PSBB Malang dan Kisah Karantina Kota di Masa Lalu
Karantina Malang Raya bukan sekali ini dilakukan. Dalam catatan sejarah, Malang pernah ”dikunci” karena wabah pes memorakporandakan tatanan masyarakat saat zaman pendudukan Belanda.
Wilayah Malang Raya hari ini menjalani pembatasan sosial berskala besar (PSBB) guna mengatasi pandemi Covid-19 dan memutus mata rantai penyebarluasan virus. Untuk diketahui, upaya pembatasan sosial tersebut bukan hanya terjadi kali ini saja, melainkan sudah pernah dilakukan di masa lalu.
Kisah serupa PSBB seperti sekarang ini sudah pernah terjadi di era kolonial, tepatnya tahun 1910. Saat itu, terjadi wabah pes di Malang dengan korban yang terus berjatuhan. Tidak ingin kasus terus merajalela, pemerintah kolonial Belanda pun menerapkan karantina wilayah.
”Saat itu namanya bukan lockdown, melainkan karantina wilayah. Ketika itu arus transportasi belum semodern sekarang ini. Karantina wilayah terjadi di beberapa pintu masuk kota, seperti Ngantang, Cangar, Lawang, dan Lumajang. Di titik-titik itu ditempatkan beberapa tentara untuk menjaga arus manusia dan untuk melakukan pemeriksaan,” kata dosen Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang, Reza Hudiyanto, Rabu (13/5/2020). Di Stasiun Lawang, selain pengecekan, penumpang juga disemprot dengan disinfektan.
Ketika itu, wabah pes diketahui muncul pertama kali di Dampit, yang kala itu merupakan distrik dari Turen. Turen, di era kolonial, merupakan salah satu pusat keramaian. Wilayahnya dekat dengan pusat-pusat perkebunan di Malang Selatan. Di Turen, orang Belanda banyak membangun gedung, pabrik, dan permukiman, termasuk gudang-gudang penyimpanan logistik.
Penyakit pes pertama kali ditemukan di gudang beras di Dampit, kemudian dengan cepat menyebar ke gudang-gudang beras lain, seperti Turen, Singosari, Blimbing, Malang, Batu, Gondanglegi, dan Kepanjen. Wilayah-wilayah itu terhubung dengan jalur transportasi kereta api.
”Satu-satunya transportasi massal pada awal abad XX hanya ada kereta api. Setelah ditelusuri, rupanya diketahui bahwa penyakit pes itu terjadi di gudang-gudang beras di sekitar stasiun,” kata Reza.
Baca juga: Menilik Jejak Calon Arang Si Penebar Wabah
Reza menemukan, pes muncul di Malang bermula dari memburuknya kondisi pangan di Jawa Timur pada 1910. ”Kalau boleh dibilang, epidemi pes di Malang saat itu juga karena kontribusi Belanda. Saat itu terjadi kegagalan panen akibat tanah di Jawa terlalu banyak digunakan untuk produksi tebu milik pabrik-pabrik gula Belanda sehingga diputuskan harus impor beras dari Inggris, India, dan China selatan. Rupanya, bersama beras impor itu terbawa pula tikus dengan penyakit pes dan akhirnya menyebar ke gudang-gudang beras di sekitar stasiun kereta api,” kata Reza.
Kala itu, penyebaran pes, menurut Reza, juga terjadi pada bulan puasa. Saat itu terjadi serbuan tikus dalam jumlah besar. ”Tepat pada bulan puasa September tahun 1910, impor beras sangat tinggi masuk ke wilayah Jawa Timur dan di sinilah penularan pes sangat tinggi,” kata dosen yang disertasinya berjudul ”Pemerintah dan Masyarakat Kota Malang 1914-1950”.
Amplitudo Suhu
Kenapa kasus di Malang sangat tinggi? Menurut Reza, mengutip onderzoek atau penelitian, adalah karena Malang memiliki amplitudo suhu tinggi. ”Kalau siang kondisinya panas sekali dan kalau malam dingin sekali. Perubahan suhu dan kelembaban ini liniar dengan pertumbuhan populasi tikus,” kata Reza.
Baca juga: Perubahan Wajah Kota di Balik Wabah
Cukup parahnya wabah pes kala itu menyebabkan kondisi masyarakat sangat memprihatinkan. ”Korban cukup besar karena memang jangkauan layanan kesehatan tidak sebagus sekarang. Pagebluk itu sangat mengerikan karena digambarkan sore mulai menderita panas, esok paginya sudah lepas (meninggal). Itulah mengapa pada zaman dahulu, orang punya banyak anak. Hal itu untuk berjaga-jaga jika ada pagebluk, masih ada anak yang hidup untuk meneruskan keturunan,” kata Reza.
Meski wabah pes tersebut sempat ditutup-tutupi oleh pemerintah kolonial Belanda, menurut Reza, pada akhirnya mereka harus mau turun tangan mengatasi wabah tersebut agar tidak semakin malu.
