Bahas Laut China Selatan, Menlu ASEAN Cari Strategi Baru Berunding dengan China
Pertemuan para menlu ASEAN di Jakarta menghasilkan tekad negara-negara ASEAN untuk menemukan strategi baru guna mempercepat proses perundingan dengan China mengenai panduan tata perilaku di Laut China Selatan.
Oleh
KRIS MADA DAN LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menyampaikan keterangan pers terkait Retret Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN atau ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM) Retreat di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Sabtu (4/2/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN menginginkan penyelesaian secepatnya perundingan untuk menyepakati panduan tata perilaku di Laut China Selatan. ASEAN bertekad untuk tetap fokus menjaga perairan kawasan sebagai tempat yang damai dan bebas dari nuklir. ASEAN juga cemas pada peningkatan ketegangan di kawasan.
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengatakan, putaran lanjutan perundingan panduan tata perilaku (code of conduct/COC) itu akan digelar pada Maret 2023 di Jakarta. ”Komitmen anggota untuk menuntaskan perundingan COC secepatnya amat jelas, sembari tetap mengingat pentingnya memiliki COC yang substansial, efektif, dan dapat dijalankan,” ujarnya selepas pertemuan para menlu ASEAN, Sabtu (4/2/2023), di Jakarta.
Isu Laut China Selatan menjadi pokok bahasan dalam Dewan Koordinasi ASEAN (ACC) dan Pertemuan Para Menlu ASEAN (AMM) di Jakarta, Jumat dan Sabtu (3-4/2/2023). Dari 53 paragraf pernyataan Ketua ACC dan AMM 2023, lima paragraf secara khusus membahas perkembangan Laut China Selatan.
”Kami mencatat perlunya menemukan strategi atau pendekatan baru untuk mempercepat proses perundingan COC,” demikian tercantum di paragraf 47.
Negara-negara anggota ASEAN juga berkomitmen terus mendorong penerapan deklarasi panduan perilaku (declaration of conduct/DOC) Laut China Selatan. Berunding sejak 1997, ASEAN dan China menyepakati DOC pada 2002. Pada tahun itu pula COC mulai dirundingkan.
Setelah 17 tahun berunding, ASEAN-China menyepakati naskah bersama yang akan dirundingkan. Pembahasan naskah itu dimulai pada 2019 dan terhenti pada 2020-2021 akibat pandemi. Pada 2022, perundingan kembali dimulai.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi membuka Pertemuan Dewan Koordinasi ASEAN (ACC) dalam rangkaian Retret Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN atau ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM) Retreat di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Jumat (3/2/2023).
Dalam pernyataan Ketua ACC dan AMM 2023 ditegaskan pula bahwa para menlu ASEAN menyatakan keprihatinan atas reklamasi dan insiden serius di Laut China Selatan. Mereka menganggap semua itu memangkas kesalingpercayaan dan menaikkan ketegangan. Kondisi itu buruk bagi kestabilan dan kedamaian kawasan.
Hindari militerisasi
ASEAN sekali lagi menekankan pentingnya menghindari militerisasi perairan tersebut. Penekanan ini disampaikan di tengah meningkatnya pengerahan persenjataan China serta Amerika Serikat dan sekutunya di perairan itu. Pesawat tempur dan kapal perang AS-China bolak-balik nyaris bersenggolan di Laut China Selatan dan di atas lautan itu.
Empat negara ASEAN, yakni Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam, plus Taiwan terlibat sengketa klaim atas perairan Laut China Selatan dengan China. Pada Kamis (2/2/2023), Pemerintah Filipina memberikan akses perluasan kehadiran militer AS di empat pangkalan atau kamp militer di negara itu.
Akses bagi kehadiran militer AS di empat pangkalan di Filipina tersebut akan memberikan peluang mereka berhadapan langsung dengan militer China yang secara aktif hadir di Laut China Selatan dan bahkan terus membayangi Taiwan. Sebagian pangkalan itu berhadapan dengan pangkalan-pangkalan China di daratan hasil reklamasi di Laut China Selatan. Menurut rencana, jumlah lokasi pangkalan untuk militer AS masih akan bertambah.
Para menlu ASEAN juga kembali menekankan Asia Tenggara sebagai kawasan bebas dari nuklir. ASEAN akan terus berkomunikasi dengan semua pemilik senjata nuklir untuk memastikan kawasan Asia Tenggara bebas dari berbagai bentuk senjata pemusnah massal, termasuk nuklir.
Isu tersebut diangkat di tengah upaya AS-Inggris membantu Australia membuat hingga delapan kapal selam bertenaga nuklir. AS juga mengumumkan akan menempatkan sejumlah pesawat pengebom di Australia. Pesawat itu bisa mengangkut bom nuklir.
