Kota Malang dalam Penggalan Kisah Sastra
Meski belum seterkenal kota lain, tapi beberapa kali Malang disebut-sebut dalam karya sastra. Munculnya sebuah kota atau daerah di sebuah karya sastra, adalah salah satu cara penulis untuk menyoroti kondisi sebuah kota.
Seperti engkau berbicara di ujung jalan
(waktu dingin, sepi gerimis tiba-tiba
seperti engkau memanggil-manggil di kelokan itu
untuk kembali berduka)…
Sebait puisi Sapardi Djoko Damono tersebut berjudul ”Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang”. Puisi yang dibuat tahun 1968 tersebut menggambarkan Jalan Jakarta Malang dengan kerinduan yang muncul di antara gerimis, kelokan jalan, dan kesepian. Kenangan itulah yang sejatinya muncul bagi si penulis, di antara pepohonan mahoni besar yang menjulang kokoh sejak puluhan tahun lalu.
Di sebelah Jalan Jakarta, pada era kolonial, merupakan area pacuan kuda. Dalam buku Pekembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang karya Handinoto dan Paulus H Soehargo (1996), disebutkan bahwa lapangan pacuan kuda tersebut masuk dalam rencana pembangunan kota oleh gementee Malang ke-7 atau (Bouwplan VII) dari delapan rencana yang ada. Rentang delapan rencana pembangunan itu adalah antara tahun 1917-1929.
Baca Juga: Perempuan dan Kisah yang Mencatatnya
Hingga agresi militer Belanda II tahun 1947, pacuan kuda tersebut masih ada. Hal itu terungkap dari pengakuan pejuang TRIP, yang pada agresi tersebut, mereka harus berjuang di antara desing peluru Belanda di kawasan tersebut hingga puncaknya di Jalan Salak.
Tahun 1960-an, secara perlahan, lapangan pacuan kuda tersebut mulai beralih kepemilikan dan mulai muncul perumahan elit. Sejumlah sumber menjelaskan bahwa tahun 1990-an, lapangan pacuan kuda tersebut benar-benar sirna tanpa bekas.
Apakah puisi Sapardi tersebut terkait dengan kerinduan akan hadirnya ruang terbuka dengan kisah heroisme TRIP di sekitar Jalan Jakarta? Atau hanya sekadar kerinduan pribadi penulis? Semuanya mungkin saja.
Dalam kisah berbeda, penulis perempuan asal Malang, Ratna Indraswari Ibrahim, pernah menyuarakan kritik dan suara hatinya atas alih fungsi hutan kota lahan eks kampus Akademi Penyuluh Pertanian (APP) di kawasan Tanjung, Sukun, melalui novelnya berjudul Lemah Tanjung.
Kasus alih fungsi hutan kota tersebut terjadi pada serentetan tahun 1990-an hingga awal tahun 2000-an. Menurut berbagai catatan yang ada, hutan kota Tanjung atau biasa disebut Lambau (dari kata landbouw) tersebut, benar-benar rata dengan tanah pada tahun 2002.
Kini, hutan kota Lambau tersebut menjadi perumahan elit berharga miliaran rupiah, dengan keberadaan hotel mewah di sana.
Baca Juga: Mengembalikan Malang Kota Taman
Jika sasaran tembak puisi Sapardi di atas masih samar-samar, tidak halnya dengan novel Ratna tersebut. Perempuan penulis yang duduk di kursi roda itu, bersama sejumlah aktivis, saat itu turut berjuang memertahankan hutan kota APP. Meski perjuangan mereka gagal, tetapi Ratna menyampaikan kesedihan dan kritiknya melalui novel. Ia menjadikan novelnya sebagai bukti sejarah, bagaimana lingkungan selalu dengan mudah ”diperjualbelikan” demi kekayaan segelintir orang.
Karya sastra tentang Malang juga muncul dalam kumpulan cerpen Iman Suwongso berjudul ”Si Jujur Mati di Desa Ini” (2017). Di dalamnya beberapa kali muncul latar tempat seperti Gunung Kawi dan desa-desa di Kabupaten Malang. Dalam cerpennya, Iman berusaha melukiskan keindahan Malang di mana di sisi barat bisa melihat Gunung Kawi, di mana langit sekitarnya akan memendar kemerahan saat senja. Keelokan Malang tersebut tampak dari cerpen ”Senja Merah Mak Ram”.
