Lenggak-lenggok Gaya Kepemimpinan Pemimpin Kota Malang
Ada wali kota dikenang "gila" penghijauan, perusak bangunan bersejarah, hingga terus eksis di medsos seperti saat ini.

Balai Kota Malang dan Taman Tugu difoto pada Selasa (19/1/2021).
Setiap pemimpin daerah memiliki cara dan citranya masing-masing dalam mengelola kotanya. Pun di Kota Malang, model kepemimpinan mereka berwarna-warni. Ada yang dikenang sebagai perusak bangunan bersejarah, ada wali kota penghijauan, dan seiring zaman ada juga yang aktif di medsos dan memicu polemik.
Salah satu wali kota Malang paling sering memicu polemik belakangan ini, mungkin sebagai dampak era digital, adalah Wali Kota Malang Sutiaji (2018-2023). Salah satu polemik terbaru, munculnya konsep kota halal untuk Kota Malang. Warga menganggap kebijakan itu akan menggerus Kota Malang sebagai kota toleran. Berbagai spanduk pun bermunculan di sekitar Taman Tugu dan bundaran alun-alun depan Gedung DPRD Kota Malang.
Sutiaji sendiri menanggapi bahwa penolakan itu hanya karena warga salah persepsi. ”Tidak ada yang akan menggerus keberagaman dan toleransi di Kota Malang. Justru Kota Malang itu dasarnya beragam, itu ciri khasnya. Ini hanya konsep mengembangkan destinasi wisata halal sesuai undang-undang,” katanya. Konsep wisata halal itu disebut Sutiaji sesuai UU Kepariwisataan dan UU Jaminan Produk Halal.
Baca juga: Dinilai Langgar PPKM, Rombongan Wali Kota Malang Dikritik Keras

Spanduk penolakan rencana Malang Kota Halal sejak beberapa waktu lalu di area bundaran Tugu, Kota Malang, Jawa Timur, awal Maret 2022. Rencana kebijakan Wali Kota Malang itu dinilai akan menggerus nilai-nilai toleransi di kota tersebut.
Salah satu contohnya, di hotel, menurut Sutiaji, harus ada standardisasi, misalnya harus ada Injil, Al Quran, dan petunjuk kiblat. Ia berharap masyarakat tidak menyeret kebijakan tersebut ke arah SARA.
”Saya juga tidak tahu kenapa setiap kebijakan saya selalu mengundang pro-kontra. Mungkin saya memang sedang diuji untuk sesuatu yang lebih besar. Ha-ha-ha...,” kata Sutiaji saat ditanya soal polemik di beberapa kebijakannya.
Hubungan emosional pemimpin dan rakyatnya tetap akan lebih terjalin kuat dengan interaksi/pertemuan langsung.
Beberapa kebijakan memicu polemik sebelumnya, misalnya, polemik mematikan lampu jalan selama pandemi, menghidupkan kawasan Kayutangan hingga memicu kerumunan di saat jalan lain ditutup, membangun Malang Creative Center (MCC) dengan dana miliaran rupiah, dan lainnya.
Selain kebijakan, tingkah polah Sutiaji juga selalu jadi sorotan. Di medsos, muncul tagar #ajurji untuk mengkritisi langkah wali kota kelahiran Lamongan itu. Selain ramai di medsos sang wali kota, masyarakat juga meluapkan emosi melalui grup Whatsapp (WA). Sutiaji masuk ke dalam grup WA publik, utamanya grup tentang pengaduan Malang Raya.
Baca juga: Kondisi Membaik, Kado Indah untuk Malang di Tengah Pandemi

Wali Kota Malang Sutiaji
Sutiaji memang Wali Kota Malang yang sangat aktif bermedsos. Hampir setiap kegiatannya, baik dinas maupun pribadi/keluarga, sering diunggah di akun Instagram-nya. Hal itu juga dilakukan keluarganya. Tak heran jika kemudian di medsos mereka itu pujian dan cacian dari banyak pihak terpampang jelas.
Beberapa sorotan warga, misalnya saat Sutiaji makan bersama keluarga, merayakan ulang tahun anaknya, saat olahraga, saat mulai merevitalisasi kawasan Kayutangan, dan lainnya. Banyak komentar dan hujatan ditujukan kepada politisi Partai Demokrat tersebut.
”Ngrayakne ulang tahun salah, mangan rujak salah, mangan bebek salah, gawe malioboro-malioboro-an salah. Lek carane ngono, Spiderman yo gak sanggup dadi wali kota Malang,” kata seorang anggota dalam grup WA pengaduan Malang Raya.
Arti pernyataan di atas adalah ”Merayakan ulang tahun salah, makan rujak salah, makan bebek salah, membuat malioboro-malioboro-an (kawasan semacam Malioboro) salah. Kalau modelnya seperti itu, Spiderman pun tak sanggup jadi wali kota Malang,”. Entah niatnya benar-benar membela wali kota Malang atau justru menyebutkan satu per satu polemik terkait sang wali kota. Yang jelas, begitulah kegaduhan di dunia maya terkait Wali Kota Malang ini.
Baca juga: Mengembalikan Malang Kota Taman

