“Malamang Sakampuang”, Merawat Keakraban Warga di Pinggir Kota
"Malamang sakampuang" menjadi wadah bagi warga di Banda Luruih, Kota Padang, untuk merawat tradisi dan keakraban.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F31%2F87282070-d446-4a3f-bf36-6a4e4e8d9a2d_jpg.jpg)
Warga memasak lamang (lemang) dalam acara "Malamang Sakampuang" di Kelurahan Aie Pacah, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/12/2022). Ada sekitar 350 batang/tabung lamang yang dimasak warga kampung dalam kesempatan itu mulai dari lamang pulut putih, pulut putih-hitam dan pisang, pulut putih nangka, hingga ubi.
Perubahan zaman membuat tradisi dan ikatan warga Minangkabau di pinggiran kota kian rentan tergerus, termasuk di Banda Luruih. “Malamang sakampuang” atau membuat lemang bersama-sama satu kampung pun jadi wadah bagi warga di kawasan pinggir Kota Padang ini untuk merawat tradisi dan keakraban.
Arnita (48) memutar satu per satu tabung bambu yang berdiri dekat tungku di hadapannya. Matanya kerap memicing dan dahi mengernyit menghadapi asap dan bara api yang menyengat. Sesekali tangannya menyeka air mata dan butiran keringat di wajah.
Beberapa warga lainnya, baik perempuan ataupun laki-laki, juga melakukan hal serupa. Beberapa laki-laki tampak juga menambahkan kayu dan sabut kelapa ke dalam tungku dan mengaturnya dengan galah agar api menyala maksimal dan merata.
“Lamang ini dimasak sekitar empat jam. Kira-kira akan masak sekitar pukul 14.00,” kata perempuan yang karib disapa Ita ini di sela-sela memasak lemang di Banda Luruih, Kelurahan Aie Pacah, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/12/2022)
Baca juga: “Lamang” dan Tradisi “Manjalang Mintuo”
Selain membuat lemang, acara malamang sakampuang tahun ini juga diisi dengan penampilan musik gambus pada siang dan sore. Kemudian, malam hari, ada penampilan salawat dulang, salah satu sastra lisan Minangkabau.
Lemang dipanggang di hadapan dua deret tungku di pinggir kebun dekat pos pemuda dan pekarangan Masjid Al Furqon. Tabung-tabung lemang disusun berjejer dua baris tiap tungku berbahan bakar kayu dan sabut kelapa.
Sedikitnya ada 350 tabung/batang lemang yang dimasak. Jenisnya antara lain lamangpuluik (pulut/ketan) putih (lemang biasa/orisinal), puluik putih-hitam pisang, puluik putih cubadak (cempedak/nangka), dan ubi kayu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F31%2Fe52d61e6-ebd3-481e-9fea-84e58a0cc68a_jpg.jpg)
Warga mengisikan adonan lamang (lemang) ubi ke dalam tabung/batang bambu dalam acara "Malamang Sakampuang" di Kelurahan Aie Pacah, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/12/2022).
Proses memasak
Ita bersama tujuh kaum ibu lainnya sudah bersiap-siap memasak lemang tersebut sejak pukul 04.00, seperti memarut kelapa dan membasuh pulut. Setelah matahari menyingsing, warga lainnya berdatangan untuk membantu.
Ada sekitar 40 warga yang terlibat dalam kegiatan masak-memasak hari itu. Mereka berbagi tugas. Sebagian fokus memasak lemang, sebagian lainnya memasak nasi dan lauk-pauk untuk jamuan makan siang bagi warga dan tamu yang datang.
Adonan lemang diramu di teras masjid. Lemang pulut orisinal, misalnya, berbahan baku pulut putih, santan, dan garam. Adonan dimasukkan ke dalam tabung bambu yang telah dilapisi daun pisang muda di bagian dalamnya.
Baca juga: Lemang yang Kian Mengeratkan Nusantara
Sekitar pukul 10.00, satu per satu tabung bambu berisi adonan disusun berderet di hadapan tungku untuk dipanggang. Sejam kemudian, ratusan tabung lemang telah terjerang di hadapan api yang membara.
Saat waktu zuhur dan makan siang tiba, api dibiarkan mati hingga tersisa bara. Lemang-lemang itu disangai agar matang merata. Pada momen ini, dua per tiga bagian lemang ke atas telah matang. Menyangai dilakukan untuk mematangkan lemang bagian bawah.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F31%2F4791413a-0b8f-44bb-8bfe-5a8a5409d26b_jpg.jpg)
Tabung/batang bambu yang sudah diisikan lamang (lemang) untuk dimasak dalam acara "Malamang Sakampuang" di Kelurahan Aie Pacah, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/12/2022).
