga miskin dominan bekerja di sektor pertanian. Jumlahnya mencapai 51,33 persen. Sementara dari 12,9 persen rumah tangga miskin, kepala keluarganya tidak bekerja alias penganggur.
Baca juga : Kemiskinan Membayangi Kepuasan Publik
Jangka panjang
Analisis dari Bank Dunia (World Bank) menyebutkan, terdapat tambahan berkisar 75 juta orang hingga 95 juta orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem pada 2022 dibandingkan masa sebelum pandemi.
Penyebabnya tidak semata karena pandemi, tetapi juga dampak dari perang Rusia-Ukraina, perubahan iklim, serta inflasi pangan dan energi yang meningkat.
Inflasi bahan makanan adalah yang paling memperburuk kemiskinan, terutama pada negara yang berpendapatan rendah, karena dua pertiga dari sumber daya yang dimiliki terpakai untuk konsumsi makanan.

Indonesia yang tergolong negara dengan pendapatan menengah ke bawah juga berpotensi mengalami hal sama karena juga tengah menghadapi inflasi yang meningkat. Indonesia belum bisa keluar dari kemelut harga dan pasokan minyak goreng. Sementara harga kebutuhan pokok lain, termasuk energi, juga mulai naik.
Penelitian yang dirujuk oleh Bank Dunia menyebutkan, situasi krisis yang terjadi sekarang akan berlangsung cukup panjang. Dalam kondisi normal tanpa pandemi, sebelumnya Bank Dunia memprediksi tingkat kemiskinan di dunia akan bisa diturunkan menjadi 3 persen pada tahun 2030.
Akan tetapi, prediksi itu kini sulit dicapai. Kecuali, pemerintahan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, melakukan kebijakan jaring pengaman sosial yang signifikan dan terintegrasi untuk mengurangi kemiskinan. Saat ini, angka kemiskinan di Indonesia masih sebesar 9,71 persen. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Menyambut Tahun 2022 dengan Beban Kemiskinan dan Pengangguran