Suasana Taman Ken Dedes di pintu masuk Kota Malang, Jawa Timur, dari arah Surabaya, Rabu (22/1/2020).
Penghijauan
Sebelum Sutiaji, Wali Kota Malang adalah Mochammad Anton atau biasa dipanggil Abah Anton. Anton memimpin tahun 2013-2018 dan dikenal sebagai wali kota penghijauan. Ia membangun dan memperbaiki taman-taman kota. Lebih jauh, sejak Anton memimpin, cat tembok dan warna spanduk perayaan di Balai Kota Malang pun berubah menjadi hijau (sebelumnya adalah merah-putih). Bahkan, garis markah jalan pun dicat hijau putih.
Anton juga sempat mengecat pohon beringin di Alun-alun Merdeka Malang dengan warna hijau. Pengecatan itu sempat terealisasi sebagian, tetapi akhirnya dihentikan karena protes berbagai kalangan.
Warna hijau selalu diasosiasikan dengan adem dan agamis. Anton pun selalu memunculkan citra agamis dan dekat dengan ulama. Dengan citra agamis dan senang membangun taman ini, citra Abah Anton melejit. Bahkan, pada Pilkada 2018 suaranya masih 37 persen. Padahal, ia sudah ditetapkan jadi tersangka korupsi. Kiprahnya sebagai wali kota terhenti saat ia divonis bersalah atas kasus korupsi dan ditahan. Saat ini, Anton sudah bebas dan menekuni bisnis kafe dan kebun durian di Dau, Kabupaten Malang.
Baca juga: Kota Malang dalam Penggalan Kisah Sastra

Dokumentasi pemberitaan tentang Kota Malang
Sebelumnya lagi, Kota Malang dipimpin oleh Wali Kota Peni Suparto. Dikenal garang, ia memimpin Kota Malang selama dua periode, tahun 2003-2013.
Peni dan para wali kota Malang sebelumnya (sejak tahun 1970-an), oleh guru besar Universitas Brawijaya Malang Solichin Abdul Wahab (alm) bahkan disebut sebagai wali kota ”terminator” atau perusak. Pada kurun tahun 1970-an hingga masa kepemimpinan Peni, banyak bangunan bersejarah dan ruang terbuka hijau hancur dan berubah fungsi.
Sebut saja alih fungsi lahan terbuka bekas kampus di Jalan Veteran dan lapangan sepak bola terbuka di kawasan Jalan Tenes di mana keduanya berubah menjadi pusat perbelanjaan modern atau perubahan Taman Kunir di Kelurahan Oro-Oro Dowo menjadi kantor kelurahan. Kedua prosesnya sempat menuai protes, bahkan preman pendukung kebijakan wali kota pun ikut campur. Pada periode wali kota ini, kesan garang dan tegas sangat ditunjukkan. Awal karier Peni adalah dosen Pancasila di IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang).
Alih fungsi lahan sebelum Peni Suparto juga telah banyak terjadi. Mulai dari hilangnya hutan kota APP dan kini menjadi perumahan mewah, hilangnya GOR Pulosari di Jalan Kawi menjadi pertokoan, lenyapnya lapangan pacuan kuda di kawasan Simpang Balapan menjadi perumahan mewah, dan lainnya.
Dengan rekam jejak itu, toh Peni mampu menyelesaikan dua periode kepemimpinan dengan baik. Hingga saat ini, pendukungnya masih banyak. Beberapa kepala dinas yang dahulu jadi anak buahnya juga masih sering sowan ke rumahnya.
Baca juga: Jejak Pemulihan Ekonomi Malang Usai Terpuruk

