Jejak Pemulihan Ekonomi Malang Usai Terpuruk
Guncangan ekonomi melanda Malang Raya saat ini. Namun, ini bukan pertama kali. Kawasan ini pernah terkena dampak ekonomi saat wabah pes pada 1911-1914, perang, dan depresi ekonomi 1930.
Door duisternis tot licht. Perjuangan dalam gelap, untuk mencapai terang.
(RA Kartini)
Pada masanya, RA Kartini menyadari bahwa untuk bangkit menuju terang butuh perjuangan. Demikian Benedict Anderson, pakar sejarah politik Indonesia, memaknai kumpulan surat Kartini pada temannya di Belanda. (”Maksud Politik Jahat, Ben Anderson tentang bahasa dan Kuasa”, karya Joss Wibisono, 2020)
Beranjak dari hal di atas, maka perlu dipahami bahwa untuk lepas dari keterpurukan butuh perjuangan. Malang Raya pun memiliki jejak sejarah bangkit dari keterpurukan akibat depresi ekonomi.
Sebagaimana sekarang, kita dibelit pandemi Covid-19, Malang Raya pernah mengalami beberapa peristiwa penting yang menimbulkan guncangan ekonomi. Di antaranya adalah wabah pes pada 1911-1914, perang, dan depresi ekonomi 1930.
Baca juga: PSBB Malang dan Kisah Karantina Kota di Masa Lalu

Kerabat korban Covid-19 menyalakan lilin di depan Kementerian Kesehatan di Asuncion, Paraguay, untuk menghormati lebih dari 3.450 orang yang meninggal akibat virus korona baru di negara tersebut, Minggu (14/3/2021).
Sekilas catatan tentang upaya pemulihan ekonomi Malang, sedikit banyak bisa dilihat di buku Dari Rimba Menjadi Kota-Bank Indonesia dalam Evolusi Malang Raya yang diterbitkan oleh Bank Indonesia Institute (2020). Dalam buku ini, De Javasche Bank (DJB) Malang menjadi saksi evolusi Malang Raya, terutama dalam bidang ekonomi.
Sejak UU Agraria tahun 1870, Malang berkembang jadi salah satu pusat perkebunan. Kegiatan perkebunan skala industri dimulai tahun 1874 dengan berdirinya perkebunan kopi milik Van der Elst di Desa Soembool di Distrik Karanglo. Itu adalah perkebunan penyewa lahan pertama di Malang.
Jumlah perkebunan kopi terus berkembang. Akhir 1880 di Malang sudah ada 21 perkebunan kopi, dan pada 1916 sudah ada 98 perkebunan kopi tersebar di berbagai pelosok Malang.
Selain kopi, komoditas tebu juga berkembang. Tahun 1890, Pabrik Gula Sempalwadak dibangun, dengan area konsesi di sisi Timur Sungai Brantas. Pabrik gula kedua didirikan di Gondanglegi. Pada 1894, pengusaha Georgia mendirikan Pabrik Gula Krebet (di kemudian hari pabrik gula itu jatuh ke tangan Oei Tjiong Ham Concern).
Baca juga: Menelusuri Pabrik Robusta Kuno Tretes Panggung

Pabrik pengolahan kopi di tengah areal perkebunan kopi milik PTPN XII Kebun Bangelan di kaki Gunung Kawi, Wonosari, Malang, Jawa Timur, Senin (8/1). Kebun Bangelan menghasilkan kopi robusta yang diekspor ke Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.
Dengan munculnya berbagai perkebunan kopi dan industri gula, Kota Malang yang semula tidak diperhitungkan (kalah dari Pasuruan), mulai mendapat perhatian banyak pihak.
Berikutnya, muncul berbagai peristiwa termasuk wabah pes pada 1911-1914. Jejak pemulihan ekonomi Malang seusai wabah, tidak muncul dalam buku terbitan BI di atas. Sebab, DJB sebagai sorotan utama pada buku itu, baru berdiri tahun 1916, dan gedungnya selesai dibangun pada 1922.
Percepatan pemulihan ekonomi Malang saat itu, terjadi karena gementee Malang mulai fokus membangun kota, seperti mendirikan pusat perumahan dan infrastruktur.
Dalam buku Dari Rimba Menjadi Kota-Bank Indonesia dalam Evolusi Malang Raya, yang penulisnya adalah Dosen Universitas Negeri Malang Reza Hudiyanto dan tim, pada 1917-1924 adalah masa keemasan pengembangan Kota Malang. Pemerintah menitikberatkan pembangunan fisik bidang jasa, bisnis, dan hiburan. Beberapa gedung pertunjukan dan hiburan dibangun seperti Societeit Concordia dan Hotel Palais (1916). Saat itu, Malang benar-benar berubah menjadi kota liburan dan hiburan.
Baca juga: IMF: Dunia Kembali ”Depresi Hebat”, Investasi Jadi Penyelamat