Proses bilateral
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kemenlu RI Sidharto Suryodipuro mengatakan, COC akan tetap menjadi fokus untuk dijadikan mekanisme peredaan ketegangan dan menghindari kesalahpahaman. COC tidak dimaksudkan menjadi mekanisme penyelesaian sengketa di perairan. ”Penyelesaian tetap melalui proses bilateral,” katanya.
Sebagian anggota ASEAN saling mengklaim kepemilikan atas perairan di Laut China Selatan. Selain dengan sesama ASEAN, tumpang tindih klaim juga terjadi dengan China. Indonesia, antara lain, saling klaim dengan Vietnam. Hanoi-Jakarta telah menyepakati batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) masing-masing pada Desember 2022.
Sidharto menekankan, penyelesaian sengketa dan perundingan COC tetap berpijak pada hukum internasional. Indonesia, antara lain, merujuk pada putusan Mahkamah Arbitrase Internasional pada 2016. Kala itu, atas permintaan Filipina, mahkamah berfatwa bahwa daratan hasil reklamasi di Laut China Selatan tidak bisa dijadikan dasar klaim perairan. China menolak mengakui fatwa itu, sementara Indonesia dan berbagai negara lain menerimanya.
PHILIPPINE COAST GUARD/NATIONAL TASK FORCE-WEST PHILIPPINE SEA VIA AP
Dalam foto per 7 Maret 2021 yang disediakan oleh Penjaga Pantai Filipina, beberapa unit dari 220 kapal China terlihat ditambatkan di Whitsun Reef, Laut China Selatan. Kapal-kapal itu dilaporkan telah membuang kotoran manusia dan limbah di wilayah Laut China Selatan yang disengketakan.
Indonesia juga menekankan pentingnya kepatuhan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa soal Hukum Laut Internasional (UNCLOS). Perundingan ZEE dengan Vietnam juga berpijak pada UNCLOS.
ASEAN harus satu suara
Peneliti Tim Kajian ASEAN di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Faudzan Farhana, mengatakan, kekompakan ASEAN sangat penting dalam menegosiasikan COC Laut China Selatan dengan China. ASEAN memang tidak berhak ikut campur dalam penentuan batas geografis suatu negara, termasuk anggota sendiri. Akan tetapi, ASEAN harus satu suara dalam menentukan isi COC sebelum diserahkan ke hadapan China dan mulai bernegosiasi.
”Sampai ada bukti hukum internasional bahwa suatu wilayah di Laut China Selatan memang milik negara tertentu, Laut China Selatan harus diperlakukan sebagai lautan bebas dan tempat umum. Kapal berbendera apa pun boleh lewat selama tidak boleh ada latihan militer, uji coba senjata, dan reklamasi apa pun di sana oleh negara mana pun,” ujar Faudzan.
Soal menentukan batas geografis masing-masing, hal itu bisa dilakukan secara bilateral sembari negosiasi COC terus berjalan. Perundingan bilateral masing-masing negara tidak boleh menjadi alasan negosiasi COC terulur.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi (kiri) berbincang dengan Menlu Laos Saleumxay Kommasith (tengah) dan Menlu Brunei Darussalam Erywan Yusof sebelum pembukaan Retret Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN atau ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM) Retreat di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Sabtu (4/2/2023).
Menurut Faudzan, ASEAN harus satu suara dan ini mencakup menentukan sikap terkait kerja sama militer Filipina dengan AS melalui Laut China Selatan. Sampai perkara ini selesai di internal ASEAN, jangan berhadapan dulu dengan China guna memastikan kekompakan.
China mengklaim sebagian besar Laut China Selatan sebagai milik mereka dengan memakai sistem Sembilan Garis Putus-putus. Ini adalah sistem pengukuran tradisional yang berlandaskan sejarah bahwa militer dan nelayan China sejak berabad-abad lalu telah berlayar di perairan tersebut. Filipina menantang balik sistem tersebut di Mahkamah Arbitrase Internasional pada 2016 dan mahkamah memutuskan bahwa Sembilan Garis Putus-putus tidak sah.
”Wilayah laut teritorial suatu negara harus mengikuti alur daratan, yaitu pesisir ataupun pulau. Fitur kelautan yang diklaim oleh China tidak masuk kategori pulau, melainkan atol dan karang. Jika dipaksakan karang sebagai daratan pun jangkauan wilayah laut teritorialnya hanya radius 12 mil laut,” papar Faudzan.
Ia menjelaskan, proses negosiasi yang berjalan alot ini sangat bergantung pada pihak China yang selama ini tampak mengundur-undur pembahasan. Menurut dia, hal itu bisa dipahami mengingat perkembangan situasi politik dalam negeri China serta semakin banyaknya tekanan eksternal terhadap Beijing sehingga mereka harus merunut berbagai permasalahan.