Berbahasa di media sosial tak semata-mata berkaitan dengan kecermatan atau kecakapan literatif secara digital, tetapi juga ketanggapan untuk tidak mudah percaya bahwa media sosial telah membawa perubahan sosial.
Oleh
A WINDARTO
·3 menit baca
Kompas
Supriyanto
Analisis budaya dari Idi Subandy Ibrahim berjudul ”Kuasa Bahasa di Media Sosial” (Kompas, 30/10/2021) menarik untuk ditanggapi. Sebab, apa yang penting untuk diperhatikan bukan sekadar pergeseran atau bahkan perubahan, berbahasa di media sosial, melainkan juga kuasa bahasa siapa dan macam apa yang sedang dihadirkan di sana. Artinya, berbahasa di media sosial tidak semata-mata berkaitan dengan kecermatan atau kecakapan literatif secara digital, tetapi juga ketanggapan untuk tidak mudah secara renyah percaya bahwa media sosial telah membawa perubahan sosial melalui teknologisasi berbahasa.
Merujuk pendapat Rudolf Mrázek dalam bukunya Engineers of Happy Land, Technology and Nationalism in a Colony (2006), kekuasaan yang dihasilkan oleh teknologi memang amat rawan dan rapuh untuk direkayasakan demi memenuhi kepentingan tertentu. Dengan kata lain, teknologi mampu menumbuhkan dan selanjutnya menginspirasikan, sebuah paradigma kekuasaan yang ampuh.
Penggunaan media sosial (medsos) yang berlebihan pada masa kini adalah contoh bahwa kekuasaan bukan lagi berurusan dengan dunia politik belaka. Namun, hal itu telah menjadi bahasa dalam hidup sehari-hari yang seolah-olah memberikan otoritas kepada siapa pun untuk berbuat apa pun juga. Itulah mengapa di medsos segalanya tampak menjadi serba mekanis dan longgar.
Antara kata dan perbuatan, misalnya. Siapa pun dapat berkata apa pun tanpa ada sensor dari pihak mana pun. Maka tak heran jika ada banyak berita yang memekakkan, komunikasi yang hanya berlangsung satu arah, dan longsoran informasi yang mengubur kemungkinan untuk dapat menangkap makna pesan yang sesungguhnya. Dengan demikian, sebagaimana dikeluhkan Karl Kraus, seorang wartawan di Eropa pada tahun 1930-an: ”Betapa bisingnya segala sesuatu jadinya.”
Sebenarnya kebisingan yang dikeluhkan Kraus hanyalah dari sebuah mainan teknologi dan barang semu yang masih jauh dari campur tangan digital. Namun, justru karena direkayasa sebagai ”perabotan baru yang fantastik”, benda yang disebut radio mampu memberi sebuah petualangan teknologis baru di dalam rumah. Dan hasilnya sebuah ideologi baru terbangun ”untuk mempersatukan Belanda dan Hindia Belanda melalui eter”.
Ideologi inilah yang mampu menghasilkan kekuasaan, kepalsuan, dan kesementaraan sekaligus. Dengan kata lain, segala kecemasan, bahkan ketakutan, dapat diserap tanpa jejak melalui radio yang diharapkan mampu melindungi, menjauhkan, dan mengeluarkan segala ancaman yang nyata. Sebab, berkat radio segala sesuatu akan dibuat sedemikian baiknya sehingga mudah untuk dihidupkan dan dimatikan.
Sementara medsos tampak sudah melampaui dari yang digoreskan, bahkan dijanjikan radio. Meski sama-sama dapat memimpikan dan menikmati kehidupan tanpa perlu pergi keluar dari rumah, medsos yang bersumber dari sistem komputer, gadget, atau internet, dapat sekaligus membebaskan dan mengontrol apa yang dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya.
Bahkan, orang atau organisasi tertentu yang turut memanfaatkan sistem tersebut akan mampu mengenali apa yang diingini, apa yang memotivasi, dan bagaimana reaksi terhadap beragam hal yang disajikan. Jadi, medsos tampaknya tahu lebih banyak daripada radio tentang kita yang sebenarnya lebih tahu mengenai diri kita sendiri.
Di sinilah letak kuasa bahasa di media sosial, yang oleh Nicholas Carr dalam bukunya The Big Switch: Rewiring the World from Edison to Google (2008), justru disebut sebagai ”hamparan hijau dunia sibernetika yang kurang lebih mirip Firdaus baru”. Dalam konteks ini, kasus yang terkait dengan kehadiran hoaks atau buzzer menjadi saat dan tempat yang tepat untuk mengkaji ulang tentang budaya digital.
Itu artinya, perlu ada kerja lintas ilmu (interdisipliner) yang secara jeli mewaspadai digitalisasi dalam hidup sehari-hari. Bukan karena amat berbahaya, melainkan hal itu juga menandai ancaman akan ”hilangnya sejenis generasi”. Generasi yang bukan seperti katak dalam tempurung dengan pemikiran serba sempit, picik, dan duduk anteng tanpa alasan jelas serta merasa berpuas diri, melainkan yang memang berkualitas dengan kreativitas dan inovasi yang tak pernah surut.
Seperti diperingatkan Benedict Anderson dalam bukunya Hidup di Luar Tempurung (2016), ”berkurangnya kerepotan memang suatu berkah, tetapi perlu diingat bahwa mutiara dihasilkan oleh tiram yang repot bersusah payah, bukan tiram riang gembira dengan laptop”. Dan di sinilah ”tempat-tempat keramat” di masa lalu, seperti perpustakaan, masih tetap dibutuhkan agar tidak terjadi lagi pengabaian terhadap beragam peristiwa yang tragis dan ironis hanya karena tak ada gunanya mengingat apa pun, lantaran kita bisa memunculkan ”apa saja” dengan cara lain.
(A Windarto, Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta)