Anak yang terlibat dalam pusaran perdagangan anak rentan kembali ke dunia yang sama. Diperlukan penanganan yang tepat untuk mencegah hal itu terjadi.
Oleh
ILO/DIV/FRD/JOG
·5 menit baca
ARSIP KOMPAS
Sejumlah anak berhadapan dengan hukum (ABH) sedang menjalankan shalat berjamaah di Yayasan Bina Sejahtera Indonesia (Bahtera) Bandung, Jawa Barat pada Rabu (18/1/2023)
Bangunan berwarna hijau di kawasan Batununggal, Bandung, Jawa Barat sekilas nampak seperti rumah biasa. Tak ada teralis besi di jendela atau pun pos penjagaan di depan rumah. Rabu (18/1/2023) siang, pintu dan pagar rumah juga dibiarkan terbuka.
Di rumah yang dikelola oleh Yayasan Bina Sejahtera Indonesia (Bahtera) Bandung inilah anak yang berhadapan dengan hukum menjalani rehabilitasi sosial. Mereka mengikuti beragam program pendampingan sebelum dikembalikan kepada keluarga.
Anak-anak yang tengah menjalani rehabilitasi di Yayasan Bahtera berasal dari beragam latar belakang kasus. Mulai dari kasus perdagangan orang, pembunuhan, pencabulan, hingga perampokan. Di antara mereka ada yang masih menjalani proses hukum, ada pula yang menjalani masa hukuman.
Anehnya, tak satupun anak yang pernah mencoba kabur dari Yayasan Bahtera meski tak ada penjagaan ketat disana. Hal ini terjadi karena anak-anak menganggap tempat tersebut selayaknya rumah. Kehangatan dari "keluarga" baru mereka rasakan di sana.
ARSIP KOMPAS
Anak-anak yang berhadapan dengan hukum menjalani rehabilitasi di rumah aman Yayasan Bahtera, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (18/1/2023). Selain mendapat konseling, mereka juga memperoleh pelatihan keterampilan menjadi mekanik sepeda motor.
Di mata salah satu anak, KI (17) misalnya, kabur menjadi pilihan yang tidak bertanggung jawab. Pandangannya ini amat lumrah, mengingat selama enam bulan di sana, pendamping terus menanamkan rasa tanggung jawab pada dirinya. Hal ini sekaligus membuatnya tak ingin mengulangi perilaku buruknya di masa lalu.
"Di sini semuanya dianggap saudara. Kami makan bersama, tidur bersama. Benar-benar seperti keluarga. Kalau sedih tinggal curhat ke siapa pun," ungkapnya.
Menurut Child Protection Specialist Yayasan Bahtera Faisal Cakra Buana, para pendamping memang sengaja menciptakan atmosfer rumah bagi para anak. Mereka berupaya menciptakan lingkungan senyaman mungkin agar anak tidak merasa jenuh dan punya niatan kabur.
Selain memberikan konseling, para pendamping juga selalu berupaya untuk menghormati harga diri dan martabat anak. Setiap hari mereka diberikan senyuman, sapaan, candaan, hingga tatapan yang ramah. Lewat cara ini, mereka percaya embrio perubahan perilaku anak akan terbentuk.
ARSIP KOMPAS
Anak-anak yang berhadapan dengan hukum menjalani rehabilitasi di rumah aman Yayasan Bahtera, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (18/1/2023). Selain mendapat konseling, mereka juga memperoleh pelatihan keterampilan menjadi mekanik sepeda motor.
Faisal menilai kesalahan yang dilakukan oleh anak tak lepas dari pola asuh yang salah dari orangtua. Anak menjadi tidak nyaman berada di rumah hingga akhirnya berbuat onar. Dari sini Yayasan Bahtera mencoba menerapkan pengasuhan ulang berbasis rumah agar perilaku mereka berubah.
"Setiap anak yang melakukan tindak pidana adalah anak yang mengalami traumatik. Proses rehabilitasi ini adalah menekan traumatik, agar perilaku buruknya terpendam," ujarnya.
Perubahan perilaku ini idealnya juga dilakukan oleh keluarga inti dari anak yang berhadapan dengan hukum. Tanpa hal itu, perilaku buruk anak dapat kembali muncul sewaktu-waktu. Oleh sebab itu, orangtua juga harus diberikan pendampingan.
Setiap anak yang melakukan tindak pidana adalah anak yang mengalami traumatik. Proses rehabilitasi ini adalah menekan traumatik, agar perilaku buruknya terpendam
"Anak tidak akan mengubah perilaku selama orangtua tidak mengubah perilaku. Jika orangtua tidak mengubah perilaku, pendampingan gagal sebenarnya. Meski dilakukan dengan seabrek program selama berbulan-bulan," tambah Faisal.