”Awalnya sengaja berita terkait itu tidak diberitakan karena pemerintah kolonial harus jaga image. Sebab, setelah politik etis tahun 1903, Belanda ingin menampakkan diri sebagai representasi orang Eropa kulit putih yang harus memperadabkan pribumi (white man burden). Jika ada sesuatu yang terjadi pada orang pribumi, si penjajah bisa dipersalahkan sebagai tidak becus mengurus bangsa yang dia jajah,” kata Reza.
Itu sebabnya, Pemerintah Belanda berupaya keras menghentikan wabah tersebut. Dalam buku In het Kromo Groote Land. ”Over het Vraagstuk van het Wonen in Kromo\'s Grotte Land Derde deel 1920-1921”, Reza mengatakan ada beberapa langkah yang dilakukan Belanda untuk mengatasi wabah pes. Di antaranya dengan menyemprotkan gas ke rumah dengan residu petroleum dan setelah empat hari rumahnya baru boleh ditempati, meminta anak sekolah menjemur baju mereka sebelum masuk sekolah, vaksinasi pes, dan membakar rumah yang ditinggalkan karena disimpulkan menjadi sumber pes. ”Pembakaran rumah itu merupakan langkah terakhir jika disinfektan tidak mencukupi,” kata Reza.
Baca juga: Seabad Wabah Maut Flu Spanyol di Nusantara
Selain itu, untuk mencegah wabah pes meluas keluar daerah, beberapa hal juga dilakukan. ”Yaitu menyekat perbatasan guna mengendalikan barang dan orang dengan tujuan melokalisasi wabah, memberantas pes di wilayah epidemi, serta ditindaklanjuti dengan membangun dinas karantina di pelabuhan. Stasiun karantina itu juga didirikan di perbatasan Malang-Pasuruan,” katanya. Belanda harus berjuang melawan wabah pes tersebut selama hampir setahun.
Sekilas, upaya yang dilakukan Belanda saat itu tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan pemerintah saat ini dalam mengatasi Covid-19. Hanya bedanya, PSBB pada masa lalu, menurut Reza, tidak jelas disebutkan sanksi bagi pelanggar.
”Untuk straffen (hukuman) pada pelanggar tidak disebutkan dalam laporan penelitian yang ada. Ini diduga karena kecil kemungkinan orang melanggar dengan sengaja pada masa kolonial. Masyarakat pada zaman itu tidak sebandel sekarang,” kata Reza.
Selama ini, menurut Reza, kolonialisme selalu menggambarkan orang Jawa sebagai bangsa penurut, tidak pernah berontak (sejak berakhirnya Perang Diponegoro). ”Jika berani melawan, bisa langsung digantung. Kalau bangsawan, sudah tidak ada lagi yang berani melawan setelah tahun 1830. Sebab, bisa-bisa ia dibuang ke luar Jawa. Ini justru sebuah hukuman yang sangat mengerikan,” katanya.
Baca juga: RSPI Sulianti Saroso: Saksi Penanganan Sampar di Indonesia
Menurut Reza, perjuangan mengatasi pandemi Covid-19 kali ini jauh lebih berat dibandingkan dengan mengatasi wabah pes pada masa itu. ”Meskipun layanan medis dan jaringan komunikasi sekarang lebih bagus, kepadatan penduduk jauh lebih tinggi. Ditambah lagi, resistensi terhadap langkah penanggulangan pandemi cukup kuat. Juga adanya kerawanan sosial yang muncul sangat tinggi, mengingat penduduk sekarang lebih ’bandel’ jika dibandingkan dengan penduduk Jawa pada 1910,” katanya.
Strategi perang
Selain untuk mengatasi penyakit, pembatasan sosial juga pernah dilakukan era Kerajaan Majapahit saat pemerintahan Raja Jayanegara. Saat itu, pada masa pemberontakan Kuti-Semi (tahun 1300-an), Kitab Pararaton menyebut Gadjah Mada menyelamatkan Jayanegara ke Desa Badander (di sekitar Jombang).
”Oleh karena sifatnya diselamatkan atau disembunyikan, maka Gadjah Mada memberlakukan aturan ketat bagi orang-orang yang ada di sekitar Badander saat itu. Orang yang keluar-masuk tempat persembunyian itu diperiksa ketat. Bahkan, ada kisah saat ada satu orang diutus untuk melihat situasi di pusat kerajaan yang saat itu dikuasai Kuti-Semi, utusan itu diminta pergi hari itu dan harus kembali hari itu juga. Jika tidak, ia akan dikejar dan dibunuh,” kata Dwi Cahyono, sejarawan Universitas Negeri Malang.
Menurut Dwi, strategi itu dinilai cukup berhasil karena tempat persembunyian Jayanegara tetap aman hingga akhirnya Gadjah Mada berhasil membuat strategi melumpuhkan pemberontak.
Dari dua kisah di atas tampak bahwa setiap upaya mengatasi masalah selalu butuh pengorbanan dan pembatasan-pembatasan. Membatasi gerak orang, membatasi wilayah, dan membatasi arus barang.
Baca juga: Melihat Struktur Batu Bata Kuno Era Majapahit di Desa Sugihwaras, Jombang