Krisis
Tahun 1930, krisis datang seiring terjadinya krisis global. Krisis global mulai terasa pada 1929, ketika Amerika Serikat melalui Bank Sentral Amerika (The Fed) mengeluarkan kebijakan menurunkan suku bunga demi mendukung Bank Sentral Inggris (Bank of England) yang menerapkan standar emas. Penurunan suku bunga terjadi bersamaan dengan naiknya tren bursa efek di Wall Street New York, yang mendorong masyarakat Amerika berbondong-bondong meminjam uang di bank dan menginvestasikannya di bursa saham.
Situasi itu mendorong aksi spekulasi dan menciptakan gelembung ekonomi (economic bubble). Pada musim gugur (Agustus-Oktober) 1929, terjadi penjualan saham besar-besaran sehingga nilai saham merosot tajam dan jatuh di bawah harga pasar terendah. Dampaknya, ekonomi dunia merosot.
Kondisi itu berdampak pada jatuhnya harga produk perkebunan, termasuk gula asal Malang. Harga gula jatuh dan tidak laku di pasar global. Dampaknya, dari empat pabrik gula yang ada di Malang, dua pabrik gula dibubarkan, yaitu PG Sempalwadak dan PG Panggungrejo. PG Krebet dihentikan operasinya secara temporer, dan hanya PG Kebon Agoeng tetap beroperasi.
Di Keresidenan Malang jumlah pabrik gula juga terus berkurang. Dari 27 pabrik pada 1931, menjadi 20 pabrik pada 1933, dan terus anjok tinggal 9 pabrik pada 1935. Pada 1935 area tebu yang digiling di kawasan Malang berkurang tinggal 45 persen dari area yang digiling pada 1931 di Distrik Bululawang, sisa 24 persen di Distrik Singosari, sisa 53 persen di Distrik Malang, dan sisa 13 persen di Distrik Kepanjen.
Baca juga: Kisah Cinta Pangeran Jawa dan Gadis Tionghoa

Pekerja sedang mengepak gula kristal di Pabrik Gula Kebon Agung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (10/6).
Suntikan dana
Dalam masa sulit itu, DJB memberikan dukungan pada PG Kebon Agoeng untuk bisa membuat kontrak kerja sama dengan Pure Cane Mol CC selama periode 1933-1936 dalam produksi gula tetes. Saat itu, PG Kebon Agoeng mencari suntikan dana dari DJB dengan menghipotikkan pabriknya pada DJB. Namun, oleh karena PG Kebon Agoeng gagal bayar pada 1935, seluruh saham perseroannya pun dimiliki oleh DJB.
Meski sektor perkebunan terpuruk, sektor pangan saat itu justru berkembang. Tahun 1929 luas lahan pertanian padi sebesar 166.000 hektar (ha), dan pada 1933 berkembang menjadi 193.000 ha. Pada 1942, luas lahan pertanian sudah di atas 200.000 ha.
Oleh karena tidak semua tenaga kerja bisa terserap ke pertanian, saat itu, menyebabkan jumlah penganggur membeludak. Di bidang perdagangan, puluhan toko gulung tikar.

