Mengenang Cinta di Kayutangan
Kayutangan bukan tempat biasa. Di sana ada cinta yang menghangatkan.
Maria (80) mengenang Jalan Kayutangan (sekarang Jalan Basuki Rahmat) sebagai tempatnya menatap langsung wajah pemimpin yang dikaguminya. Dari depan tokonya, perempuan keturunan Tionghoa itu menyaksikan Presiden Soekarno melintas.
”Mobil yang dinaiki Presiden Soekarno berjalan pelan-pelan. Pak Karno naik mobil atap terbuka. Dia melambai-lambaikan tangan. Saya bisa melihat langsung beliau. Rasanya senang sekali,” kenang pemilik toko Taman Tembakau Cigar Corner itu, Selasa (15/10/2019).
Maria mengenang, kawasan Kayutangan dahulu sangat ramai. Kini tembakau iris, rokok, cerutu, dan dagangan Maria tak laku setiap hari.
Meski bisnisnya mulai sepi, Maria bertekad tidak akan menutup toko seluas 75 meter persegi itu. Ia ingin meneruskan usaha yang dirintis kakeknya.
Seluruh bangunan tokonya masih asli. Ia sengaja tidak mengganti etalase, lemari, rak, dan interior di dalam toko demi menyimpan potongan asli sejarah keluarganya.
Tidak jauh berbeda, Rudi (62), warga Kelurahan Kauman, merasakan cinta berkelimpahan di Kayutangan. Di balik gedung pertokoan pinggir jalan, Rudi menghuni rumah warisan keluarga, yaitu hamur (rumah) Mbah Ndut. Mbah Ndut adalah ibunda Rudi.
Kini, Hamur Mbah Ndut disulap Rudi menjadi warung kopi. Ia memajang pecah belah koleksi ibunya sebagai hiasan, antara lain piring kuno, cangkir, teko, juga radio, dan peralatan lain. Musik keroncong dan musik easy listening mengalun sepanjang hari dari rumah yang terletak di gang sempit, yang motor pun harus dituntun.
”Semua ini milik ibu saya. Ibu selalu berpesan, lebih baik punya barang pecah belah sendiri daripada saat butuh malah pinjam dan merepotkan tetangga,” ujar Rudi.
Rasa cinta membuat Rudi enggan menjual rumah warisan keluarga. Rudi tinggal sendiri di rumah yang dibangun tahun 1923 itu. Anak-anaknya memilih membeli rumah di luar kampung.
Penanda
Rasa cinta dan kenangan masa lalu bukan saja melingkupi orang yang masih tinggal dan beraktivitas di sana. Dari sejarahnya, gedung di kawasan Kayutangan juga dibangun dengan cinta.
Arsitek Belanda, Karel Bos, tahun 1936 membangun dua gedung kembar sebagai penanda pintu masuk ke Malang Barat (saat ini menjadi perempatan Rajabally). Bangunan itu berdiri kokoh di ujung pintu masuk Jalan Semeru. Saat membangun dua gedung kembar itu, ia terinspirasi anak kembar yang dicintainya. Saat ini kekembaran dua bangunan itu tak terlihat karena tertutup papan reklame besar.
Secara umum, kawasan Kayutangan terbagi dalam dua peruntukan. Zona dagang berada di pertokoan pinggir jalan dan zona permukiman di balik pertokoan.
Menurut buku Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang karya Handinoto dan Paulus H Soehargo (1996), pertokoan Kayutangan dibangun antara tahun 1930 dan 1940.
Umumnya, bangunan di sana bergaya Nieuwe Bouwen, yaitu bangunan berbentuk kubus, beratap datar, dan gevel (bagian atap yang menaungi bangunan) horizontal. Sayangnya tidak banyak sisa arsitektur kolonial itu terlihat. Lagi-lagi papan iklan besar merenggut keelokan bangunan.
Di ujung Jalan Kayutangan tegak menjulang Gereja Katolik Hati Kudus Yesus. Gereja itu merupakan salah satu landskap ikonik kawasan itu.
Gereja dibangun 1905 oleh arsitek Marius J Hulswit, pelopor arsitektur modern di Belanda. Arsitektur gereja bergaya Neogothik yang digandrungi di Eropa pada abad ke-19.
Di sebelah gereja sebelumnya berdiri Gedung Societeit Concordia, gedung pertunjukan kaum berada di era kolonial. Kini, bangunan itu berubah menjadi pusat perdagangan Sarinah.
Di sebelah Sarinah masih kokoh gedung yang dulu disebut Javasche Bank yang didirikan pada 1 Desember 1916. Bangunan itu merupakan salah satu penanda pusat perdagangan di sepanjang area Kayutangan hingga Tjelaket (sekarang bernama Jalan Jaksa Agung Suprapto). Saat ini, bangunan itu menjadi Bank Indonesia Kantor Malang.
Secara umum, Kayutangan sekarang tidak banyak berubah. Masih akan ditemukan bangunan kuno meski di beberapa lokasi mulai ada perubahan. Masih ditemui orang Belanda berjalan kaki di sepanjang trotoar untuk menapak tilas jejak keluarganya.
Pemisahan permukiman masyarakat dampak UU Wilayah (Wijkenstelsel) buatan Belanda pun tersisa samar-samar. Permukiman pribumi berada di perkampungan kota dan di gang-gang padat penduduk di sekitar Kebalen, Jodipan, Talun, dan Klojenlor. Sementara orang Eropa bermukim di wilayah barat daya alun-alun, di tepi jalan besar, seperti Tongan, Sawahan, dan sepanjang Jalan Kayutangan. Adapun permukiman China berada di sekitar Pasar Besar dan Kotalama.
Revitalisasi
Pemkot Malang kini merevitalisasi kawasan Kayutangan sebagai ikon wisata sejarah. Rumah di perkampungan Kayutangan didata dan ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Pemilik bangunan mendapat keringanan/bebas pajak.
Wali Kota Malang Sutiaji memaparkan, tahun ini pihaknya mulai membangun koridor Kayutangan. Pemkot menganggarkan Rp 18 miliar untuk memindahkan median jalan dan memperluas kawasan pedestrian. ”Pemkot Malang serius menggarap Kayutangan,” ucapnya.
Penetapan sebagai cagar budaya membuat warga berbenah. Warga tak lagi menjemur baju di pinggir gang, tapi memindahkan ke dalam. ”Kira-kira setahun ini perkampungan Kayutangan ditata. Dampaknya besar, orang sudah tak buang sampah sembarangan. Kayutangan semakin baik,” kata Edi Hermanto, Ketua RW 009.
”Bapak-bapak pada malam hari lebih senang gotong royong membenahi kampung, seperti mengecat dan memasang lampu atau kegiatan lain,” ujar Rudi.