Aroma harum tercium dari lemang yang baru masak sekitar pukul 14.00. Lemang pulut bertekstur lembut, lengket, dan berminyak. Rasanya enak dan gurih. Lemang ini bisa dimakan langsung, tetapi akan terasa sempurna bila dimakan dengan makanan manis, seperti kolak, durian, pisang, ataupun bubur kacang hijau.
Lemang pulut putih-hitam pisang dan lemang pulut nangka juga beraroma harum, bertekstur lembut, lengket, dan berminyak. Walakin, selain enak dan gurih, kedua lemang ini juga terasa manis yang berasal dari pisang dan nangka sehingga sudah sempurna untuk dimakan langsung.
Permulaan
Malamang sakampuang mulai diadakan di Balai Luruih sejak 2016. Kegiatan di ujung tahun 2022 ini merupakan yang kelima kali. Pada pengujung 2020 dan 2021 acara ditiadakan akibat pembatasan kegiatan masyarakat selama pandemi Covid-19.
Baca juga: Adaptasi Rendang, dari Lokan hingga Dedaunan
Muhammad Khalidi Alkhair, salah satu penggagas kegiatan, menjelaskan, malamang sakampuang diadakan kegiatan untuk menyemarakkan kembali rasa hidup berkorong dan berkampung di Banda Luruih. Malamang dipilih karena tradisi ini mulai memudar di kampung itu.
“Warga pun badoncek (patungan). Ada yang menyumbang puluik(ketan), karambia (kelapa), pitih (uang), dan sebagainya. Hasilnya dimakan bersama dan dibagikan ke warga lainnya,” kata Khalidi, yang sehari-hari bekerja sebagai kontraktor.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F31%2F18cd61b7-727f-4230-8ee7-2936d0ce17d0_jpg.jpg)
Warga memperbaiki posisi tabung lamang (lemang) agar matang merata dalam acara "Malamang Sakampuang" di Kelurahan Aie Pacah, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/12/2022).
Pada tahun-tahun berikutnya kegiatan semakin besar. Pemerintah Kota Padang juga mulai membantu pendanaan. Adapun pada edisi kelima ini, selain dana swadaya masyarakat, ada bantuan dari dana pokok pikiran (pokir) seorang anggota DPRD Kota Padang.
Mulanya kegiatan ini diagendakan setiap awal Ramadhan. Walakin, karena tidak kondusif, acara diadakan setiap menjelang Tahun Baru. Ini diharapkan pula bisa menarik para pemuda untuk mengikuti kegiatan positif pada malam pergantian tahun.
Kekompakan
Malamang sakampuang pun menjadi wadah bagi warga untuk memperkuat kekompakan dan kebersamaan. Warga dari kalangan pemuda, dewasa, hingga lansia terlibat dalam kegiatan, baik dalam menyiapkan bahan-bahan, memasak, maupun menikmati hasilnya.
Baca juga: Ranah Minang, Surga Makanan Nusantara
Saat memasak lemang, warga kompak bekerja sama. Mereka mengambil peran sesuai kesempatan dan kemampuan masing-masing. Suasana juga terasa hangat dengan canda gurau warga saat bekerja.
Begitu pula saat lemang-lemang mulai matang. Beberapa tabung lemang dibelah dan isinya dipotong-potong. Belasan warga di sekitar tungku berkerumun untuk mengambil dan mencicip lemang yang masih hangat-hangatnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F31%2F597cf162-ccf6-4513-9ba0-87f024a58a4e_jpg.jpg)
Warga menikmati lamang (lemang) yang mereka masak dalam acara "Malamang Sakampuang" di Kelurahan Aie Pacah, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/12/2022).
Kekompakan terlihat pula dari sumbangan warga yang bertambah banyak setiap tahunnya. Jumlah kelapa yang terkumpul kali ini mencapai 1.500 butir dan beras pulut sebanyak 24 kulak atau 300 kilogram. Adapun bahan-bahan lainnya, seperti daun pisang, kayu bakar, dan bambu diambil di kebun dan hutan.
Hubungan antarwarga pun semakin erat ibarat beras pulut yang merekat saat menjadi lamang. “Kami makin bersemangat. Kegiatan ini bisa mempererat persatuan dan keakraban warga,” kata Suryati (48), warga lainnya.