Suasana di toko tembakau iris kuno milik Maria (80), di Kayutangan (Jalan Basuki Rahmat) Kota Malang, Jawa Timur, Selasa (15/10/2019). Toko tersebut berusia ratusan tahun dan tetap berjualan tembakau dan rokok hingga hari ini, sejak dua generasi sebelumnya. Toko tersebut menyimpan salah satu sejarah era kejayaan kawasan Kayutangan Malang.
Saat limbung itu, pemerintah gemente Malang berusaha mencari sumber pajak baru seperti pajak atas gerobak, sepeda, kepemilikan anjing, hiburan, dan reklame. Saat itu, ada 694 anjing yang berpotensi dipajaki. Saat itu baru ada 209 yang terkena pajak. Pemerintah Provinsi Jawa Timur pun berusaha meningkatkan Pajak Penambahan Nilai untuk pegawai guna disumbangkan kepada orang yang terdampak resesi ekonomi. Rencana itu akhirnya ditolak pemerintah pusat.
Tidak ingin menyerah pada resesi, para pengusaha besar di Malang berusaha mencari kredit usaha dari DJB. DJB mengeluarkan kebijakan potongan bunga kredit berjalan atau kredit diskonto. Hal ini, misalnya, terlihat pada sebuah laporan tertanggal 11 Juli 1932. DJB memfasilitasi permohonan keringanan potongan kredit pinjaman sebesar setidaknya f30.000 dari seorang pengusaha Tionghoa bernama Tjan Sioe Bie untuk melakukan menjalankan bisnis melalui perolehan hak atas tanah persil yang berada di Wlingi, Blitar, dan Kediri. DJB mengabulkan permintaannya dengan pertimbangan setidaknya nilai kredit yang telah diberikan kepadanya mencapai 50.000.133 gulden Belanda.

Warga Kota Malang antre di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Malang Jawa Timur, Selasa (22/7), untuk menukarkan uang kertas baru untuk Lebaran. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Malang menyiapkan uang Rp 2,7 triliun bagi masyarakat untuk Lebaran.
Dalam situasi krisis itu, posisi DJB Malang tetap kuat. DJB Malang tetap beroperasi, ketika Dewan Direksi DJB memutuskan untuk menutup beberapa kantor cabang DJB di Sumatera dan Jawa. Di Jawa Kantor Cabang DJB Madiun juga menemui nasib serupa meskipun kantor ini baru dibuka pada 21 April 1928, dan ditutup pada 31 Maret 1933.
Pada 1934, di Hindia Belanda muncul kebijakan menggabungkan bank-bank distrik menjadi Bank Perkreditan Umum-AVB. Hal dilakukan demi menyambut geliat masyarakat desa untuk mengajukan kredit ke bank daerah. Setelah AVB berdiri, mereka mendorong pendirian Inlandsche Cooperatieve Crediet Central Toemapel (Koperasi Tumapel) yang mengendalikan 12 bank koperasi di Kota Malang. Sejak akhir 1938 telah ada 43 bank koperasi di bawah kendali Koperasi Tumapel. Anggota koperasi ini bertambah dari 2.136 pada 1932 menjadi 8.628 pada 1938, dengan pertambahan peminjam dari 1995 menjadi 5.274 nasabah.
Situasi ekonomi kembali memburuk pada era pendudukan Jepang. Kelangkaan bahan kebutuhan sehari-hari, pembatasan produk kebutuhan masyarakat, menyebabkan derajat kehidupan masyarakat merosot tajam. Dikisahkan, bahkan seorang pria harus mau mengenakan karung goni sisa bungkus gula sebagai celananya.

Tampak adegan penjajahan tentara Jepang dalam drama kolosal kisah perjuangan Jenderal Soedirman di GOR Goentoer Darjono, Purbalingga, Jawa Tengah, Selasa (4/2/2020).
Kondisi DJB pun cukup tragis karena Jepang membekukan seluruh bank milik Belanda, Inggris, dan China. Berikutnya, bank-bank Jepang yang ada mulai mengambil alih tugas sektor perbankan. Bank-bank DJB diaktifkan kembali sekitar tahun 1946, setelah agresi militer Belanda ke Indonesia.
Pada awal 1950-an, menjelang nasionalisasi, DJB tetap melakukan aktivitas perbankan. Saat itu beberapa perusahaan mengajukan kredit baru atau meneruskan angsuran kredit lama. Perusahaan rokok yang menjadi tempat bekerjanya ribuan orang, mulai berusaha memodernisasi diri dengan memperbarui alat (impor).
Saat itu, untuk mendukung pemulihan industri rokok, DJB memberikan surat pada Gabungan Pengusara Rokok (Gapero) Jawa Timur. Intinya, perusahaan rokok minta kenaikan plasfon kredit dari Rp 500.000 menjadi Rp 2 juta. Dengan berbagai kebijakan, DJB akhirnya menyetujui pemberian kredit, dan industri rokok yang menjadi gantungan ribuan orang itu kembali berjalan.

