Langkah Filipina tak sepele karena bisa melibatkan ASEAN kelak, seperti krisis Ukraina yang mengimbas ke Eropa.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Benih invasi Rusia atas Ukraina pada 24 Februari 2022 sudah tertanam sejak 2008. Butuh 14 tahun bagi benih itu menjadi konflik nyata di sisi Eropa Timur.
Benih itu adalah ketidaksukaan negara berkekuatan adidaya, Rusia, saat halaman belakangnya (backyard) didekati oleh pesaing geopolitik, Amerika Serikat (AS). Rencana perluasan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ke Ukraina menjadi pemantik.
Mengusik halaman belakang negara kuat kian rawan saat kekuatan unipolar oleh AS memudar. Semakin rentan jika pengusikan berlangsung di tengah era multipolar. Di dunia ini ada tiga kekuatan geopolitik, yakni AS, China, dan Rusia.
Pemunculan isu keanggotaan Ukraina dalam NATO pada 2008 belum terwujud, tetapi telah membuat situasi memanas. Ada pencaplokan Crimea oleh Rusia pada 2014 dan serangan Rusia ke Ossetia, bagian wilayah Georgia, pada 2008.
Adalah hal menyakitkan melihat negara yang berada di halaman belakang kekuatan geopolitik rawan jadi wilayah konflik. Dalam sudut pandang demokratisasi, kecenderungan ini tak masuk akal dan tidak bisa diterima. Tidak banyak yang bisa memahami dan tak banyak yang bisa menerima bahwa kekuatan geopolitik itu berkarakter hegemonik.
”Pemilik kekuatan geopolitik ingin memastikan halaman belakang atau kawasannya tak diusik,” demikian bertahun-tahun pakar geopolitik dari University of Chicago, John Mearsheimer, menuturkan teorinya yang tertuang dalam buku The Tragedy of Great Power Politics terbitan 2001.
Rusia tidak unik, hanya mengulangi aksi AS yang juga tidak menginginkan kekuatan lain eksis di Benua Amerika, melalui Doktrin Monroe yang diluncurkan pada 1823.
Benih serupa itu tampaknya tertanam di Asia, bukan di Taiwan, melainkan Filipina. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dan Menteri Pertahanan Filipina Carlito Galvez Jr mengumumkan kesepakatan baru kerja sama pertahanan AS-Filipina di Camp Aguinaldo, Metro Manila, Filipina, Kamis (2/2/2023). Filipina memberikan restu atas perluasan kehadiran militer AS di empat pangkalan atau kamp militer di negara itu.
China mengkritik kesepakatan itu. Beijing menilai, akses besar AS ke sejumlah pangkalan militer Filipina telah merusak stabilitas regional dan meningkatkan ketegangan.
”Ini tindakan yang meningkatkan ketegangan dan membahayakan,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning. Dia mengingatkan negara di kawasan agar meningkatkan kewaspadaan dan menghindari diri jadi boneka AS. Ini mirip langkah Presiden Rusia Vladimir Putin, yang pada 2008 juga langsung menolak upaya NATO atas Ukraina.
Langkah Filipina tak sepele karena bisa melibatkan ASEAN kelak, seperti krisis Ukraina yang mengimbas ke Eropa. Maka, sangat pas pernyataan pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah. Ia menilai kesepakatan itu membuat situasi di kawasan menjadi lebih rumit dan tegang. Tindakan Filipina bukan hanya urusan Filipina. Ini ranah geopolitik, layak didalami lebih jauh oleh ASEAN.