Ronelva (59) bergegas turun dari skuter matiknya. Segera ditemuinya pemilik pondok lamang yang tengah berselimut asap. Pensiunan Dinas Koperasi Kota Padang itu cemas tak mendapatkan lamang di hari terakhir menjelang Ramadhan.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
KOMPAS/YOLA SASTRA
One Asni (59) sedang membakar lamang di rumahnya di Seberang Padang, Padang Selatan, Padang, Sumatera Barat, Minggu (5/5/2019) pagi. Permintaan lamang meningkat enam kali lipat sejak empat hari menjelang Ramadhan, Minggu (5/5/2019).
Ronelva (59) bergegas turun dari skuter matiknya. Segera ditemuinya pemilik pondok lamang yang tengah berselimut asap. Pensiunan Dinas Koperasi Kota Padang itu cemas tak mendapatkan lamang di hari terakhir menjelang Ramadhan.
“Masih ada lamangnya, One? Tapi kemarin saya belum pesan. Kalau ada, saya beli tiga tabung,” kata Ronelva kepada Asni (59), sang empunya pondok lamang di Seberang Padang, Padang Selatan, Padang, Sumatera Barat, Minggu (5/5/2019) pagi.
Hari-hari menjelang Ramadhan memang menjadi masa panen bagi pembuat ataupun penjual lamang (lemang). Penganan tradisional berbahan dasar ketan, santan, serta garam yang dimasukkan ke dalam tabung bambu dan dibakar sekitar tiga setengah jam itu dicari-cari menjelang bulan puasa.
Menurut One Asni, yang sudah 34 tahun bergelut dalam usaha lamang, permintaan lamang meningkat hingga enam kali lipat sejak empat hari menjelang Ramadhan. Jika di hari biasa One Asni hanya membuat 30 tabung sehari, menjelang Ramadhan permintaan bisa mencapai 200 tabung sehari.
Oleh sebab itu, tak perlu heran bila Ronelva cemas tidak kebagian. Biasanya pelanggan sering pulang dengan tangan hampa kalau tidak memesan jauh-jauh hari, setidaknya sehari sebelumnya. Hari ini Ronelva bagian dari orang-orang beruntung.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Darwin (67), anggota keluarga One Asni (59), pengusaha lamang, sedang mengurangi santan lamang agar tidak terlalu lembek, Seberang Padang, Padang Selatan, Padang, Sumatera Barat, Minggu (5/5/2019).
Tiga varian
Ada tiga varian lamang yang dibuat oleh One Asni, yaitu lamang putih biasa, lamang pisang, dan lamang luo, yang bagian tengahnya diisi kelapa bercampur gula aren. Harganya berkisar Rp 50.000 hingga Rp 75.000.
“Biasanya lamang dimakan pakai tapai atau luo,” ujar One Asni, yang belajar membuat lamang dari orangtuanya yang juga menggeluti usaha ini.
Biasanya lamang dimakan pakai tapai atau luo
Sebagaimana umumnya pelanggan One Asni menjelang Ramadhan, Ronelva membeli lamang untuk kebutuhan putri tunggalnya yang akan manjalang mintuo (menjalang/mengunjungi mertua) di Koto Tangah, Padang. Saat menjalang, biasanya menantu perempuan membawa penganan untuk mertua, salah satunya lamang.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Salah seorang anggota keluarga One Asni (59), pengusaha lamang, sedang mengeluarkan isi lamang dari bambu di Seberang Padang, Padang Selatan, Padang, Sumatera Barat, Minggu (5/5/2019).
Manjalang mintuo merupakan upaya menantu perempuan mengenal dan bersilaturahmi dengan mertua dan keluarga besar suaminya. Tradisi ini menjadi rutinitas bagi perempuan Minangkabau, terutama yang baru menikah dan berdomisili tidak jauh dari mertua, di saat menjelang bulan puasa, Idul Fitri, ataupun Idul Adha.
“Tahun pertama menikah, anak saya membawakan limau harum, lamang, dan kue-kue untuk semua keluarga besar suaminya. Tahun kedua dan seterusnya hanya lamang untuk mertua. Anak saya sekarang memasuki tahun ketiga,” ujar Ronelva, yang berdomisili di Padang Barat.
Lamang pun menjadi menu yang melekat dengan tradisi manjalang mintuo di Kota Padang. Kurang afdal bila tidak ada lamang dalam daftar menu yang diantarkan kepada mertua. Meskipun demikian, ada juga menantu yang tidak membawa lamang dan biasanya sudah disepakati kedua belah pihak.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Lamang putih dan luo (kelapa parut bergula aren) buatan One Asni (59), pengusaha lamang, di Seberang Padang, Padang Selatan, Padang, Sumatera Barat, Minggu (5/5/2019).
Zaman dulu, lamang dibuat sendiri oleh menantu atau keluarga perempuan. Namun, perlahan-lahan hal itu mulai ditinggalkan karena aspek kepraktisan, terutama wilayah perkotaan. Membuat lamang butuh proses panjang, mulai dari mencari bambu, daun pisang, membuat adonan ketan, hingga membakar lamang.
Budayawan Minang Suhendri berpendapat, lamang dipilih sebagai salah satu penganan dalam manjalang mintuo karena sifatnya yang mengenyangkan meskipun berstatus sebagai camilan. Sifat mengenyangkan itu menjadi prinsip dari makanan tradisional Minang.
Suhendri menambahkan, penganan lamang sebagai hantaran saat manjalang mintuo biasanya dilakukan oleh masyarakat Minang di daerah pesisir (pasisia), seperti Padang dan Pariaman. Sementara itu, untuk daerah daratan (darek), penganan yang dibawa sejenis kue.