Kantor Gabungan Pengusaha Rokok Malang (Gaperoma) di Jalan Bromo, Kota Malang. Foto diambil Kamis (18/03/2021).
Selain itu, DJB yang kemudian dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI), yang saat itu menjadi pemilik PG Kebon Agoeng, mengizinkan PG tersebut mememberikan pinjaman tanpa bunga pada pemilik tanaman tebu rakyat (uang muka pembelian tebu). Dengan pemberian uang muka itu, diharapkan PG akan menerima banyak tebu rakyat. Uang muka diberikan adalah Rp 1.500 per hektar. Saat itu, PG Kebon Agoeng merupakan PG terbesar se-Karesidenan Malang.
Peran BI tidak berhenti di sana. Mereka juga memfasilitasi kredit pada usaha pabrik kertas dan percetakan. Pasar kertas tersebut salah satunya adalah pabrik rokok. Perputaran industri di Malang pun berjalan.
Kredit juga diberikan pada usaha dagang grosir barang dan usaha penggilingan padi. Roda ekonomi Malang pun kembali berputar.
Buku
Rekam jejak naik turunnya ekonomi Malang itu terekam dalam buku Dari Rimba Menjadi Kota-Bank Indonesia Dalam Evolusi Malang Raya yang disusun oleh Bank Indonesia Institute (2020). Buku disusun oleh tim BI Institut bersama Sejarawan Universitas Negeri Malang Reza Hudiyanto dan tim. Bedah buku tersebut dilakukan secara daring Selasa (16/03/2021).

Bedah buku Dari Rimba Menjadi Kota-Bank Indonesia Dalam Evolusi Malang Raya yang disusun oleh Bank Indonesia Institute (2020). Buku disusun oleh tim BI Institut bersama Sejarawan Universitas Negeri Malang, Reza Hudiyanto, dan tim. Bedah buku tersebut dilakukan secara daring Selasa (16/3/2021).
Hadir sebagai narasumber bedah buku tersebut Boediono (Wakil Presiden Republik Indonesia 2009–2014), Hariyono (Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Malang dan Wakil Kepala BPIP), dan Reza Hudiyanto M (Dosen Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Negeri Malang sekaligus salah satu tim penyusun buku).
Dari 46 kantor perwakilan Bank Indonesia dalam negeri, terdapat 16 kantor yang punya perjalanan panjang sejak era kolonial Belanda, salah satunya di Malang. De Javasche Bank (Bank Indonesia) Malang pun menjadi saksi sejarah kondisi ekonomi Malang Raya. Dari awalnya tidak dilirik oleh pemerintah kolonial (kalah dari Pasuruan), lalu tumbuh dengan perkebunan, dan kini menjadi pusat industri dan pendidikan.
”Simbolisasi rimba digunakan karena ekonomi Malang saat itu belum terkoneksi dengan ekonomi dunia. Lalu kemudian berevolusi menjadi seperti sekarang ini,” kata Reza Hudiyanto, dosen Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Negeri Malang sekaligus salah satu tim penyusun buku.