Baca juga: Pusaka Rasa dari Ranah Minang
Malamang sakampuang diharapkan pula dapat mempertahankan tradisi. Pada masa lampau, bisa empat kali warga Banda Luruih memasak lamang dalam setahun, yaitu momen jelang Ramadhan, Idul Fitri, Maulid Nabi, dan Idul Adha.
Akan tetapi, kata Suryati, di Banda Luruih mulai jarang warga malamang, kadang-kadang saja. Sebab, pada umumnya anak-anak zaman sekarang tak lagi menyukai lemang. Orangtua pun jadi enggan malamang.
“Setidaknya, anak-anak tetap bisa mengenal lamang dari kegiatan ini,” ujarnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F31%2F7841090b-c0d3-4346-9de6-192eec99e164_jpg.jpg)
Lamang (lemang) pulut putih yang sudah matang dan dipotong dalam acara "Malamang Sakampuang" di Kelurahan Aie Pacah, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/12/2022).
Warisan budaya
Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar Syaifullah, yang hadir dalam acara itu, menyambut positif inisiatif warga Banda Luruih mengadakan malamang sakampuang. Kegiatan ini bagian dari upaya melestarikan tradisi malamang yang ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda dari Sumbar sejak 1 Januari 2016.
Syaifullah menjelaskan, tradisi malamang memang didaftarkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Pariaman. Walakin, tradisi ini sebenarnya tersebar di seluruh daerah Minangkabau. “Kita semua harus membangkitkan budaya itu,” katanya.
Kata Syaiful, banyak nilai yang terkandung dalam tradisi malamang ini. Selain menjaga kekompakan warga, proses malamang juga melatih kesabaran. Seperti masakan Minangkabau lainnya, seperti rendang, proses memasak lemang juga butuh waktu berjam-jam agar hasilnya bagus.
“Malamang tidak bisa buru-buru matang. Dibesarkan apinya, tidak bisa. Itu ciri-ciri masakan Minangkabau, baunyai-unyai (berunyai-unyai/berlambat-lambat),” ujar Syaifullah.
Keberadaan malamang pada daerah-daerah (rantau) tersebut diperkirakan dibawa oleh orang Minangkabau pada masa dahulu yang merantau dan kemudian menetap disana secara turun-temurun
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F31%2Fa9aae4b8-71b5-4457-98e8-656dab2f9dd0_jpg.jpg)
Warga memperbaiki posisi tabung lamang (lemang) agar matang merata dalam acara "Malamang Sakampuang" di Kelurahan Aie Pacah, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/12/2022).
Refisrul, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumbar, dalam artikel “Lamang dan Tradisi Malamang pada Masyarakat Minangkabau”, mengatakan, tradisi malamang dapat dijumpai di seluruh wilayah Sumbar (Minangkabau) baik di kawasan darek (darat/pedalaman) maupun pasisia (pesisir).
Tradisi malamang ini, lanjutnya, terdapat pula di daerah lain yang dahulunya merupakan rantau Minangkabau, seperti Tapak Tuan (Aceh), Mukomuko (Bengkulu), Kerinci (Jambi), Tebing Tinggi (Sumatera Utara), serta di Negeri Sembilan (Malaysia).
“Keberadaan malamang pada daerah-daerah (rantau) tersebut diperkirakan dibawa oleh orang Minangkabau pada masa dahulu yang merantau dan kemudian menetap disana secara turun-temurun,” tulis Refisrul dikutip dari Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya Volume 3 Nomor 2, November 2017.
Menurut Refisrul, tradisi malamang biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadhan, Lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha), peringatan Maulid Nabi, baralek (pesta pernikahan), perayaan hari kematian, dan lain sebagainya.
Sebelum tahun 1980-an, tulis Refisrul, semarak tradisi malamang sangat terasa di Sumbar. Pada masa dahulu, setiap waktu-waktu malamang tiba, warga memasak lamang secara bersama-sama di depan rumah.
Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, tradisi malamang mulai ditinggalkan dan terancam punah. Semakin jarang ditemukan warga malamang pada saat musimnya tiba. Hal itu tak terlepas dari pergeseran pola pikir masyarakat yang serba instan. Kolaborasi pemerintah dan masyarakat pun dibutuhkan agar tradisi ini tetap lestari.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F31%2F6d80558c-b2c7-44ee-af82-06c56226fc2e_jpg.jpg)
Kondisi lamang (lemang) yang hampir matang dimasak dalam acara "Malamang Sakampuang" di Kelurahan Aie Pacah, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, Sabtu (31/12/2022).