Iman terlihat berusaha menyuguhkan Malang bukan sekadar sebagai latar tempat, tetapi lebih jauh, menonjolkan pesona alam Malang di mana teramu dalam kesahajaan hidup warga desa di sana.
Lebih menarik lagi, pada cerpen ”Di Ujung Jalan”, Iman menceritakan soal budaya Panji. Budaya Panji di Malang mewujud dalam beberapa seni termasuk seni Topeng Malangan. Tampak penulis berusaha menunjukkan pada pembaca mengenai jenis Topeng Malangan seperti topeng Gunung Sari.
Baca Juga: Melihat Desa melalui Cerita Pendek
Gambaran
Kisah tentang Malang juga muncul dalam kumpulan cerpen Aloer-Aloer Merah karya Ardi Wina Saputra (2017). Dalam salah satu cerpen di dalamnya berjudul ”Rawis”, penulis mengisahkan Gunung Kawi yang magis sehingga si tokoh yang bertapa di sana bisa menjelma kuda putih dan akhirnya memiliki kekuatan membalaskan dendam atas kematian istri dan anaknya.
Pada kenyataannya, sampai sekarang Gunung Kawi memang salah satu tempat di Kabupaten Malang yang tidak pernah sepi pengunjung. Mereka datang ke sana dengan maksud berbeda-beda. Tidak jauh berbeda dengan gambaran cerpen Aloe-Aloer Merah tersebut.
Sebuah kota muncul dalam karya sastra biasanya untuk menyoroti permasalahan di kota tersebut.
Beberapa lokasi di Malang juga tergambar dalam buku Janji Pelangi karya Fahrul Khakim (2017). Di sana beberapa lokasi di Malang dengan gamblang dituliskan seperti Pabrik Gula Krebet, Kota Batu, pantai di Malang selatan, dan lainnya. Tampak jelas bahwa penulis ingin mengangkat berbagai hal yang ada di Malang.
”Saya menulis dengan latar Malang karena memang sangat jarang fiksi popular yang bercerita tentang Kota Malang. Itu sebabnya saya menulisnya,” kata Fahrul Khakim.
Apa pun alasannya, munculnya sebuat kota di dalam sebuah karya sastra memiliki makna tersendiri. Baik bagi si penulis maupun bagi kota itu sendiri.
Baca Juga: Tugu Alun-alun Bunder Malang dan Simbol Perjuangan yang Berulang
Dosen Sastra Inggris Universitas Ma Chung Wawan Eko Yulianto mengatakan bahwa penulis menulis tentang sebuah kota biasanya adalah karena ada hal menarik ingin disoroti, baik secara personal maupun sosial.
”Sebuah kota muncul dalam karya sastra biasanya untuk menyoroti permasalahan di kota tersebut. Atau, bisa jadi permasalahan itu punya arti personal maupun sosial bagi si penulis. Di sanalah fungsi sastra, yaitu untuk memaknai kehidupan dan mempertanyakan akan hal yang patut disoroti,” kata Wawan. Ia mengatakan itu beberapa waktu lalu dalam Webinar Idrek For Humanity: Screen Capturing Malang yang digelar atas kerja sama Universitas Negeri Malang, Universitas Ma Chung, dan Universitas Brawijaya.
Bagi Wawan, mengajarkan orang mengenal sejarah dan budaya, juga bisa melalui karya-karya sastra. Mengenal sejarah Mesir, misalnya, dengan novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
”Dan terpenting adalah, dengan sebuah kota atau daerah disebut dalam karya sastra, maka hal itu bisa menjadi penggerak perkembangan kota tersebut. Misalnya menggerakkan ekonomi di sana. Contohnya tampak pada cerita Laskar Pelangi di mana latar tempatnya adalah di Belitung. Setelah Belitung ditulis dan kemudian difilmkan, maka pariwisata dan ekonomi di sana terus membaik,” kata Wawan.
Pada akhirnya, karya sastra tidak sekadar berisi cerita. Lebih jauh, ia memaknai dan menyoroti hal-hal yang butuh diketahui banyak orang.
Baca Juga:Mengenang Cinta di Kayutangan