Suasana petang di Balai Kota Malang, Jawa Timur, Senin (05/08/2019).
Direktur BI Institute Arlyana Abubakar, mengatakan bahwa terbitnya buku itu sebagai bagian dari institusional memory Bank Indonesia. Institusional memori dinilainya penting sebab bisa memberikan tambahan perspektif dalam membuat keputusan. ”Perekaman memori orang ini bagian dari manajemen pengetahuan, dari yang semula tersebar dan bersifat personal, menjadi terdokumentasi dan tertulis. Sehingga dapat mendorong riset atau kajian selanjutnya. Ini juga untuk memperkaya referensi ekonomi di bidang sejarah ekonomi,” kata Arlyana.
Hariyono Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Malang sekaligus Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) berharap agar sejarah tidak berhenti pada pelestarian fisik. ”Selama ini kita menganggap heritage cenderung berhenti pada tataran fisik. Namun, sebenarnya, harus dikembangkan mengenai kehadiran BI dalam konteks kehidupan di masyarakat sekarang ini,” kata Hariyono.
Salah satu catatan Hariyono dalam membaca sejarah ekonomi Malang Raya tersebut adalah pada masa itu, upaya recovery atau kebangkitan ekonomi bisa berjalan cepat karena ekonomi masyarakat saat itu masih subsisten dan tidak tergantung pada kekuatan ekonomi luar.
”Sekarang kita mengalami pandemi Covid-19. Yang menarik adalah justru yang paling hancur adalah komunitas ekonomi yang berbasis pada wisata atau sektor jasa. Jadi, pelajaran yang bisa dipetik adalah kita diuntungkan dengan ekonomi subsisten. Saudara kita di Malang Raya yang berbasis pertanian dan peternakan akan dengan cepat bisa bergerak pulih. Justru saudara-saudara kita yang di kota dengan basis ekonomi perhotelan, wisata, jasa, sangat menderita,” kata Hariyono. Oleh karena itu, Hariyono memimpikan agar ke depan, sektor ekonomi produktif lebih dikembangkan.
Baca juga: Warga Desa Melenting Bangkit dari Pandemi
Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia tahun 2009–2014, berharap terbitnya buku itu membuka kesadaran bahwa segala sesuatu terjadi karena ada sebab dan akibat. ”Institusional memori ini tujuannya memperbaiki kinerja Bank Indonesia bahwa kalau ada suatu kejadian selalu ada penyebab dan selalu ada akibatnya. Arsip seperti ini perlu dilakukan ke depan. Mungkin tidak dalam bendelan buku dan kertas tebal, tetapi bisa dalam bentuk digital. Esensi dari institusional memori adalah merekam yang terjadi pada masa lampau secara akurat, dengan obyektivitas tinggi, bertujuan untuk menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan kegiatan kebijakan institusi (BI) ke depan,” kata Boediono.
Institusional memori ini tujuannya memperbaiki kinerja Bank Indonesia bahwa kalau ada suatu kejadian selalu ada penyebab dan selalu ada akibatnya. (Boediono)
Menurut Boediono, terbitnya buku itu tidak menyudahi tanggung jawab BI. ”Kalau kita ingin lesson learn (pelajaran) yang relevan untuk kehidupan kita sekarang, institusional memori tadi harus diramu dan diolah lagi, menjadi bahan untuk memberikan pelajaran bagi pejabat-pejabat sekarang yang diberi tanggung jawab. Ini berarti bahwa tak cukup nanti kita menulis secara sistematis pengalaman pada masa lampau, tetapi perlu juga diambil/diunduh pelajarannya dalam bentuk studi kasus. Studi kasus yang dibahas untuk menjadi pedoman atau perspektif pada masa sekarang dan masa mendatang,” kata mantan Gubernur BI tersebut.
Peran BI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat, menurut Kepala Perwakilan BI Malang Azka Subhan, terus dilakukan hingga sekarang. ”Dahulu BI memfasilitasi kredit usaha perkebunan waktu. Kini, BI malang tetap dorong upaya pemulihan ekonomi dengan mendukung UMKM, digital, dan kegiatan-kegiatan lain yang mendukung ekonomi daerah. Digitalisasi ekonomi dengan Qris (quick response code Indonesian standard) menjadi salah satu inovasi di era digital ini,” katanya.
Baca juga: Kisah Para Pemenang Kehidupan

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Malang Azka Subhan menunjukkan buku Dari Rimba Menjadi Kota-Bank Indonesia dalam Evolusi Malang Raya yang disusun oleh Bank Indonesia Institute (2020). Buku disusun oleh tim BI Institut bersama Sejarawan Universitas Negeri Malang, Reza Hudiyanto, dan tim. Bedah buku tersebut dilakukan secara daring Selasa (16/3/2021).