Dalam kurun waktu tertentu, pendamping juga akan melakukan reintegrasi sosial antara anak dengan orangtuanya. Proses ini memberikan kesempatan bagi anak untuk kembali ke rumah selama beberapa hari. Tujuannya adalah untuk melatih kembali hubungan orangtua dan anak.
ARSIP KOMPAS
RV (17), salah satu anak yang menjalani rehabilitasi di Balai Rehabilitasi Anak Sentra Handayani Jakarta sedang mengikuti pelatihan salon pada Kamis (12/1/2023).
Bekal keterampilan
Kunci keberhasilan lain untuk mencegah anak kembali ke perilaku melawan hukum adalah dengan memberi bekal keterampilan. Lewat cara ini, anak dapat berdaya dan meninggalkan ketergantungan pada dunia hitam yang sempat melenakan mereka.
Upaya ini diberikan oleh Balai Rehabilitasi Anak Sentra Handayani dari Kementerian Sosial kepada anak-anak yang terlibat kasus hukum. Pelatihan keterampilan menjadi pelengkap dari program pendampingan kesehatan, sosial, dan psikologis.
Pada Kamis (12/1/2023) siang misalnya, RV (17), salah satu anak yang menjalani rehabilitasi di Sentra Handayani tengah mengikuti kelas salon. Dibanding tiga anak lain di kelas yang sama, dia terlihat paling bersemangat. Di hari keempatnya mengikuti pelatihan itu, dia belajar melakukan creambath.
"Sebelum ada di sini memang udah pengen banget kerja di salon. Cuma kan kalau belajar sendiri kan mahal. Semoga setelah dari sini beneran bisa kerja di salon," ungkapnya.
ARSIP KOMPAS
AL (17), joki prostitusi daring asal Kota Bogor, Jawa Barat tengah mengikuti pelatihan mekanik di salah satu rumah aman di Jakarta, Kamis (12/1/2023).
RV menjalani rehabilitasi di Sentra Handayani karena sebelumnya terlibat dalam kasus prostitusi daring. Dia mengaku menjajakan dirinya lewat aplikasi Michat dengan tarif minimal Rp 300.000 per kencan. Tanpa pembekalan keterampilan salon ini, RV sangat mungkin tergiur untuk masuk ke dunia prostitusi kembali.
Menurut Mini Wahyuni (53) selaku mentor kelas salon di Sentra Handayani, butuh kesabaran dan pendekatan khusus dalam melatih anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab, tidak semua anak memiliki semangat untuk mengasah keterampilan salon tersebut.
"Untuk perempuan biasanya saya kasih motivasi bahwa perempuan itu harus mandiri. Mereka biasanya merasa minder. Makanya kita harus punya keterampilan supaya percaya diri," ujar perempuan yang sudah 16 tahun menjadi mentor ini.
ARSIP KOMPAS
Mentor kelas salon di Balai Rehabilitasi Sentra Handayani Jakarta, Mini Wahyuni (Tengah) saat sedang memberikan contoh teknik creambath kepada anak didiknya pada Kamis (12/1/2023).
Kendati demikian, tidak sedikit anak-anak didikan Yuni yang sukses berkarir di luar. Anak-anak tersebut biasanya akan diberikan pelatihan selama lima bulan dan satu bulan praktik kerja lapangan (PKL) sebelum dicarikan pekerjaan.
"Ada tiga anak yang sukses membuka barbershop sendiri. Anak-anak saya banyak yang berhasil," katanya.
Tekad yang sama juga ditunjukkan oleh VN (17), yang sebelumnya pernah menjadi joki prostitusi daring untuk teman sebayanya. Dia mengaku ingin meninggalkan dunia prostitusi dan beralih menjadi montir lewat pelatihan otomotif di Sentra Handayani.
"Di sini semuanya dianggap saudara. Kami makan bersama, tidur bersama. Benar-benar seperti keluarga. Kalau sedih tinggal curhat ke siapa pun,"
Identitas baru
Sosiolog Universitas Airlangga Bagong Suyanto menilai, model rehabilitasi yang dibutuhkan oleh anak yang terjerumus pada dunia prostitusi tidak hanya melingkupi aspek psikologis. Anak harus diarahkan untuk memiliki identitas baru. "Jadi memang perlu identitas baru. Karena itu salah satu penyebab yang membuat mereka balik lagi. Ketika ada reaksi penolakan dari masyarakat dan mereka merasa risiko untuk kembali besar sekali," katanya.