Cerita Korban Perdagangan Anak, Bukan Semata Uang, tapi Butuh Kasih Sayang
Pemicu awal anak jadi korban perdagangan orang belum tentu faktor ekonomi. Bahkan, investigasi Harian Kompas mendapati ada anak dari keluarga yang serba berkecukupan jadi korban prostitusi.
Oleh
JOG/DIV/FRD/ILO
·4 menit baca
Keinginan TA (16) untuk jajan semasa bersekolah relatif senantiasa terpenuhi karena ibunya memberikan uang saku Rp 50.000 setiap hari. Remaja putri asal Depok, Jawa Barat, ini juga tak pernah merepotkan orang tuanya dengan permintaan yang menguras biaya. Ia bahkan rajin menabung.
Ibu TA bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan swasta di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Ayah tirinya memiliki warung makan. Bukan keluarga kaya, tetapi kebutuhan mereka tercukupi.
Meski sekilas keluarga TA tergolong ideal, bukan berarti tidak ada kemungkinan dia lepas dari jebakan perdagangan anak. Nyatanya, polisi membongkar prostitusi daring yang turut melibatkan TA sebagai korban.
Apa kurangnya pemberian dari orang tua sehingga TA nekat minggat dan menjadi pekerja seks? “Aku mah jujur nih ya, enggak pernah namanya yang minta uang atau ini itu. Cuma, aku tuh pengennya kasih sayang,” ucap TA saat ditemui pada Januari lalu.
TA mencontohkan, ia selalu iri dengan teman sekolahnya yang makan bekal buatan ibu mereka. Ia tak pernah mencecap pengalaman serupa karena ibu dan ayahnya selalu sudah tak terlihat sewaktu ia bangun tidur.
Di tengah perjumpaan fisik yang langka, orangtua TA berupaya tetap menjalankan peran mendidik anak lewat perintah-perintah yang mengekang. Ibu TA, terutama, melarangnya keluar nongkrong dengan teman-teman.
“Pulang sekolah, makan, tidur siang, sore bangun, solat, makan, belajar. Enggak ada waktu buat main,” ujar TA. Sang ibunda berkata, anak perempuan tidak boleh ngelayap ke mana-mana.
Hukuman yang melukai hati pernah dialami TA karena pulang terlambat. Ketika sibuk membuat properti untuk masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS), atau dulu dikenal sebagai masa orientasi siswa (MOS), ia baru sampai di rumah menjelang malam, ayah dan ibunya menyiram tubuhnya hingga basah kuyup.
TA tak tahan lagi. Ia keluar dari rumah dan menjalani profesi sebagai penjaja seks dengan bantuan calo serta aplikasi daring demi memenuhi kebutuhan hidup. Dunia prostitusi sudah dikenalnya sejak sekolah menengah pertama karena bergaul dengan teman yang sudah lebih dulu melayani pria hidung belang.
Faktor non ekonomi juga jadi pemicu pertama bagi AL untuk terlibat dalam prostitusi. Pemuda 17 tahun ini menjadi joki bagi pekerja seks yang minta dicarikan tamu, termasuk bagi TA.
Memang, AL pindah profesi karena menjadi joki pekerja seks lebih “cuan” dibanding pekerjaan sebelumnya sebagai mekanik bengkel. Ia diupah Rp 1,8 juta per bulan semasa jadi montir, sedangkan selama jadi joki bisa meraup setidaknya Rp 100.000 per hari atau Rp 3 juta per bulan. Namun, ia mengakui, seandainya akur dengan bibinya, ia yakin tidak akan terjebak di dunia prostitusi.
AL sejak kecil tinggal di rumah bibi di Bogor, Jawa Barat. “Kasar orangnya, dari omongan. Kalau benar-benar marah, mukul,” tuturnya.
Ia sering kabur dari rumah bibinya dan pergi ke tempat kawan. Lalu, di bulan Februari 2022, ia tak sanggup lagi menahan diri dan memilih pergi untuk seterusnya. Pendidikan di kelas dua sekolah menengah kejuruan jurusan otomotif ia tinggalkan dan bekerja di bengkel jadi penopang hidup.
Suatu waktu, teman AL mengajak main ke Depok. Rupanya, teman dia menjadi joki pekerja seks memanfaatkan aplikasi Michat. AL diajari membalasi pesan dari calon pelanggan di aplikasi itu, dan belajar untuk membuat kesepakatan transaksi. Ia keterusan, bahkan pernah menjadi perantara buat pacarnya yang juga berusia 17 tahun.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Ai Maryati Solihah menuturkan, perdagangan anak bisa menyasar putra-putri dari beragam latar belakang, termasuk anak dari keluarga yang relatif mapan.
Cuma, aku tuh pengennya kasih sayang. (TA, 16 tahun)
Naik kelas
Dalam pandangan Ai, fenomena itu menunjukkan orang tua mesti “naik kelas” dalam hal pola asuh. Setidaknya ada tiga macam pola asuh, yaitu pola asuh permisif yang serba membolehkan, pola asuh otoriter yang serba memerintah dan melarang, kemudian pola asuh demokratis yang memadukan keduanya.
Dalam pola asuh demokratis, orangtua tidak melepaskan kontrol terhadap anak dan mengedepankan dialog sehingga mau mendengar aspirasi anak.
Namun, bisa jadi keluarga pun sulit diandalkan untuk memastikan anak terlindung dari perdagangan seperti pada kasus AL. Jika demikian, menurut sosiolog Universitas Airlangga Prof Bagong Suyanto, penting juga adanya sistem dukungan komunitas.
“Mengandalkan dukungan komunitas. Kelompok pengajian misalnya bisa dimintai untuk membuat orang tua lebih peka, yang bisa bersahabat dengan anak,” ucap Bagong.