Sukarelawan Masyarakat Anti-fitnah Indonesia melakukan kampanye antihoaks saat berlangsung hari bebas kendaraanbermotor di Jalan Darmo, Surabaya, Minggu (14/1). Kegiatan dilakukan untuk mengajak masyarakat agar cerdas menyikapi banyak beredarnya berita di medsos.
Medsos dan panjat sosial
Dosen politik Universitas Brawijaya, Wawan Sobari, mengatakan, secara teoretis, gaya kepemimpinan seseorang dalam memerintah bisa dilihat dari tiga hal. Pertama, bahwa kebijakan dibuat berbasis agen (disebabkan individu pemimpin itu sendiri yang kreatif dan punya kapasitas). Kedua, kebijakan dibuat karena faktor struktur atau ada pihak luar yang memengaruhi. Pihak luar itu bisa berupa nilai, ideologi, organisasi parpol asal, dan lainnya.
Ketiga, gabungan kedua hal itu atau pendekatan interaksionis. ”Ada kapasitas pribadi dan ada desakan dari luar. Misalnya faktor pemerintah pusat, DPRD, masyarakat, dan seterusnya,” kata Wawan.
Dalam ranah politik, Wawan menjelaskan, kebijakan berbasis individu pemimpin pun tidak bisa dilepaskan dari motif. Baik motif individual, sosial, politik, kultural, ekonomi, maupun sejarah. ”Bisa jadi karena ingin maju pada periode selanjutnya atau mencapai capaian politik lebih tinggi. Sehingga, biasanya akan muncul proyek-proyek mercusuar sebagai batu loncatannya,” kata dosen kepemimpinan politik itu.
Baca juga: Media Sosial, Kuasa Bahasa Siapa

Dan, era sekarang ini, salah satu cara bisa ditempuh pemimpin untuk memopulerkan kinerja dan kebijakannya adalah menggunakan media sosial. ”Bahwa pemimpin aktif di medsos sekarang ini menciptakan affective link atau kaitan afektif atau hubungan emosional. Jadi ada perasaan satu pemikiran, satu hobi, dan seterusnya. Affective link itu penting untuk mendekatkan emosi dengan masyarakat yang dipimpin,” kata Wawan.
Meski begitu, riset Wawan menunjukkan bahwa hubungan emosional pemimpin dan rakyatnya tetap akan lebih terjalin kuat dengan interaksi/pertemuan langsung. Interaksi langsung antara pemimpin dan rakyat itu pula yang menurut Wawan menjadikan Peni dan Abah Anton mampu mengikat hati masyarakat.
Namun, saat ini, kedekatan itu memang lebih mudah dibangun dengan media sosial. Semakin sering menunjukkan hasil kinerjanya di medsos, seorang pemimpin berusaha mengatakan kepada masyarakat bahwa ia telah bekerja dengan baik.
Baca juga: Mengenang Cinta di Kayutangan

Suasana petang di Balai Kota Malang, Jawa Timur, Senin (5/8/2019).
”Medsos itu adalah cara paling murah dan efisien, jangkauannya luas, serta bisa dibagikan kapan saja, dan biaya produksinya tidak mahal. Saat aktif di medsos, seorang pemimpin akan mencitrakan dirinya sebagai sosok protagonis, karena itu untuk menguatkan branding. Kalaupun tidak untuk mencapai jabatan yang sama ke depan, bisa jadi si pemimpin itu mencoba menyasar motif politik lain (capaian di atasnya),” kata Wawan.
Adapun terkait aktivitas bermedsos, Wawan mencermati dua fenomena, yaitu panjat sosial dan panjat politik. ”Ada dua fenomena sekarang ini, yaitu pansos (panjat sosial) dan panjat politik. Panjat politik itu mengedepankan etik. Beda dengan pansos yang kadang meninggalkan etik. Pansos itu bisa sangat kontroversial,” katanya.
Tidak menutup kemungkinan, pansos dan panjat politik ini saling menumpangi. Apalagi jika isunya sama-sama baik.
”Misalnya ada kegiatan bersama antara pemimpin di negeri ini, seperti beberapa waktu lalu ada Pak Ridwan Kamil bermain bola dengan Pak Anies Baswedan, menurut saya bukan sekadar pertemuan olahraga. Itu bisa dibaca bagian dari motif politik atau panjat politik. Tapi siapa yang panjat politik, silakan saja dipikirkan,” katanya.
Pada akhirnya, Wawan mengajak siapa saja menganalisis peristiwa heboh di media sosial, seperti viralnya setiap kebijakan di Kota Malang, sebagai bagian dari pengetahuan politik. Apakah itu pansos ataukah panjat politik? Yang pasti, kerja-kerja birokrasi sepatutnya dirasakan senyata mungkin oleh warganya, bukan di jagat maya.
Baca juga: PSBB Malang dan Kisah Karantina Kota di Masa Lalu